Sejarah Munculnya Tiga Budaya Utama di Dunia, Termasuk Budaya Pop

Senin, 24 Agustus 2020 - 22:00 WIB
Kebudayaan dibagi menjadi tiga budaya utama, termasuk di antaranya budaya populer yang paling sering dinikmati masyarakat luas. Foto/uk.library
JAKARTA - Pernahkah kita sadar kebudayaan jenis apa yang selama ini kita nikmati dalam kehidupan sehari-sehari? Misalnya hiburan atau kebudayaan yang kita lihat di televisi, media sosial, teater, dan segala iklan yang terpampang di pinggir jalan.

Suatu kebudayaan bisa dibagi ke dalam tiga jenis, yaitu kebudayaan elite atau adiluhung, kebudayaan rakyat, dan kebudayaan populer.

Kebudayaan elite atau kebudayaan avant-grade tercermin dari segala perilaku keseharian kalangan keluarga raja atau bangsawan. Yaitu cara kaum kerajaan mengisi waktu senggang mereka untuk mencari kesenangan hidup yang sebaik-baiknya.

Kalangan kerajaan sudah lebih dahulu merasakan nikmat dari melek huruf. Melek huruf bukan cuma mengenai kemampuan membaca dan menulis, tapi juga kemampuan memahami dan meresapi seni.



Menonton pertunjukan teater atau membaca roman adalah salah satu kebiasaan kalangan kerajaan dan jadi bagian dari kebudayaan elite. Kebudayaan elite diselimuti stigma berkelas, mahal, dan bermuatan pengetahuan yang tinggi.

Lain lagi dengan kebudayaan rakyat. Kebudayaan ini tumbuh dari bawah, merupakan ekspresi spontan, dan tidak mengambil keuntungan dari kebudayaan luhur. ( )

Kebudayaan rakyat jadi bagian dari kebudayaan masyarakat di pedesaan. Masyarakat di pedesaan biasanya punya budaya yang sesuai dengan nilai-nilai luhur generasi sebelumnya.



Foto: ziliun.com

Munculnya kebudayaan avant-grade dalam masyarakat industri Eropa membuat sebuah gejala kebudayaan baru. Gejala ini oleh orang Jerman disebut kitsch.

Dalam buku "Kebudayaan (populer)(di sekitar) Kita" karya Sapardi Djoko Damono, kitsch mencakup seni dan sastra komersial dan populer seperti gambar depan majalah, fiksi picisan, komik, musik "jreng-jreng", dan semua film buatan Hollywood.

Pada masa revolusi industri di Eropa, terjadi urbanisasi yang cukup besar. Para penduduk desa berbondong-bondong pindah ke kota untuk bekerja. (Baca Juga: Sejarah Hari Perempuan Internasional, Bermula dari Aksi Buruh)

Para petani yang bermukim di kota sebagai proletar tidak punya kebudayaan yang kuat dalam dirinya. Kebudayaan rakyat dari desa belum mengakar dalam diri mereka.

Mereka juga tidak bisa mengikuti kebudayaan elite perkotaan karena ternyata mereka tidak punya cukup waktu luang dan kesadaran akan melek huruf dan melek seni.

Kebosanan yang mereka hadapi di perkotaan menimbulkan gejala baru yang disebut kitsch. Kaum proletar yang jumlahnya cukup banyak ini kemudian meniru dan meramu kebudayaan mereka sendiri.

Mereka meniru kebudayaan adiluhung yang sulit mereka raih dengan menyesuaikannya dengan kemampuan dan kebiasaan mereka. Kebudayaan ini kemudian menjadi populer karena diikuti oleh massa.

Berkembang dan meluasnya kebudayaan populer juga menimbulkan sebuah anggapan bahwa kebudayaan populer adalah kebudayaan kelas dua dan tidak layak diperbincangkan secara serius. ( )

Kebudayaan populer sering dianggap sebagai barang murahan dan vulgar. Kebudayaan ini sebetulnya lebih elok disebut mid browatau 'seni menengah' untuk membedakannya dari yang bisa memenuhi cita rasa tinggi dan rendah.

Putri Melina Febrianti

Kontributor GenSINDO

Universitas Indonesia

Instagram: @putri.melinaf
(it)
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More