Tetap Tenang ala Kaum Stoa dalam Hiruk Pikuk Corona
A
A
A
Masih dengan kabar hiruk pikuknya kasus penyebaran virus Corona di Indonesia, kita sempat geleng-geleng kepala oleh aksi beberapa orang melakukan panic buying di supermarket.
Selain bikin stok sembako jadi menipis dan harga di pasaran jadi naik, aksi ini bikin warga yang lain jadi ikut panik. Yang paling menderita adalah masyarakat yang ada di lapisan bawah, yang gak bisa nyetok barang karena gak punya uang cukup untuk beli barang dalam jumlah besar.
Dengan makin luasnya penyebaran virus corona dan bertambahnya korban, kehidupan kini terasa lebih tegang dan gak santuy.
Hal tersebut kemudian mengundang pertanyaan menggelitik, kira-kira bagaimana kalau hiruk pikuk penyebaran virus Corona dihadapkan pada kaum Stoa yang terkenal jago dalam menghadapi berbagai permasalahan hidup di dunia?
Kata Stoa merujuk pada teras berpilar tempat filsuf Yunani kuno dari Siprus, Zeno, mengajarkan aliran Stoisisme pada pengikutnya. Kaum Stoa lantas adalah julukan bagi para pengikut Stoisisme yang diajarkan Zeno.
Foto:njlifehacks.com
Stoisisme sejatinya mengajarkan konsep kebahagiaan yang berasal dari kendali diri, di luar dari itu Stoisisme menyebutnya sebagai jalan takdir yang tidak bisa dipungkiri.
Dalam praktiknya, Stoisisme tidak menuntut pada pencarian kebahagian, tapi lebih pada pengendalian emosi negatif serta melatih kebajikan (virtues) seperti wisdom (kebijaksanaan), justice (keadilan), courage (keberanian), dan temperance (menahan diri) dalam kehidupan sehari-hari. Dengan begitu, hidup dapat menjadi lebih tenteram, damai, dan diri akan menjadi lebih tangguh menghadapi berbagai masalah yang datang.
Seneca dalam karyanya, "On the Happy Life", pernah mengatakan bahwa seorang yang menerapkan ajaran Stoa sejatinya dalam diri mereka merasakan keceriaan dan sukacita yang terdalam. Hal tersebut dikarenakan mereka mampu menemukan kebahagiaan yang berasal dari dalam diri (inner joy) tanpa mengandalkan kebagiaan dari luar kendali mereka.
Sekarang pertanyaannya adalah bagaimana kaum Stoa mengendalikan emosi negatif mereka? Pertanyaan itu dapat terjawab melalui salah satu prinsip mendasar yang dipegang teguh oleh kaum Stoa, yakni mengusahakan hidup selaras dengan alam (in accordance with nature).
Tapi tunggu dulu, maksud dari hidup selaras dengan alam di sini bukan berarti sebatas menjadi makhluk Tuhan pencinta lingkungan. Kata nature yang dimaksud oleh kaum Stoa adalah mencakup nalar, akal sehat, rasio, serta kemampuan untuk menggunakannya dalam rangka kebajikan (life of virtues). Jadi intinya, manusia dituntut untuk dapat memanfaatkan naralnya dalam mengontrol emosi tersebut.
Foto:njlifehacks.com
Dibantu oleh nalar, pengontrolan emosi dilakukan dengan kesadaran bahwa“Some things are up to us, some things are not up to us” (beberapa hal bergantung pada diri kita, dan beberapa hal lainnya tidak bergantung pada diri kita). Kalimat tersebut disampaikan oleh Epictetus dalam Enchiridion.
Dari sini kita tahu bahwa Stoisisme mengajarkan manusia untuk mampu membedakan mana saja hal-hal yang dapat dikendalikannya dan mana yang tidak.
Contoh dalam kasus hiruk pikuknya infeksi virus Corona sekarang ini, hal-hal yang masuk kategori dapat dikendalikan adalah seperti menjaga pola makan yang teratur, menghindari keramaian, rutin mengonsumsi vitamin serta mencuci tangan dengan sabun, dan lain sebagainya.
Sementara itu, hal-hal yang berada di luar kendali manusia dalam hal ini adalah seperti anugerah kesehatan itu sendiri. Infeksi virus Corona yang dapat terjadi di mana saja, atau bahkan gejala virus corona yang tidak terbaca dalam diagnosis dokter bagi yang sempat memeriksakan diri.
Hal-hal yang berada di luar kendali manusia tersebutlah yang menurut Kaum Stoa tidak layak menjadi sumber kekhawatiran dan emosi dalam diri manusia (emosi negatif). Sebaliknya, perhatian manusia dituntut untuk fokus pada hal-hal yang berada di bawah kendali diri saja.
Foto:Santhosh
Melalui cara ini, ajaran kaum Stoa jika diterapkan dapat membantu individu tetap tenang menghadapi permasalahan-permasalahan di tengah hiruk pikuk penyebaran virus Corona di Indonesia.
Sebagaimana menurut penulis Henry Manampiring dalam buku "Filosofi Teras", untuk mengikuti gaya hidup kaum Stoa, kita bisa menerapkan metode S-T-A-R, yakni Stop, Think, Assess, dan Respond.
Saat rasa khawatir menyergap, emosi tersebut harus segera dihentikan sebelum menjadi-jadi, kemudian nalar bertindak untuk menguraikan kejadian yang sebenarnya terjadi dan fakta apa saja yang sudah diketahui.
Langkah selanjutnya adalah mempertimbangkan hal-hal mana saja yang berada di bawah kendali kita dan mana yang tidak. Terakhir, menentukan respons atau tindakan selanjutnya dengan hanya berfokus pada hal-hal yang berada di bawah kendali diri.
Untuk menutup tulisan ini, asik kiranya mengutip kalimat dari Henry Manampiring dalam "Filosofi Teras", yakni “fix the source of the problem” (perbaiki langsung sumber masalahnya), dalam hal ini adalah pikiran kita sendiri.
Muniha Addin M
Kontributor GenSINDO
Universitas Indonesia
Instagram: @munihaa
Selain bikin stok sembako jadi menipis dan harga di pasaran jadi naik, aksi ini bikin warga yang lain jadi ikut panik. Yang paling menderita adalah masyarakat yang ada di lapisan bawah, yang gak bisa nyetok barang karena gak punya uang cukup untuk beli barang dalam jumlah besar.
Dengan makin luasnya penyebaran virus corona dan bertambahnya korban, kehidupan kini terasa lebih tegang dan gak santuy.
Hal tersebut kemudian mengundang pertanyaan menggelitik, kira-kira bagaimana kalau hiruk pikuk penyebaran virus Corona dihadapkan pada kaum Stoa yang terkenal jago dalam menghadapi berbagai permasalahan hidup di dunia?
Kata Stoa merujuk pada teras berpilar tempat filsuf Yunani kuno dari Siprus, Zeno, mengajarkan aliran Stoisisme pada pengikutnya. Kaum Stoa lantas adalah julukan bagi para pengikut Stoisisme yang diajarkan Zeno.
Foto:njlifehacks.com
Stoisisme sejatinya mengajarkan konsep kebahagiaan yang berasal dari kendali diri, di luar dari itu Stoisisme menyebutnya sebagai jalan takdir yang tidak bisa dipungkiri.
Dalam praktiknya, Stoisisme tidak menuntut pada pencarian kebahagian, tapi lebih pada pengendalian emosi negatif serta melatih kebajikan (virtues) seperti wisdom (kebijaksanaan), justice (keadilan), courage (keberanian), dan temperance (menahan diri) dalam kehidupan sehari-hari. Dengan begitu, hidup dapat menjadi lebih tenteram, damai, dan diri akan menjadi lebih tangguh menghadapi berbagai masalah yang datang.
Seneca dalam karyanya, "On the Happy Life", pernah mengatakan bahwa seorang yang menerapkan ajaran Stoa sejatinya dalam diri mereka merasakan keceriaan dan sukacita yang terdalam. Hal tersebut dikarenakan mereka mampu menemukan kebahagiaan yang berasal dari dalam diri (inner joy) tanpa mengandalkan kebagiaan dari luar kendali mereka.
Sekarang pertanyaannya adalah bagaimana kaum Stoa mengendalikan emosi negatif mereka? Pertanyaan itu dapat terjawab melalui salah satu prinsip mendasar yang dipegang teguh oleh kaum Stoa, yakni mengusahakan hidup selaras dengan alam (in accordance with nature).
Tapi tunggu dulu, maksud dari hidup selaras dengan alam di sini bukan berarti sebatas menjadi makhluk Tuhan pencinta lingkungan. Kata nature yang dimaksud oleh kaum Stoa adalah mencakup nalar, akal sehat, rasio, serta kemampuan untuk menggunakannya dalam rangka kebajikan (life of virtues). Jadi intinya, manusia dituntut untuk dapat memanfaatkan naralnya dalam mengontrol emosi tersebut.
Foto:njlifehacks.com
Dibantu oleh nalar, pengontrolan emosi dilakukan dengan kesadaran bahwa“Some things are up to us, some things are not up to us” (beberapa hal bergantung pada diri kita, dan beberapa hal lainnya tidak bergantung pada diri kita). Kalimat tersebut disampaikan oleh Epictetus dalam Enchiridion.
Dari sini kita tahu bahwa Stoisisme mengajarkan manusia untuk mampu membedakan mana saja hal-hal yang dapat dikendalikannya dan mana yang tidak.
Contoh dalam kasus hiruk pikuknya infeksi virus Corona sekarang ini, hal-hal yang masuk kategori dapat dikendalikan adalah seperti menjaga pola makan yang teratur, menghindari keramaian, rutin mengonsumsi vitamin serta mencuci tangan dengan sabun, dan lain sebagainya.
Sementara itu, hal-hal yang berada di luar kendali manusia dalam hal ini adalah seperti anugerah kesehatan itu sendiri. Infeksi virus Corona yang dapat terjadi di mana saja, atau bahkan gejala virus corona yang tidak terbaca dalam diagnosis dokter bagi yang sempat memeriksakan diri.
Hal-hal yang berada di luar kendali manusia tersebutlah yang menurut Kaum Stoa tidak layak menjadi sumber kekhawatiran dan emosi dalam diri manusia (emosi negatif). Sebaliknya, perhatian manusia dituntut untuk fokus pada hal-hal yang berada di bawah kendali diri saja.
Foto:Santhosh
Melalui cara ini, ajaran kaum Stoa jika diterapkan dapat membantu individu tetap tenang menghadapi permasalahan-permasalahan di tengah hiruk pikuk penyebaran virus Corona di Indonesia.
Sebagaimana menurut penulis Henry Manampiring dalam buku "Filosofi Teras", untuk mengikuti gaya hidup kaum Stoa, kita bisa menerapkan metode S-T-A-R, yakni Stop, Think, Assess, dan Respond.
Saat rasa khawatir menyergap, emosi tersebut harus segera dihentikan sebelum menjadi-jadi, kemudian nalar bertindak untuk menguraikan kejadian yang sebenarnya terjadi dan fakta apa saja yang sudah diketahui.
Langkah selanjutnya adalah mempertimbangkan hal-hal mana saja yang berada di bawah kendali kita dan mana yang tidak. Terakhir, menentukan respons atau tindakan selanjutnya dengan hanya berfokus pada hal-hal yang berada di bawah kendali diri.
Untuk menutup tulisan ini, asik kiranya mengutip kalimat dari Henry Manampiring dalam "Filosofi Teras", yakni “fix the source of the problem” (perbaiki langsung sumber masalahnya), dalam hal ini adalah pikiran kita sendiri.
Muniha Addin M
Kontributor GenSINDO
Universitas Indonesia
Instagram: @munihaa
(her)