CERMIN: Menyaksikan Arab Saudi yang Berubah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tahun 2011. Saya memulai karier sebagai produser film dan jazirah Arab memasuki sebuah periode yang kelak terkenal sebagai “Arab Spring”.
Revolusi di dunia Arab hanya perlu sebuah pemicu. Dan pemicu itu bernama Mohamed Bouazizi. Ia lulusan dari perguruan tinggi bergengsi yang mendapat perlakuan tak beradab dari aparat. Ia tak terima diperlakukan sedemikian, melakukan unjuk rasa, dan pada akhirnya membakar dirinya sendiri. Masyarakat, terutama generasi muda di jazirah Arab, ikut terbakar karenanya.
Aksi bakar diri Bouazizi memicu gerakan unjuk rasa besar-besaran. Masyarakat sudah muak dan melihat urgensi perlunya Arab lebih membuka diri. Jazirah Arab perlahan memasuki musim semi dan menjadi lebih demokratis. Dari Arab Saudi yang lebih terbuka, kita berkenalan dengan Haifaa Al-Mansour, sutradara pertama dari negeri itu.
Dunia mengenal Haifaa, seperti saya pula mengenalnya, melalui film panjang pertamanya, Wadjda. Sebuah film dengan cerita sederhana tentang seorang anak perempuan yang berusaha memenangkan lomba membaca Al Qur’an demi bisa membeli sepeda yang diidam-idamkannya.
Foto: Music Box Films
Wadjdamenjadi sebuah perkenalan budaya dengan Arab yang lebih terbuka ke seluruh dunia. Kita menjadi saksi bagaimana Arab Saudi berusaha susah payah untuk itu.
The Perfect Candidateyang membuka Madani International Film Festival tahun ini menjadi etalase bagi Haifaa untuk berbicara lebih berani soal keterbukaan ini, tapi dengan sudut pandang yang menarik dan sama sekali tak ambisius. Kita akan berkenalan dengan Maryam, dokter muda yang begitu tulus mencintai profesinya.
Haifaa berbicara banyak hal penting dengan cara paling menyenangkan yang bisa terpikirkan oleh seorang sutradara. Sedari awal kita diperlihatkan sebuah masalah yang kelihatannya remeh tapi terasa betul urgensinya oleh Maryam.
Baca Juga: CERMIN: Apa yang Ingin Kau Ceritakan, David?
Jalanan di depan fasilitas Unit Gawat Darurat di rumah sakit tempatnya bekerja rusak parah. Masyarakat susah payah membawa anggota keluarganya yang perlu pertolongan mendesak. Maryam melihat bahwa hal ini tak bisa dibiarkan.
Yang paling menarik adalah Maryam bukanlah tipe perempuan ambisius. Ia hanya melihat sebuah masalah besar yang perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah. Ia bahkan tak pernah tertarik masuk ke politik hingga sebuah ketaksengajaan membawa nasibnya ke arah sana.
Foto: Music Box Films
Namun ketika tahu bahwa mungkin ini menjadi jalan yang baik untuk melakukan perbaikan jalan itu, Maryam memutuskan untuk melaju sebagai perwakilan kotanya di Pemilu. Sepanjang durasi film, kita tahu bahwa berubah itu tak mudah. Apalagi soal mengubah pemikiran yang sudah terbentuk puluhan tahun.
Baru pada 2018 Arab Saudi mengizinkan perempuan bisa mengendarai mobil seorang diri. Sebuah kemewahan bagi negeri yang sudah merdeka sejak 86 tahun lalu. Maryam digambarkan gesit mengendarai mobilnya dalam film yang dirilis pada 2019 itu.
Ia bisa menyetir mobilnya perlahan tapi juga bisa berkendara dengan kecepatan tinggi saat sedang terburu-buru. Tapi perubahan itu berlangsung lambat. Ternyata tak bisa dilakukan secara terburu-buru.
Mengubah pemikiran masyarakat bahwa perempuan sederajat dengan laki-laki tak semudah yang dibayangkan. Maryam mesti berhadapan dengan pragmatisme itu.
Foto: Music Box Films
Tapi Haifaa tak mengadili pragmatisme itu. Ia hanya menyodorkan kenyataan yang ada. Ia juga seperti tak tertarik membicarakan soal patriarki dengan cara yang dangkal.
Dalam The Perfect Candidate, kita bertemu dengandua laki-laki yang relatif bisa menerima perempuan yang ingin semaju lelaki: ayah Maryam, Abdulaziz dan Omar, seorang pemuda yang ditemuinya di rumah sakit.
Saya menyukai cara Haifaa bicara soal patriarki dalam lingkup keluarga. Abdulaziz mungkin masih terbiasa dengan pemikiran laki-laki Arab pada umumnya bahwa perempuan seharusnya hanya mengurus rumah. Namun ia juga tak melarang ketiga anak perempuannya untuk menjalani mimpinya masing-masing.
Revolusi di dunia Arab hanya perlu sebuah pemicu. Dan pemicu itu bernama Mohamed Bouazizi. Ia lulusan dari perguruan tinggi bergengsi yang mendapat perlakuan tak beradab dari aparat. Ia tak terima diperlakukan sedemikian, melakukan unjuk rasa, dan pada akhirnya membakar dirinya sendiri. Masyarakat, terutama generasi muda di jazirah Arab, ikut terbakar karenanya.
Aksi bakar diri Bouazizi memicu gerakan unjuk rasa besar-besaran. Masyarakat sudah muak dan melihat urgensi perlunya Arab lebih membuka diri. Jazirah Arab perlahan memasuki musim semi dan menjadi lebih demokratis. Dari Arab Saudi yang lebih terbuka, kita berkenalan dengan Haifaa Al-Mansour, sutradara pertama dari negeri itu.
Dunia mengenal Haifaa, seperti saya pula mengenalnya, melalui film panjang pertamanya, Wadjda. Sebuah film dengan cerita sederhana tentang seorang anak perempuan yang berusaha memenangkan lomba membaca Al Qur’an demi bisa membeli sepeda yang diidam-idamkannya.
Foto: Music Box Films
Wadjdamenjadi sebuah perkenalan budaya dengan Arab yang lebih terbuka ke seluruh dunia. Kita menjadi saksi bagaimana Arab Saudi berusaha susah payah untuk itu.
The Perfect Candidateyang membuka Madani International Film Festival tahun ini menjadi etalase bagi Haifaa untuk berbicara lebih berani soal keterbukaan ini, tapi dengan sudut pandang yang menarik dan sama sekali tak ambisius. Kita akan berkenalan dengan Maryam, dokter muda yang begitu tulus mencintai profesinya.
Haifaa berbicara banyak hal penting dengan cara paling menyenangkan yang bisa terpikirkan oleh seorang sutradara. Sedari awal kita diperlihatkan sebuah masalah yang kelihatannya remeh tapi terasa betul urgensinya oleh Maryam.
Baca Juga: CERMIN: Apa yang Ingin Kau Ceritakan, David?
Jalanan di depan fasilitas Unit Gawat Darurat di rumah sakit tempatnya bekerja rusak parah. Masyarakat susah payah membawa anggota keluarganya yang perlu pertolongan mendesak. Maryam melihat bahwa hal ini tak bisa dibiarkan.
Yang paling menarik adalah Maryam bukanlah tipe perempuan ambisius. Ia hanya melihat sebuah masalah besar yang perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah. Ia bahkan tak pernah tertarik masuk ke politik hingga sebuah ketaksengajaan membawa nasibnya ke arah sana.
Foto: Music Box Films
Namun ketika tahu bahwa mungkin ini menjadi jalan yang baik untuk melakukan perbaikan jalan itu, Maryam memutuskan untuk melaju sebagai perwakilan kotanya di Pemilu. Sepanjang durasi film, kita tahu bahwa berubah itu tak mudah. Apalagi soal mengubah pemikiran yang sudah terbentuk puluhan tahun.
Baru pada 2018 Arab Saudi mengizinkan perempuan bisa mengendarai mobil seorang diri. Sebuah kemewahan bagi negeri yang sudah merdeka sejak 86 tahun lalu. Maryam digambarkan gesit mengendarai mobilnya dalam film yang dirilis pada 2019 itu.
Ia bisa menyetir mobilnya perlahan tapi juga bisa berkendara dengan kecepatan tinggi saat sedang terburu-buru. Tapi perubahan itu berlangsung lambat. Ternyata tak bisa dilakukan secara terburu-buru.
Mengubah pemikiran masyarakat bahwa perempuan sederajat dengan laki-laki tak semudah yang dibayangkan. Maryam mesti berhadapan dengan pragmatisme itu.
Foto: Music Box Films
Tapi Haifaa tak mengadili pragmatisme itu. Ia hanya menyodorkan kenyataan yang ada. Ia juga seperti tak tertarik membicarakan soal patriarki dengan cara yang dangkal.
Dalam The Perfect Candidate, kita bertemu dengandua laki-laki yang relatif bisa menerima perempuan yang ingin semaju lelaki: ayah Maryam, Abdulaziz dan Omar, seorang pemuda yang ditemuinya di rumah sakit.
Saya menyukai cara Haifaa bicara soal patriarki dalam lingkup keluarga. Abdulaziz mungkin masih terbiasa dengan pemikiran laki-laki Arab pada umumnya bahwa perempuan seharusnya hanya mengurus rumah. Namun ia juga tak melarang ketiga anak perempuannya untuk menjalani mimpinya masing-masing.