Review Film Telor Ceplok: Retak Rumah Tangga karena Makanan
Rabu, 15 November 2023 - 13:28 WIB
Kecemasan sang istri tentu bukan pada ketidakmampuannya menyajikan menu telur ceplok yang ideal sesuai selera suaminya. Akan tetapi kecemasan psikologis sang istri terkait penyebab mengapa menu hidangan telur ceplok yang disajikannya tetap tidak mendapatkan tempat di hati suaminya.
Apa yang terjadi sebenarnya? Bukankah resep telur ceplok kakak iparnya yang notabene disukai suaminya juga telah dicobanya? Jangan-jangan si suami telah mendapat suguhan telur ceplok lainnya? Kecemasan psikologis ini seolah ingin ditampilkan sekaligus ditonjolkan dalam film ini.
Foto: Shutter Pictures
Ginanjar Teguh Iman sebagai sutradara ingin menggambarkan bahwa ketika seseorang tidak senang dengan suatu kondisi yang diinginkannya, ia akan mencari alasan pembenaran dari sikapnya itu. Termasuk dalam riak biduk sebuah rumah tangga. Ketika stigma kaum laki-laki yang dianggap superior dan kaum perempuan di posisi sebaliknya masih mengakar kuat, kerap ibu rumah tangga (secara tidak langsung) berada pada posisi yang tidak menguntungkan.
Mereka dianggap sebagai sumber keretakan rumah tangga, apalagi jika tidak mampu mengemban misi tertentu yang diinginkan si suami. Ini misalnya seperti belum mampu memberikan keturunan, tidak mampu memasak dengan baik, atau dianggap tidak mampu menjadi ibu yang baik bagi anak-anak (jika dikaruniai anak), dan seterusnya.
Reaksi-reaksi kejiwaan sang istri yang muncul pada film ini berupa reaksi emosional, reaksi kognitif, dan reaksi fisiologis yang sebenarnya lumrah dapat dialami oleh siapa saja. Artinya kecemasan yang dialami tokoh istri dalam film Telor Ceplok merupakan gambaran umum kecemasan yang dirasakan setiap manusia.
Permasalahannya adalah bagaimana cara seseorang mengatasi kecemasan yang dialaminya dengan baik. Jika tidak, kecemasan tersebut justru menjadi beban mental yang terus menghantui seseorang sehingga berdampak mengganggu pikiran dan perasaan.
Pada akhir kisah cerita ini, semuanya diserahkan pada interpretasi masing-masing penonton yang menikmatinya, apakah memang sang istri bisa berhasil mencuri hati sang suami dengan telur ceplok hasil buatannya atau tidak.
Semuanya dibuat terbuka atau mengambang, karena sang suami sama sekali kurang memberi perhatian, dan komunikasinya yang buruk membuat istrinya masih terus berada dalam kebimbangan.
Aida Fitriana
Karyawan swasta, sedang belajar menjadi penulis skenario via Kelas Skenario ISP. Bisa dihubungi di Instagram @aida.fitriana06
Apa yang terjadi sebenarnya? Bukankah resep telur ceplok kakak iparnya yang notabene disukai suaminya juga telah dicobanya? Jangan-jangan si suami telah mendapat suguhan telur ceplok lainnya? Kecemasan psikologis ini seolah ingin ditampilkan sekaligus ditonjolkan dalam film ini.
Foto: Shutter Pictures
Ginanjar Teguh Iman sebagai sutradara ingin menggambarkan bahwa ketika seseorang tidak senang dengan suatu kondisi yang diinginkannya, ia akan mencari alasan pembenaran dari sikapnya itu. Termasuk dalam riak biduk sebuah rumah tangga. Ketika stigma kaum laki-laki yang dianggap superior dan kaum perempuan di posisi sebaliknya masih mengakar kuat, kerap ibu rumah tangga (secara tidak langsung) berada pada posisi yang tidak menguntungkan.
Mereka dianggap sebagai sumber keretakan rumah tangga, apalagi jika tidak mampu mengemban misi tertentu yang diinginkan si suami. Ini misalnya seperti belum mampu memberikan keturunan, tidak mampu memasak dengan baik, atau dianggap tidak mampu menjadi ibu yang baik bagi anak-anak (jika dikaruniai anak), dan seterusnya.
Reaksi-reaksi kejiwaan sang istri yang muncul pada film ini berupa reaksi emosional, reaksi kognitif, dan reaksi fisiologis yang sebenarnya lumrah dapat dialami oleh siapa saja. Artinya kecemasan yang dialami tokoh istri dalam film Telor Ceplok merupakan gambaran umum kecemasan yang dirasakan setiap manusia.
Permasalahannya adalah bagaimana cara seseorang mengatasi kecemasan yang dialaminya dengan baik. Jika tidak, kecemasan tersebut justru menjadi beban mental yang terus menghantui seseorang sehingga berdampak mengganggu pikiran dan perasaan.
Pada akhir kisah cerita ini, semuanya diserahkan pada interpretasi masing-masing penonton yang menikmatinya, apakah memang sang istri bisa berhasil mencuri hati sang suami dengan telur ceplok hasil buatannya atau tidak.
Semuanya dibuat terbuka atau mengambang, karena sang suami sama sekali kurang memberi perhatian, dan komunikasinya yang buruk membuat istrinya masih terus berada dalam kebimbangan.
Aida Fitriana
Karyawan swasta, sedang belajar menjadi penulis skenario via Kelas Skenario ISP. Bisa dihubungi di Instagram @aida.fitriana06
(ita)
Lihat Juga :
tulis komentar anda