CERMIN: Apa yang Ingin Kau Ceritakan, David?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tahun 2019. Saya memutuskan menjajal karier baru sebagai sutradara dan telah menonton empat film karya David O Russell.
Sebelum menjadi sutradara, saya memang sudah menyukai film . Bahkan sejak masih kanak-kanak. Saya ingat selalu merengek minta ditemani orang dewasa ke bioskop sewaktu masih SD. Sekarang ini saya selalu menghabiskan malam dengan menonton film/serial/miniseri dan minimal seminggu sekali ke bioskop untuk menyaksikan film dalam format terbaiknya.
Lama kelamaan saya mulai memperhatikan sutradara tertentu dengan film-film yang mereka tangani. Pada tahun 2010 saya berkenalan dengan David O Russell melalui filmnya, The Fighter. Ada kekhasan Amerika yang kasar dalam film tersebut yang justru membuatnya terasa jujur. Selanjutnya Silver Linings Playbookjuga terasa betul dibuat oleh orang yang paham soal berdamai dengan diri sendiri.
Khusus American Hustle, meski saya tetap menyukainya, tapi terasa tak relevan bagi saya. Sementara Joyyang bercerita tentang perjuangan seorang perempuan merintis kariernya entah mengapa terasa seperti tak menyisakan identitas David seperti karya-karya sebelumnya.
Foto: 20th Century Studios
Kekuatan seorang sutradara adalah caranya bercerita dan bagaimana ia mempresentasikan cerita itu di hadapan para penontonnya. Tak semua karya dibuat untuk semua orang.
Karya-karya David juga tak mungkin disukai semua orang meskipun kita mudah dibuat jatuh cinta dengan karakter-karakternya. Justru inilah kekuatan terbesar David: membangun karakter yang kokoh yang kelak dimainkan dengan bagus oleh aktor-aktor pilihannya.
Baca Juga: CERMIN: Tragedi di Balik Badai Katrina
Dalam Amsterdam,kita bertemu dengan tiga karakter utama: Burt, Harold, dan Valerie. Ketiganya bertemu di sebuah medan perang dan akhirnya menjalin persahabatan. Mereka membuat janji untuk selalu saling menolong. Ketika perang telah usai, ketiganya harus berhadapan dengan jenis perang baru. Di sinilah persahabatan mereka diuji sempurna.
Meski berlatar belakang pembuat film, saya justru sering membiarkan diri saya tak terekspos dengan sinopsis atau secuplik cerita dari film yang akan saya tonton. Biasanya saya hanya menyaksikan trailer, poster atau tertarik dengan sutradara atau para aktor-aktrisnya. Ketika menyaksikan Amsterdam, saya sama sekali tak punya bayangan bahwa David akan bercerita tentang apa. Dengan naif saya menyangka ia 'hanya' akan bercerita soal persahabatan.
Foto: 20th Century Studios
Tapi saya salah besar. David mengajak saya memasuki lorong berliku-liku dengan niat untuk bercerita banyak hal. Tapi jika bisa dimampatkan, ia ingin bercerita satu hal: konspirasi. David mungkin ingin menjahili penontonnya, termasuk saya, untuk masuk dulu ke semesta penceritaannya untuk kemudian sadar bahwa kita diajak memasuki labirin.
Amsterdamsangat berbeda dengan The Fighteratau Silver Linings Playbookyang terasa dekat buat saya karena bercerita soal keluarga. Saya mungkin masih terkoneksi dengan Amsterdamdalam konteks persahabatan trio Burt-Harold-Valerie. Namun di luar itu semua, saya tidak paham apa sebenarnya yang ingin diceritakan David.
Mungkin karena bercerita hal-hal besar membuat saya merasa David kehilangan arah kali ini. Terutama soal penceritaan yang terkesan bertele-tele. Mungkin dengan maksud ingin menipu penonton naif seperti saya. Atau mungkin juga memang diniatkan untuk membahas beragam topik. Tapi saya merasa lebih baik David kembali ke akarnya: bercerita soal keluarga Amerika.
Saya belum pernah menyutradarai film panjang. Menyutradarai serial 10 episode dengan durasi 20-an menit per episode sudah pernah. Satu hal yang selalu saya wanti-wanti sejak proses penulisan adalah bagaimana membuat cerita selalu fokus.
Foto: 20th Century Studios
Mungkin saja kali ini David ingin bereksperimen, ingin keluar dari zona nyamannya tapi menurut saya justru terasa tak jujur. Rasanya seperti David tak tahu apa yang ingin dibicarakannya dalam Amsterdam”.
Ia ingin banyak hal dan akhirnya tak mendapatkan apa pun. Bahkan aktor sekaliber Christian Bale pun rasanya tak mampu banyak menolong Amsterdamdari gagapnya David bercerita.
Baca Juga: Review Werewolf by Night: Horor Kejam Tak Biasa dari Marvel
Saya memahami ego sutradara. Tapi saya kira sebagai sutradara, kita juga perlu memahami keterbatasan. Tak akan mungkin kita menguasai segala hal.
Sebelum menjadi sutradara, saya memang sudah menyukai film . Bahkan sejak masih kanak-kanak. Saya ingat selalu merengek minta ditemani orang dewasa ke bioskop sewaktu masih SD. Sekarang ini saya selalu menghabiskan malam dengan menonton film/serial/miniseri dan minimal seminggu sekali ke bioskop untuk menyaksikan film dalam format terbaiknya.
Lama kelamaan saya mulai memperhatikan sutradara tertentu dengan film-film yang mereka tangani. Pada tahun 2010 saya berkenalan dengan David O Russell melalui filmnya, The Fighter. Ada kekhasan Amerika yang kasar dalam film tersebut yang justru membuatnya terasa jujur. Selanjutnya Silver Linings Playbookjuga terasa betul dibuat oleh orang yang paham soal berdamai dengan diri sendiri.
Khusus American Hustle, meski saya tetap menyukainya, tapi terasa tak relevan bagi saya. Sementara Joyyang bercerita tentang perjuangan seorang perempuan merintis kariernya entah mengapa terasa seperti tak menyisakan identitas David seperti karya-karya sebelumnya.
Foto: 20th Century Studios
Kekuatan seorang sutradara adalah caranya bercerita dan bagaimana ia mempresentasikan cerita itu di hadapan para penontonnya. Tak semua karya dibuat untuk semua orang.
Karya-karya David juga tak mungkin disukai semua orang meskipun kita mudah dibuat jatuh cinta dengan karakter-karakternya. Justru inilah kekuatan terbesar David: membangun karakter yang kokoh yang kelak dimainkan dengan bagus oleh aktor-aktor pilihannya.
Baca Juga: CERMIN: Tragedi di Balik Badai Katrina
Dalam Amsterdam,kita bertemu dengan tiga karakter utama: Burt, Harold, dan Valerie. Ketiganya bertemu di sebuah medan perang dan akhirnya menjalin persahabatan. Mereka membuat janji untuk selalu saling menolong. Ketika perang telah usai, ketiganya harus berhadapan dengan jenis perang baru. Di sinilah persahabatan mereka diuji sempurna.
Meski berlatar belakang pembuat film, saya justru sering membiarkan diri saya tak terekspos dengan sinopsis atau secuplik cerita dari film yang akan saya tonton. Biasanya saya hanya menyaksikan trailer, poster atau tertarik dengan sutradara atau para aktor-aktrisnya. Ketika menyaksikan Amsterdam, saya sama sekali tak punya bayangan bahwa David akan bercerita tentang apa. Dengan naif saya menyangka ia 'hanya' akan bercerita soal persahabatan.
Foto: 20th Century Studios
Tapi saya salah besar. David mengajak saya memasuki lorong berliku-liku dengan niat untuk bercerita banyak hal. Tapi jika bisa dimampatkan, ia ingin bercerita satu hal: konspirasi. David mungkin ingin menjahili penontonnya, termasuk saya, untuk masuk dulu ke semesta penceritaannya untuk kemudian sadar bahwa kita diajak memasuki labirin.
Amsterdamsangat berbeda dengan The Fighteratau Silver Linings Playbookyang terasa dekat buat saya karena bercerita soal keluarga. Saya mungkin masih terkoneksi dengan Amsterdamdalam konteks persahabatan trio Burt-Harold-Valerie. Namun di luar itu semua, saya tidak paham apa sebenarnya yang ingin diceritakan David.
Mungkin karena bercerita hal-hal besar membuat saya merasa David kehilangan arah kali ini. Terutama soal penceritaan yang terkesan bertele-tele. Mungkin dengan maksud ingin menipu penonton naif seperti saya. Atau mungkin juga memang diniatkan untuk membahas beragam topik. Tapi saya merasa lebih baik David kembali ke akarnya: bercerita soal keluarga Amerika.
Saya belum pernah menyutradarai film panjang. Menyutradarai serial 10 episode dengan durasi 20-an menit per episode sudah pernah. Satu hal yang selalu saya wanti-wanti sejak proses penulisan adalah bagaimana membuat cerita selalu fokus.
Foto: 20th Century Studios
Mungkin saja kali ini David ingin bereksperimen, ingin keluar dari zona nyamannya tapi menurut saya justru terasa tak jujur. Rasanya seperti David tak tahu apa yang ingin dibicarakannya dalam Amsterdam”.
Ia ingin banyak hal dan akhirnya tak mendapatkan apa pun. Bahkan aktor sekaliber Christian Bale pun rasanya tak mampu banyak menolong Amsterdamdari gagapnya David bercerita.
Baca Juga: Review Werewolf by Night: Horor Kejam Tak Biasa dari Marvel
Saya memahami ego sutradara. Tapi saya kira sebagai sutradara, kita juga perlu memahami keterbatasan. Tak akan mungkin kita menguasai segala hal.