CERMIN: Tragedi di Balik Badai Katrina
loading...

Miniseri Five Days at Memorial menyajikan kisah dilema dan kontroversi keputusan seorang dokter di tengah bencana alam. Foto/Apple TV
A
A
A
JAKARTA - Tahun 2005. Saya masih membangun karier sebagai promoter film di Makassar dan Badai Katrina meluluhlantakkan seantero kota New Orleans.
Saya bergidik membaca tulisan berjudul The Deadly Choices at Memorial yang ditulis Sheri Fink dan dimuat di New York Times. Sheri menulis tulisan panjang itu dengan deskripsi luar biasa yang membuat siapa pun berusaha membayangkan sejelas mungkin yang terjadi di Memorial Medical Center di New Orleans selama badai berlangsung. Kelak tulisan ini diganjar penghargaan jurnalisme paling prestisius, Pulitzer.
Bau kematian menguar pekat ketika tim investigasi memasuki rumah sakit yang menjadi pertahanan terakhir selama Badai Katrina yang dahsyat yang terjadi pada 2005 itu. Sebanyak 45 mayat ditemukan di kapel dan yang menjadi pertanyaan besar, siapa yang bertanggung jawab atas sebegitu banyaknya mayak yang bergelimpangan itu?
Miniseri Five Days at Memorialyang tayang di Apple TV lahir dari kreator John Ridley. Hasil karyanya yang paling teringat tentu saja kisah perbudakan 12 Years a Slave. Sebelum memutuskan untuk menggarap serial ini, John mengirim tulisan Sheri terlebih dahulu ke ayahnya yang seorang pensiunan dokter. Pertanyaan yang hinggap di kepala John dan mungkin kita semua adalah, "Apa yang sesungguhnya terjadi selamalima hari di rumah sakit itu?"
![CERMIN: Tragedi di Balik Badai Katrina]()
Foto: Apple TV
Saya akui akan bias memandang karakter utama dalam serial ini, dokter Anna Pou. Karena saya juga menuntut ilmu di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar, maka saya akan lebih mungkin bersimpati pada yang Anna lakukan untuk pasiennya.
Di tengah badai dan tak ada kemungkinan untuk selamat keluar darinya, jalan keluar apa yang bisa kita tawarkan pada pasien, khususnya pasien dengan penyakit terminal?
Baca Juga: CERMIN: Menemukan Cinta (Lagi) di Bali
Bayangkan ini. Badai menghajar seantero kota selama lima hari. Pertama-tama, air mengepung dan siapa pun tak bisa keluar. Kedua, tak ada aparat atau organ pemerintah yang bersiaga memberi pertolongan.
Ketiga, listrik mati. Keempat, persediaan makanan, minuman dan obat-obatan semakin menipis. Dan tentu saja, bagaimana kondisi pasien dengan penyakit terminal yang semakin sulit bertahan hidup?
Saya bergidik membaca tulisan berjudul The Deadly Choices at Memorial yang ditulis Sheri Fink dan dimuat di New York Times. Sheri menulis tulisan panjang itu dengan deskripsi luar biasa yang membuat siapa pun berusaha membayangkan sejelas mungkin yang terjadi di Memorial Medical Center di New Orleans selama badai berlangsung. Kelak tulisan ini diganjar penghargaan jurnalisme paling prestisius, Pulitzer.
Bau kematian menguar pekat ketika tim investigasi memasuki rumah sakit yang menjadi pertahanan terakhir selama Badai Katrina yang dahsyat yang terjadi pada 2005 itu. Sebanyak 45 mayat ditemukan di kapel dan yang menjadi pertanyaan besar, siapa yang bertanggung jawab atas sebegitu banyaknya mayak yang bergelimpangan itu?
Miniseri Five Days at Memorialyang tayang di Apple TV lahir dari kreator John Ridley. Hasil karyanya yang paling teringat tentu saja kisah perbudakan 12 Years a Slave. Sebelum memutuskan untuk menggarap serial ini, John mengirim tulisan Sheri terlebih dahulu ke ayahnya yang seorang pensiunan dokter. Pertanyaan yang hinggap di kepala John dan mungkin kita semua adalah, "Apa yang sesungguhnya terjadi selamalima hari di rumah sakit itu?"

Foto: Apple TV
Saya akui akan bias memandang karakter utama dalam serial ini, dokter Anna Pou. Karena saya juga menuntut ilmu di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar, maka saya akan lebih mungkin bersimpati pada yang Anna lakukan untuk pasiennya.
Di tengah badai dan tak ada kemungkinan untuk selamat keluar darinya, jalan keluar apa yang bisa kita tawarkan pada pasien, khususnya pasien dengan penyakit terminal?
Baca Juga: CERMIN: Menemukan Cinta (Lagi) di Bali
Bayangkan ini. Badai menghajar seantero kota selama lima hari. Pertama-tama, air mengepung dan siapa pun tak bisa keluar. Kedua, tak ada aparat atau organ pemerintah yang bersiaga memberi pertolongan.
Ketiga, listrik mati. Keempat, persediaan makanan, minuman dan obat-obatan semakin menipis. Dan tentu saja, bagaimana kondisi pasien dengan penyakit terminal yang semakin sulit bertahan hidup?