10 Adaptasi Live-Action Anime Paling Jelek Sepanjang Masa
loading...
A
A
A
Adaptasi live action ini ke mana-mana. Ber-setting pada 2000-an, alih-alih abad 20, film ini mengacaukan sejumlah poin plot utama dan deskripsi karakternya. Ciel Phantomhive menjadi Ciel Genpo, seorang cewek muda, bukan cowok muda. Iblis karismatik Sebastian menjadi orang bodoh yang tidak sepadang dengan garamnya.
Di film ini, Sebastian juga mengabaikan kesepakatan Faustian yang dibuat Ciel dengannya. Alih-alih melahap jiwa Ciel, Sebastian malah jatuh cinta padanya. Sekuat apa pun ikatan Ciel dan Sebastian di anime, perubahan di adaptasi live-action ini sama sekali tidak bisa diterima.
Foto: Moria Reviews
Anime ini dikenal sebagai serial body horror-thriller-sci-fi. Sayang, film live-action-nya punya CGI terburuk. Selain dari efek khusus yang dipertanyakan, film ini gagal menangkap inti sesungguhnya serial ini. Karakternya, dalam desain dan kepribadian, berbeda dari materi sumbernya.
Pertarungan antara manusia dan alien-nya sangat mengecewakan. Rangkaian action koreografinya yang jelak dan respons tidak terdengar dari pihak yang terlibat pertarungan sangat mengecewakan penggemar. Meski film ini bukanlah yang terjelek dari yang terjelek, film live-action ini jeblok.
Foto: ComicBook.com
Seperti sebagian adaptasi live-action anime, film live-action ini juga jeblok. Sejumlah anime tampil lebih baik sebagai serial anime dan kreator seharusnya, dengan cara apa pun, menghindari mengadaptasi mereka ke film atau anime live-action. Serial ini adalah salah satu dari banyak anime yang seharusnya tidak diadaptasi sebagai live-action.
Film ini berusaha memenuhi 20 episode dalam 105 menit. Ini membuat film ini jadi punya penceritaan yang terburu-buru, karakter yang tidak berkembang dan dangkal. Di bagian aktor, film ini juga terlalu banyak kompensasi.
Foto: Inverse
Film live-action di Netflix ini adalah kekecewaan bagi semua penggemar serial ini secara global. Satu-satunya yang bagus dari film ini adalah casting Willem Dafoe seabgai Ryuk. Sisanya, jeblok. Kreatornya bahkan mengubah lokasinya dari kawasan Kanto di Jepang ke Seattle, Washington.
Selain perubahan lokasi ini, mereka juga mengubah peraturan Death Note hanya demi memperpanjang plotnya. Mereka juga mengubah kepribadian Light Yagami, dengan menggambarkannya sebagai remaja emosional alih-alih seorang sosiopat dengan God complex. Film yang dirilis pada 2017 ini mengajarkan kepada penggemar untuk menurunkan ekspektasi mereka terkait adaptasi live-action anime.
Foto: Código Espagueti
Film live-action yang dirilis pada 2010 ini adalah bencana kelas A. Lelucon yang terus berjalan di fandom serial ini adalah kalau film ini tidak pernah ada. Penggemar dengan terang-terangan membantah eksistensi film ini karena mereka menganggapnya sebagai noda franchise yang mereka sukai.
Dari penyimpangan casting hingga perbedaan dalam semua plot serialnya, adaptasi live-action ini hanya membuat marah penggemar. Penampilan para aktornya tidak memenuhi harapan penggemar karena mereka tampil garing dan hambar. Selain menjadi adaptasi yang buruk, adaptasi ini juga film yang jelek.
Di film ini, Sebastian juga mengabaikan kesepakatan Faustian yang dibuat Ciel dengannya. Alih-alih melahap jiwa Ciel, Sebastian malah jatuh cinta padanya. Sekuat apa pun ikatan Ciel dan Sebastian di anime, perubahan di adaptasi live-action ini sama sekali tidak bisa diterima.
4. Parasyte
Foto: Moria Reviews
Anime ini dikenal sebagai serial body horror-thriller-sci-fi. Sayang, film live-action-nya punya CGI terburuk. Selain dari efek khusus yang dipertanyakan, film ini gagal menangkap inti sesungguhnya serial ini. Karakternya, dalam desain dan kepribadian, berbeda dari materi sumbernya.
Pertarungan antara manusia dan alien-nya sangat mengecewakan. Rangkaian action koreografinya yang jelak dan respons tidak terdengar dari pihak yang terlibat pertarungan sangat mengecewakan penggemar. Meski film ini bukanlah yang terjelek dari yang terjelek, film live-action ini jeblok.
3. Ouran High School Host Club
Foto: ComicBook.com
Seperti sebagian adaptasi live-action anime, film live-action ini juga jeblok. Sejumlah anime tampil lebih baik sebagai serial anime dan kreator seharusnya, dengan cara apa pun, menghindari mengadaptasi mereka ke film atau anime live-action. Serial ini adalah salah satu dari banyak anime yang seharusnya tidak diadaptasi sebagai live-action.
Film ini berusaha memenuhi 20 episode dalam 105 menit. Ini membuat film ini jadi punya penceritaan yang terburu-buru, karakter yang tidak berkembang dan dangkal. Di bagian aktor, film ini juga terlalu banyak kompensasi.
2. Death Note
Foto: Inverse
Film live-action di Netflix ini adalah kekecewaan bagi semua penggemar serial ini secara global. Satu-satunya yang bagus dari film ini adalah casting Willem Dafoe seabgai Ryuk. Sisanya, jeblok. Kreatornya bahkan mengubah lokasinya dari kawasan Kanto di Jepang ke Seattle, Washington.
Selain perubahan lokasi ini, mereka juga mengubah peraturan Death Note hanya demi memperpanjang plotnya. Mereka juga mengubah kepribadian Light Yagami, dengan menggambarkannya sebagai remaja emosional alih-alih seorang sosiopat dengan God complex. Film yang dirilis pada 2017 ini mengajarkan kepada penggemar untuk menurunkan ekspektasi mereka terkait adaptasi live-action anime.
1. Avatar: The Last Airbender
Foto: Código Espagueti
Film live-action yang dirilis pada 2010 ini adalah bencana kelas A. Lelucon yang terus berjalan di fandom serial ini adalah kalau film ini tidak pernah ada. Penggemar dengan terang-terangan membantah eksistensi film ini karena mereka menganggapnya sebagai noda franchise yang mereka sukai.
Dari penyimpangan casting hingga perbedaan dalam semua plot serialnya, adaptasi live-action ini hanya membuat marah penggemar. Penampilan para aktornya tidak memenuhi harapan penggemar karena mereka tampil garing dan hambar. Selain menjadi adaptasi yang buruk, adaptasi ini juga film yang jelek.
(alv)