CERMIN: Memasuki Dunia Bermain Fajar Nugros
loading...
A
A
A
Tahun 2011. Saya diundang menyaksikan film Cinta di Saku Celana di Reading Room, kafe milik almarhum Richard Oh di Kemang. Saya menjadi saksi betapa Fajar Nugros bisa membesut film dengan kualitas jempolan ketika diberi ruang bermain yang luas.
Cinta di Saku Celana lahir dari cerita yang ditulis sendiri oleh Fajar dan kemudian disutradainya sendiri. Dengan biaya produksi tak besar, di tangan Fajar, cerita itu bisa diolah dengan perspektif unik dan kemudian menjadi identitas Fajar dalam beberapa filmnya berikutnya.
Saya lantas bertemu dengan Fajar saat produksi film Rumah di Seribu Ombak pada akhir tahun 2011. Fajar didapuk sebagai co-director sementara saya membantu Jujur Prananto mengembangkan skenarionya dari novel Erwin Arnada. Saya semakin memahami bahwa Fajar punya visi yang menarik atas film yang dipercayakan kepadanya.
Dari film panjang pertamanya, Mati Bujang di Tengah Malam pada 2007, perlu waktu hingga 15 tahun bagi Fajar untuk bertemu dunia bermain seluas imajinasinya. IDN Pictures menjadi taman bermain mahaluas yang bisa memuat imajinasinya itu dan hasilnya adalah dua film dengan kualitas yang bisa dipertanggungjawabkan: Srimulat: Hil Yang Mustahal dan Inang.
Dalam Srimulat: Hil Yang Mustahal, Fajar memanfaatkan betul kesempatan besar untuk mengeksplorasi taman bermain mahaluas itu. Ia memaksimalkan potensi di semua lini dan paling tidak kita melihat para aktor bercahaya lebih terang di tangannya. Dalam Inang, kita melihat Fajar melahirkan kembali Naysila Mirdad. Nay yang terbiasa kita lihat sebagai pesinetron dengan peran perempuan lemah lembut tersakiti kini menjelma menjadi aktris tangguh yang bersedia melakukan banyak hal di luar kebiasaannya.
Foto: IDN Pictures
Ketika bertemu taman bermain maha luas, Fajar juga mencoba melakukan hal-hal di luar kebiasaannya. Bagi yang sering menonton karya-karyanya, kita tahu kekuatan Fajar terletak pada delivery comedy-nya yang menarik. Tapi kali ini Fajar melompat keluar dari kotak dan mencoba genre yang paling ditakutinya: horor.
Tapi sebenarnya Inang tak bisa dikategorikan sesederhana horor atau thriller. Ia adalah campuran dari banyak hal. Segala kegelisahan dan keresahan Fajar dimasukkan ke dalamnya.
Foto: IDN Pictures
Ia memperlihatkan potret banyak perempuan di Jakarta yang berjuang sekuat tenaga dan di tengah kerapuhannya masih selalu bisa dimanfaatkan oleh sejumlah orang, terutama laki-laki. Kita akan melihat Jakarta yang kumuh, dengan rumah kos berdempetan sehingga kita bisa melihat seorang tetangga mencoba oral seks dengan pintu setengah terbuka.
Kita akan melihat Jakarta tanpa polesan, dengan rumah kos berdempetan yang salah satu di antaranya membuka jasa pelayanan seks kilat ala open BO. Dan kita akan melihat Jakarta yang tanpa ampun menyudutkan perempuan seperti Wulan sehingga tak punya banyak pilihan selain memasrahkan nasibnya pada dua orang asing.
Inang menyodorkan hal baru bagi penonton: weton Rebo Wekasan. Bagi saya yang bukan Jawa, tentu saja ini hal menarik. Saya pun baru tahu tahun ini bahwa weton saya Sabtu Pahing yang dianggap paling powerful dari semua weton. Dan “Inang” membawa kita memasuki dunia lain: sebuah dunia yang masih melanggengkan mitos.
Foto: IDN Pictures
Mungkin saya beruntung karena bisa hidup di tiga fase berbeda: dunia lama yang masih percaya dengan tradisi, dunia baru yang merayakan modernitas, dan dunia masa depan yang mengutamakan logika. Karenanya cara pandang saya mungkin cukup fluid: saya cukup modern tapi pada hal tertentu masih bisa percaya dengan tradisi lama, termasuk soal mitos.
Inang memaparkan banyak hal terkait weton, juga soal benturan antara dunia lama, dunia baru, dan dunia masa depan. Kita dipaksa untuk terperangkap di dalamnya, untuk merasa tak nyaman selama durasi filmnya berjalan, untuk memahami cara dua generasi memandang mitos.
Menjadi sungguh menarik bagi saya ketika dalam dua film Fajar dengan IDN Pictures, ia menarik kita masuk ke dunia lama. Sebuah dunia yang jauh lebih sederhana dari dunia yang kita pijak saat ini, sebuah dunia yang masih percaya bahwa sejumlah tradisi perlu dilestarikan agar keseimbangan alam bisa dijaga.
Juga sangat menarik bagi saya ketika Fajar memilih bermain di luar kotak di taman bermainnya yang maha luas itu. Ia mencoba melawan batasan-batasan yang selama ini mungkin banyak mengekangnya. Dan ia melakukan semaksimalnya. Mungkin pilihan-pilihan ini tak sesuai konvensi pasar tapi keberanian Fajar dan IDN Pictures sangat patut dihargai. Bahwa sudah saatnya film Indonesia menawarkan pilihan-pilihan yang jauh lebih kaya dan beragam.
INANG
Produser: Susanti Dewi
Sutradara: Fajar Nugros
Penulis Skenario: Deo Mahameru
Pemain: Naysila Mirdad, Lydia Kandou, Rukman Rosadi
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute
Lihat Juga: Sinopsis Film Korea Omniscient Reader's Viewpoint dan Daftar 8 Pemainnya, Bujet Rp354 Miliar
Cinta di Saku Celana lahir dari cerita yang ditulis sendiri oleh Fajar dan kemudian disutradainya sendiri. Dengan biaya produksi tak besar, di tangan Fajar, cerita itu bisa diolah dengan perspektif unik dan kemudian menjadi identitas Fajar dalam beberapa filmnya berikutnya.
Saya lantas bertemu dengan Fajar saat produksi film Rumah di Seribu Ombak pada akhir tahun 2011. Fajar didapuk sebagai co-director sementara saya membantu Jujur Prananto mengembangkan skenarionya dari novel Erwin Arnada. Saya semakin memahami bahwa Fajar punya visi yang menarik atas film yang dipercayakan kepadanya.
Dari film panjang pertamanya, Mati Bujang di Tengah Malam pada 2007, perlu waktu hingga 15 tahun bagi Fajar untuk bertemu dunia bermain seluas imajinasinya. IDN Pictures menjadi taman bermain mahaluas yang bisa memuat imajinasinya itu dan hasilnya adalah dua film dengan kualitas yang bisa dipertanggungjawabkan: Srimulat: Hil Yang Mustahal dan Inang.
Dalam Srimulat: Hil Yang Mustahal, Fajar memanfaatkan betul kesempatan besar untuk mengeksplorasi taman bermain mahaluas itu. Ia memaksimalkan potensi di semua lini dan paling tidak kita melihat para aktor bercahaya lebih terang di tangannya. Dalam Inang, kita melihat Fajar melahirkan kembali Naysila Mirdad. Nay yang terbiasa kita lihat sebagai pesinetron dengan peran perempuan lemah lembut tersakiti kini menjelma menjadi aktris tangguh yang bersedia melakukan banyak hal di luar kebiasaannya.
Foto: IDN Pictures
Ketika bertemu taman bermain maha luas, Fajar juga mencoba melakukan hal-hal di luar kebiasaannya. Bagi yang sering menonton karya-karyanya, kita tahu kekuatan Fajar terletak pada delivery comedy-nya yang menarik. Tapi kali ini Fajar melompat keluar dari kotak dan mencoba genre yang paling ditakutinya: horor.
Tapi sebenarnya Inang tak bisa dikategorikan sesederhana horor atau thriller. Ia adalah campuran dari banyak hal. Segala kegelisahan dan keresahan Fajar dimasukkan ke dalamnya.
Foto: IDN Pictures
Ia memperlihatkan potret banyak perempuan di Jakarta yang berjuang sekuat tenaga dan di tengah kerapuhannya masih selalu bisa dimanfaatkan oleh sejumlah orang, terutama laki-laki. Kita akan melihat Jakarta yang kumuh, dengan rumah kos berdempetan sehingga kita bisa melihat seorang tetangga mencoba oral seks dengan pintu setengah terbuka.
Kita akan melihat Jakarta tanpa polesan, dengan rumah kos berdempetan yang salah satu di antaranya membuka jasa pelayanan seks kilat ala open BO. Dan kita akan melihat Jakarta yang tanpa ampun menyudutkan perempuan seperti Wulan sehingga tak punya banyak pilihan selain memasrahkan nasibnya pada dua orang asing.
Inang menyodorkan hal baru bagi penonton: weton Rebo Wekasan. Bagi saya yang bukan Jawa, tentu saja ini hal menarik. Saya pun baru tahu tahun ini bahwa weton saya Sabtu Pahing yang dianggap paling powerful dari semua weton. Dan “Inang” membawa kita memasuki dunia lain: sebuah dunia yang masih melanggengkan mitos.
Foto: IDN Pictures
Mungkin saya beruntung karena bisa hidup di tiga fase berbeda: dunia lama yang masih percaya dengan tradisi, dunia baru yang merayakan modernitas, dan dunia masa depan yang mengutamakan logika. Karenanya cara pandang saya mungkin cukup fluid: saya cukup modern tapi pada hal tertentu masih bisa percaya dengan tradisi lama, termasuk soal mitos.
Inang memaparkan banyak hal terkait weton, juga soal benturan antara dunia lama, dunia baru, dan dunia masa depan. Kita dipaksa untuk terperangkap di dalamnya, untuk merasa tak nyaman selama durasi filmnya berjalan, untuk memahami cara dua generasi memandang mitos.
Menjadi sungguh menarik bagi saya ketika dalam dua film Fajar dengan IDN Pictures, ia menarik kita masuk ke dunia lama. Sebuah dunia yang jauh lebih sederhana dari dunia yang kita pijak saat ini, sebuah dunia yang masih percaya bahwa sejumlah tradisi perlu dilestarikan agar keseimbangan alam bisa dijaga.
Juga sangat menarik bagi saya ketika Fajar memilih bermain di luar kotak di taman bermainnya yang maha luas itu. Ia mencoba melawan batasan-batasan yang selama ini mungkin banyak mengekangnya. Dan ia melakukan semaksimalnya. Mungkin pilihan-pilihan ini tak sesuai konvensi pasar tapi keberanian Fajar dan IDN Pictures sangat patut dihargai. Bahwa sudah saatnya film Indonesia menawarkan pilihan-pilihan yang jauh lebih kaya dan beragam.
INANG
Produser: Susanti Dewi
Sutradara: Fajar Nugros
Penulis Skenario: Deo Mahameru
Pemain: Naysila Mirdad, Lydia Kandou, Rukman Rosadi
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute
Lihat Juga: Sinopsis Film Korea Omniscient Reader's Viewpoint dan Daftar 8 Pemainnya, Bujet Rp354 Miliar
(alv)