CERMIN: Ini Kisah tentang Takdir atau Statistik?

Sabtu, 23 September 2023 - 08:13 WIB
Film komedi romantis Love at First Sight diadaptasi dari novel The Statistical Probability of Love at First Sight. Foto/Netflix
JAKARTA - Tahun 1972. Sutradara Francis Ford Coppola merilis film The Godfather yang lantas menjadi klasik. Lebih dari 40 tahun berselang, kita masih mengenang bagaimana Michael Corleone bertemu dengan Apollonia Vitelli.

Michael dan Apollonia menjadi salah satu sosok ikonis dalam sejarah film dunia yang menggambarkan bagaimana cinta pada pandangan pertama bekerja. Michael yang sedang dalam pelarian di Sisilia tak pernah menyangka akan terpana ketika matanya beradu dengan mata indah dari Apollonia. Perkenalan yang singkat, percintaan yang intens diakhiri dengan pernikahan di antara keduanya. Sayangnya tragedi mengakhiri kisah cinta nan indah ini.



Tapi betulkah ada sesuatu yang disebut “cinta pada pandangan pertama”? Dalam bukunya yang terkenal, Metaphysics of Love, Arthur Schopenhauer, salah seorang filsuf terpenting abad ke-19, mengemukakan cinta hanyalah tipu-tipu “kehendak” atau "will", daya adikuasa yang menggerakkan segala sesuatu di alam semesta (perlu dibedakan dari arti kehendak dalam penggunaan sehari-hari), agar manusia berkembang biak dan melestarikan spesies.

Penulis novel Jennifer E Smith seakan membantah apa yang diyakini Arthur dengan merilis novelnya yang berjudul menarik, The Statistical Probability of Love at First Sight. Ia menjejalkan banyak data berupa statistik tentang hal yang melanda kaum muda hari ini dengan segala kegiatan dan masalah yang melingkari mereka. Kelak novel ini diadaptasi menjadi film orisinal oleh Netflix dengan judul yang lebih singkat dan terkesan generik, Love at First Sight.





Foto: Netflix

Padahal Love at First Sight membuka ceritanya dengan narasi menarik dari Dewi Cinta (diperankan dengan menarik pula oleh Jameela Jamil dalam beragam peran). “This isn’t a story about love. This is a story about fate. Or statistics. Really just depends on who you’re talking to”. Ceritanya bergerak secara kreatif memperkenalkan dua karakter utamanya, Hadley Sullivan dan Oliver Jones. Narasi digunakan dalam banyak adegan dan justru terasa efektif terutama karena dilontarkan dalam teknik breaking fourth wall.

Karena diperkenalkan secara efektif kepada penonton dalam tempo cepat, dalam sekejap kita merasa sudah mengenal Hadley dan Oliver. Hal ini menjadi modal penting bagi sutradara Vanessa Caswill untuk terus membetot perhatian penonton hingga 90 menit.

Hadley yang selalu bermasalah dengan baterai ponselnya (sebagaimana yang sering dialami oleh banyak dari kita termasuk saya] harus ketinggalan pesawat karena terlambat empat menit. Namun empat menit itu membawa berkah baginya ketika ia dipertemukan oleh takdir dengan Oliver juga karena masalah baterai ponsel.

Cowok Inggris ini berbaik hati meminjamkan pengisi daya kepada si cewek Amerika. Keduanya ternyata berada dalam satu pesawat yang sama yang akan menuju London dalam beberapa jam ke depan.



Foto: Netflix

Hanya dalam tempo singkat kita tahu banyak hal tentang Hadley dan Oliver. Tentang ketakutan-ketakutan yang mereka rasakan dalam hidup, juga tentang hal yang sedang mereka alami. Tapi keduanya tak pernah tahu apa yang akan mereka alami dalam beberapa jam ke depan.

Sepertinya Dewi Cinta terus berpihak pada mereka. Karena seatbelt yang rusak, Oliver yang duduk di kelas ekonomi akhirnya dipindahkan ke kelas bisnis. Tebak siapa yang akan duduk di sampingnya?

Meski berawal dengan premis cerita yang sudah terjadi dalam banyak film maupun novel tapi Love at First Sight masih menyisakan kejutan demi kejutan. Kita akan melihat bagaimana Hadley bertemu dengan ayahnya yang akan menikah lagi, kita juga akan bertemu dengan Oliver yang sedang merayakan pesta perpisahan ibunya.

Momen-momen menarik bekerja efektif di antara perjalanan kedua karakter untuk kembali bertemu setelah terpisah pasca turun dari pesawat.

Tapi mungkin Love at First Sight tetap akan menjadi film komedi romantis yang medioker tanpa reaksi kimiawi yang pas antara Haley Lu Richardson dan Ben Hardy. Pada 2019, Haley juga tampil dalam sebuah film drama yang manis berjudul Five Feet Apart. Perempuan 28 tahun itu memang memiliki “kualitas menggemaskan” yang alamiah yang tak banyak dimiliki aktris seusianya.

Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. SINDOnews.com tidak terlibat dalam materi konten ini.
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More