Review Film Telor Ceplok: Retak Rumah Tangga karena Makanan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Film Telor Ceplok(The Sunny Side Up Story) yang diadaptasi dari cerita pendek karya Ginanjar Teguh (Gin Teguh) di majalahFemina, ini dimulai dengan seorang istri yang membuatkan sarapan pagi kesukaan suaminya: telur ceplok.
Tetapi ternyata telur ceplok yang diinginkan suaminya bukan telur ceplok pada umumnya, melainkan yang spesial dengan resep rahasia.
Tahun 2019, pernah ada juga film panjang tentang pernikahan, berjudulWedding Agreement yang berdurasi 1 jam 40 menit. Kisahnyadibuka dengan adegan pernikahan Tari dan Bian. Namun dalam pernikahan itu, Bian tampak terpaksa dan tidak bahagia karena ini memang pernikahan hasil perjodohan.
Adegan berlanjut ketika Tari dan Bian sudah menjadi suami istri. Di rumah mereka, Bian menyodorkan sebuah surat kontrak pada Tari. Surat tersebut berisi perjanjian yang mengatur lama waktu pernikahan serta aturan-aturan dalam rumah tangga.
Intinya, Bian hanya menganggap Tari sebagai perempuan yang tinggal satu atap dengannya, tapi ia enggan melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai suami. Bian juga tidak menuntut Tari untuk mengerjakan tugas-tugasnya sebagai seorang istri. Sementara Bian juga masih tetap berhubungan dengan Sarah, kekasih yang tadinya ingin dinikahinya.
Foto: Shutter Pictures
Begitupun ada masanya Bian dan Tari tampak romantis dalam acara-acara tertentu. Karena hampir setiap hari bertemu dan bersama, ibarat pepatah Jawa yang sudah tidak asing lagi buat kita, witing tresno jalaran soko kulino yang artinya cinta hadir karena terbiasa dan lama-kelamaan membuat Bian luluh dan jatuh cinta pada Tari. Bian lantas berniat untuk meninggalkan Sarah dan menerima Tari sebagai istrinya.
Dari film Wedding Agreement, kita bisa banyak belajar bahwa kehidupan pernikahan tidaklah selalu indah. Ada banyak konflik-konflik yang harus dihadapi bersama pasangan untuk bisa selalu bersama.
Kembali ke film Telor Ceplok yang tayang di Viddsee, nama makanan ini sudah sangat biasa diracik oleh semua orang terutama oleh ibu rumah tangga. Cara memasaknya sangat simpel, tapi justru hanya karena cara membuatnya tidak sesuai dengan yang diinginkan, maka bisa membuat kehilangan selera makan. Bahkan sampai berujung pada hubungan yang tidak harmonis dalam rumah tangga.
Intrik dalam film pendek ini didukung nada-nada minor yang memancing keluar air mata, terutama saat sang istri berusaha mencurahkan segala isi hatinya kepada kakak perempuan sang suami. Dari sini, dramanya melebar menjadi sang istri yang cemburu dengan kakak iparnya karena bisa membuatkan telur ceplok spesial sesuai selera atau yang diinginkan suaminya di rumah.
“Bikin telor ceplok itu pakai hati, bukan perasaan. Hati akan membuat segalanya jadi pas dengan sendirinya, tapi kalau perasaan.. perasaan akan menggiringmu pada hal-hal yang bisa memunculkan keraguan dan mengacaukan segalanya dengan sadar”.
Foto: Shutter Pictures
Dalam kisah pasangan suami istri muda yang baru membina rumah tangga, lumrah halnya jika debat-debat kecil mewarnai biduk rumah tangga. Rasa kecemasan yang dialami sang istri terkesan sederhana. Diawali oleh kesukaan sang suami tokoh utama pada menu makanan telur ceplok.
Sang istri yang begitu mencintai suaminya berusaha semaksimal mungkin meracik menu agar suaminya benar-benar menyukai telur ceplok yang dibuatnya. Bahkan, beberapa lembar daun selada dan irisan tomat turut ditambahkan. Alih-alih mendapatkan pujian dari suaminya, telur ceplok itu hanya dicicipi sedikit saja dengan alasan tidak sesuai dengan selera suaminya.
Berulang kali sang istri berusaha menghidangkan telur ceplok yang sesuai dengan selera suaminya, termasuk menanyakan langsung kepada kakak iparnya. Meskipun resep yang diberikan sang kakak ipar telah dipraktikkan dengan benar sesuai dengan takaran, tetapi suaminya tetap juga merasa tidak mendapatkan telur ceplok yang sesuai seleranya.
Kecemasan sang istri tentu bukan pada ketidakmampuannya menyajikan menu telur ceplok yang ideal sesuai selera suaminya. Akan tetapi kecemasan psikologis sang istri terkait penyebab mengapa menu hidangan telur ceplok yang disajikannya tetap tidak mendapatkan tempat di hati suaminya.
Apa yang terjadi sebenarnya? Bukankah resep telur ceplok kakak iparnya yang notabene disukai suaminya juga telah dicobanya? Jangan-jangan si suami telah mendapat suguhan telur ceplok lainnya? Kecemasan psikologis ini seolah ingin ditampilkan sekaligus ditonjolkan dalam film ini.
Foto: Shutter Pictures
Ginanjar Teguh Iman sebagai sutradara ingin menggambarkan bahwa ketika seseorang tidak senang dengan suatu kondisi yang diinginkannya, ia akan mencari alasan pembenaran dari sikapnya itu. Termasuk dalam riak biduk sebuah rumah tangga. Ketika stigma kaum laki-laki yang dianggap superior dan kaum perempuan di posisi sebaliknya masih mengakar kuat, kerap ibu rumah tangga (secara tidak langsung) berada pada posisi yang tidak menguntungkan.
Mereka dianggap sebagai sumber keretakan rumah tangga, apalagi jika tidak mampu mengemban misi tertentu yang diinginkan si suami. Ini misalnya seperti belum mampu memberikan keturunan, tidak mampu memasak dengan baik, atau dianggap tidak mampu menjadi ibu yang baik bagi anak-anak (jika dikaruniai anak), dan seterusnya.
Reaksi-reaksi kejiwaan sang istri yang muncul pada film ini berupa reaksi emosional, reaksi kognitif, dan reaksi fisiologis yang sebenarnya lumrah dapat dialami oleh siapa saja. Artinya kecemasan yang dialami tokoh istri dalam film Telor Ceplok merupakan gambaran umum kecemasan yang dirasakan setiap manusia.
Permasalahannya adalah bagaimana cara seseorang mengatasi kecemasan yang dialaminya dengan baik. Jika tidak, kecemasan tersebut justru menjadi beban mental yang terus menghantui seseorang sehingga berdampak mengganggu pikiran dan perasaan.
Pada akhir kisah cerita ini, semuanya diserahkan pada interpretasi masing-masing penonton yang menikmatinya, apakah memang sang istri bisa berhasil mencuri hati sang suami dengan telur ceplok hasil buatannya atau tidak.
Semuanya dibuat terbuka atau mengambang, karena sang suami sama sekali kurang memberi perhatian, dan komunikasinya yang buruk membuat istrinya masih terus berada dalam kebimbangan.
Aida Fitriana
Karyawan swasta, sedang belajar menjadi penulis skenario via Kelas Skenario ISP. Bisa dihubungi di Instagram @aida.fitriana06
Lihat Juga: Sinopsis Film Korea Omniscient Reader's Viewpoint dan Daftar 8 Pemainnya, Bujet Rp354 Miliar
Tetapi ternyata telur ceplok yang diinginkan suaminya bukan telur ceplok pada umumnya, melainkan yang spesial dengan resep rahasia.
Tahun 2019, pernah ada juga film panjang tentang pernikahan, berjudulWedding Agreement yang berdurasi 1 jam 40 menit. Kisahnyadibuka dengan adegan pernikahan Tari dan Bian. Namun dalam pernikahan itu, Bian tampak terpaksa dan tidak bahagia karena ini memang pernikahan hasil perjodohan.
Adegan berlanjut ketika Tari dan Bian sudah menjadi suami istri. Di rumah mereka, Bian menyodorkan sebuah surat kontrak pada Tari. Surat tersebut berisi perjanjian yang mengatur lama waktu pernikahan serta aturan-aturan dalam rumah tangga.
Intinya, Bian hanya menganggap Tari sebagai perempuan yang tinggal satu atap dengannya, tapi ia enggan melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai suami. Bian juga tidak menuntut Tari untuk mengerjakan tugas-tugasnya sebagai seorang istri. Sementara Bian juga masih tetap berhubungan dengan Sarah, kekasih yang tadinya ingin dinikahinya.
Foto: Shutter Pictures
Begitupun ada masanya Bian dan Tari tampak romantis dalam acara-acara tertentu. Karena hampir setiap hari bertemu dan bersama, ibarat pepatah Jawa yang sudah tidak asing lagi buat kita, witing tresno jalaran soko kulino yang artinya cinta hadir karena terbiasa dan lama-kelamaan membuat Bian luluh dan jatuh cinta pada Tari. Bian lantas berniat untuk meninggalkan Sarah dan menerima Tari sebagai istrinya.
Dari film Wedding Agreement, kita bisa banyak belajar bahwa kehidupan pernikahan tidaklah selalu indah. Ada banyak konflik-konflik yang harus dihadapi bersama pasangan untuk bisa selalu bersama.
Kembali ke film Telor Ceplok yang tayang di Viddsee, nama makanan ini sudah sangat biasa diracik oleh semua orang terutama oleh ibu rumah tangga. Cara memasaknya sangat simpel, tapi justru hanya karena cara membuatnya tidak sesuai dengan yang diinginkan, maka bisa membuat kehilangan selera makan. Bahkan sampai berujung pada hubungan yang tidak harmonis dalam rumah tangga.
Intrik dalam film pendek ini didukung nada-nada minor yang memancing keluar air mata, terutama saat sang istri berusaha mencurahkan segala isi hatinya kepada kakak perempuan sang suami. Dari sini, dramanya melebar menjadi sang istri yang cemburu dengan kakak iparnya karena bisa membuatkan telur ceplok spesial sesuai selera atau yang diinginkan suaminya di rumah.
“Bikin telor ceplok itu pakai hati, bukan perasaan. Hati akan membuat segalanya jadi pas dengan sendirinya, tapi kalau perasaan.. perasaan akan menggiringmu pada hal-hal yang bisa memunculkan keraguan dan mengacaukan segalanya dengan sadar”.
Foto: Shutter Pictures
Dalam kisah pasangan suami istri muda yang baru membina rumah tangga, lumrah halnya jika debat-debat kecil mewarnai biduk rumah tangga. Rasa kecemasan yang dialami sang istri terkesan sederhana. Diawali oleh kesukaan sang suami tokoh utama pada menu makanan telur ceplok.
Sang istri yang begitu mencintai suaminya berusaha semaksimal mungkin meracik menu agar suaminya benar-benar menyukai telur ceplok yang dibuatnya. Bahkan, beberapa lembar daun selada dan irisan tomat turut ditambahkan. Alih-alih mendapatkan pujian dari suaminya, telur ceplok itu hanya dicicipi sedikit saja dengan alasan tidak sesuai dengan selera suaminya.
Tanpa Hati Semuanya akan Hambar
Dalam film ini, bumbu dalam pernikahan yang terasa hambar dirasakan karena kurangnya rasa saling memiliki, kasih sayang, dan perhatian satu sama lain. Kurangnya komunikasi juga turut memperparah kondisi.Berulang kali sang istri berusaha menghidangkan telur ceplok yang sesuai dengan selera suaminya, termasuk menanyakan langsung kepada kakak iparnya. Meskipun resep yang diberikan sang kakak ipar telah dipraktikkan dengan benar sesuai dengan takaran, tetapi suaminya tetap juga merasa tidak mendapatkan telur ceplok yang sesuai seleranya.
Kecemasan sang istri tentu bukan pada ketidakmampuannya menyajikan menu telur ceplok yang ideal sesuai selera suaminya. Akan tetapi kecemasan psikologis sang istri terkait penyebab mengapa menu hidangan telur ceplok yang disajikannya tetap tidak mendapatkan tempat di hati suaminya.
Apa yang terjadi sebenarnya? Bukankah resep telur ceplok kakak iparnya yang notabene disukai suaminya juga telah dicobanya? Jangan-jangan si suami telah mendapat suguhan telur ceplok lainnya? Kecemasan psikologis ini seolah ingin ditampilkan sekaligus ditonjolkan dalam film ini.
Foto: Shutter Pictures
Ginanjar Teguh Iman sebagai sutradara ingin menggambarkan bahwa ketika seseorang tidak senang dengan suatu kondisi yang diinginkannya, ia akan mencari alasan pembenaran dari sikapnya itu. Termasuk dalam riak biduk sebuah rumah tangga. Ketika stigma kaum laki-laki yang dianggap superior dan kaum perempuan di posisi sebaliknya masih mengakar kuat, kerap ibu rumah tangga (secara tidak langsung) berada pada posisi yang tidak menguntungkan.
Mereka dianggap sebagai sumber keretakan rumah tangga, apalagi jika tidak mampu mengemban misi tertentu yang diinginkan si suami. Ini misalnya seperti belum mampu memberikan keturunan, tidak mampu memasak dengan baik, atau dianggap tidak mampu menjadi ibu yang baik bagi anak-anak (jika dikaruniai anak), dan seterusnya.
Reaksi-reaksi kejiwaan sang istri yang muncul pada film ini berupa reaksi emosional, reaksi kognitif, dan reaksi fisiologis yang sebenarnya lumrah dapat dialami oleh siapa saja. Artinya kecemasan yang dialami tokoh istri dalam film Telor Ceplok merupakan gambaran umum kecemasan yang dirasakan setiap manusia.
Permasalahannya adalah bagaimana cara seseorang mengatasi kecemasan yang dialaminya dengan baik. Jika tidak, kecemasan tersebut justru menjadi beban mental yang terus menghantui seseorang sehingga berdampak mengganggu pikiran dan perasaan.
Pada akhir kisah cerita ini, semuanya diserahkan pada interpretasi masing-masing penonton yang menikmatinya, apakah memang sang istri bisa berhasil mencuri hati sang suami dengan telur ceplok hasil buatannya atau tidak.
Semuanya dibuat terbuka atau mengambang, karena sang suami sama sekali kurang memberi perhatian, dan komunikasinya yang buruk membuat istrinya masih terus berada dalam kebimbangan.
Aida Fitriana
Karyawan swasta, sedang belajar menjadi penulis skenario via Kelas Skenario ISP. Bisa dihubungi di Instagram @aida.fitriana06
Lihat Juga: Sinopsis Film Korea Omniscient Reader's Viewpoint dan Daftar 8 Pemainnya, Bujet Rp354 Miliar
(ita)