Review Film Gilingan: Bisnis dengan Nasi Tetap Bisa Basi kalau Tidak Bisa Beradaptasi

Rabu, 17 Januari 2024 - 13:54 WIB
Setelah berbulan-bulan, padi yang sudah matang menguning bisa dipanen. Proses panen ini juga perlu waktu dan tenaga yang tak sedikit. Gabah harus dirontokkan dan dikeringkan sebelum digiling di penggilingan.

Mesin penggilingan padi pernah mencapai masa jayanya pada masa lalu. Saat itu belum banyak orang yang memiliki penggilingan sehingga petani harus menyerahkan proses ini kepada orang yang memilikinya. Tentu saja dengan biaya pengganti.

Masa menggiling padi merupakan masa panen bagi pemilik dan pengusaha gilingan, seperti almarhum ayah Bagas dan Laras dalam film ini. Seiring perkembangan zaman, penggilingan padi pun berkembang.

Penggilingan padi yang diwarisi Bagas dari ayahnya sepi peminat. Selain ketinggalan zaman, persaingan usaha yang tidak sehat juga menyebabkan meruginya usaha mereka ini.



Foto: IKJ

Perjalanan padi menjadi nasi tentunya masih berlanjut setelah keluar dari penggilingan. Beras hasil penggilingan ini biasanya dikemas dalam karung untuk kemudian dijual. Ada yang menjualnya langsung kepada pengguna, ada pula kepada penyalur.

Pemerintah turut campur dalam penentuan harga makanan pokok ini. Akan tetapi, pengaturan ini tidak selalu memuaskan semua pihak.

Pihak petani kadang-kadang dirugikan oleh harga padi atau beras yang terlalu rendah. Sementara kalau harga beli ke petani terlalu tinggi, harga jual ke konsumennnya menjadi mahal.

Kehidupan Petani yang Tak Menentu

Dahulu, Indonesia dikenal sebagai negara agraris. Artinya, sebagian besar penduduknya (seharusnya) hidup dari sektor agraria atau pertanian.

Petani pernah dikenal sebagai singkatan penyangga tatanan negara Indonesia karena perannya yang penting bagi kehidupan penduduk Indonesia. Namun, jumlah petani saat ini ternyata tidak terlalu banyak dibandingkan jumlah penduduk.

Tahun 2020, ada 33,4 juta penduduk dari 270 juta menjadi petani. Hanya sekitar 12% yang menjadi petani. Yang sekarang menjadi petani kebanyakan sudah tidak muda lagi.

Keturunan petani banyak yang tidak mau meneruskan pekerjaan orang tuanya. Mereka lebih memilih pekerjaan sebagai pegawai atau mencari peluang di kota metropolitan.

Perpindahan penduduk dari desa ke kota atau urbanisasi pun menjadi hal yang umum. Jakarta dengan gemerlap dan peluangnya yang besar banyak menarik para petani di desa untuk pindah.

Pekerjaan sebagai petani zaman sekarang ini tidak dipandang sebagai sesuatu yang keren. Petani yang bekerja di sawah kebanyakan berpenampilan kumuh dan penuh peluh. Sangat jauh dari kesan rapi dan modis seperti pekerja kantoran.

Pekerjaan sebagai petani ditinggalkan demi pekerjaan lain yang lebih keren dan berpenghasilan lebih besar. Belum lagi penghasilan petani yang tak menentu.

Beberapa kalangan mengidentikkan petani sebagai pekerjaan golongan ekonomi bawah karena kecilnya penghasilan itu. Harga gabah yang kadang-kadang tidak memihak petani juga membuat pekerjaan ini memiliki risiko yang besar.

Lahan Pertanian Berkurang

Tanah subur di Pulau Jawa menjadi tempat yang cocok untuk menanam padi. Di pulau inilah produksi padi terbesar Indonesia. Di sisi lain, di pulau ini pula terdapat jumlah penduduk yang besar. Penduduk yang tentunya perlu tempat tinggal dan beaktivitas. Lahan pertanianlah yang kemudian berubah fungsi menjadi perumahan, perkantoran, dan pusat perbelanjaan.

Dari film pendek ini kita dapat melihat perubahan itu. Sawah yang diselingi rumah penduduk menjadi pemandangan biasa di daerah Yogyakarta, tempat pengambilan gambar film ini. Bangunan komersial lainnya seperti ruko juga banyak yang menempati lahan yang dulunya sawah.

Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More