CERMIN: Pertaruhan Atas Nama Cinta

Rabu, 06 Juli 2022 - 13:59 WIB
loading...
CERMIN: Pertaruhan Atas...
Cinta bisa menjadi penggerak luar biasa bagi manusia untuk melakukan pertaruhan besar dalam hidupnya. Foto/Netflix
A A A
JAKARTA - Tahun 2013. Saya memiliki karier yang cukup baik sebagai produser, memiliki seorang putri yang sehat berusia dua tahun, dan Jing Hao mempertaruhkan seluruh hidupnya untuk adiknya yang sakit, Tongtong.

Saya teringat ucapan Sutan Sjahrir puluhan tahun silam, “Hidup yang tidak dipertaruhkan tidak akan dimenangkan”. Di tengah tempaan hidup yang amat keras, Hao yang masih berusia 20 tahun juga bertarung melawan waktu.

Adiknya yang tengah sakit harus dioperasi sebelum usianya menginjak delapan tahun. Hao hanya punya waktu kurang dari dua tahun untuk mengumpulkan sedikitnya 500 ribu yuan. Sementara ia hanya punya toko kecil yang melayani perbaikan ponsel.

Hao tahu waktu tak akan berpihak padanya jika ia tak mempertaruhkan hidupnya. Hao tahu ia tak akan bisa mengumpulkan uang sebanyak itu tanpa melakukan hal paling krusial: berjudi dengan hidupnya. Di Senzhen, desa nelayan yang berubah menjadi pusat industri itu, Hao berjuang. Dan ia menarik kita, para penonton, ke dalam perjuangannya yang gigih.

CERMIN: Pertaruhan Atas Nama Cinta

Foto: Netflix

Hao tak menyerah pada hidup. Ia bertaruh demi hidup adiknya. Namun ribuan kilometer jaraknya dari Senzhen, ada Jasih yang mati membakar diri pada Desember 2004. Ibu berusia 39 tahun itu tak melihat cahaya di ujung jalan dan memilih mengakhiri hidupnya.

Ia putus asa dengan Galuh, anaknya yang masih berumur empat tahun dan tak punya biaya untuk berobat karena kanker otak. Jasih mati, bersama dengan Galuh, yang dihabisinya dengan tangannya sendiri.

Baca Juga: CERMIN: Bertemu Mustakim, Mengingat Ajo Kawir

Jasih mati di Jakarta. Dan kemanusiaan seolah-olah ikut mati di ibu kota negara kita. Masyarakat tak memberinya ruang untuk bertahan hidup, untuk melihat harapan di pengujung jalan. Seandainya Jasih hidup di Senzhen …….

Hao bisa saja memilih jalan seperti Jasih. Menyerah pada hidup. Namun etos kerja masyarakat China membentuknya untuk pantang menyerah. “Selama kita bekerja keras, tak ada hal yang mustahil," adalah sebuah pedoman hidup yang mengaliri seluruh darahnya. Hao selalu tahu bahwa ia punya pilihan. Seandainya Hao tinggal di Jakarta ………

CERMIN: Pertaruhan Atas Nama Cinta

Foto: Netflix

Sebagian dari kita mengalami apa yang dialami Hao dalam film Nice Viewyang bisa ditonton di Netflix. Memiliki seorang tersayang yang dirundung penyakit dan kita bertarung dengan waktu agar ia terus hidup.

Seorang ibu terekspos media sosial minggu ini, menyuarakan agar ganja medis dilegalkan demi kesembuhan anaknya. Seorang ayah di belahan dunia lain berjuang mati-matian mencoba segala pengobatan medis demi putranya. Kita selalu tersentuh bahwa segala upaya luar biasa itu digerakkan oleh satu hal: cinta.

Apalagi yang lebih berdaya di dunia ini selain cinta? Ia menggerakkan kita melampaui batas yang kita punya. Ia memaksa kita melakukan hal-hal yang tak pernah kita lakukan sebelumnya. Dan ia pun membuat kita tak peduli dengan diri kita sendiri karena mengutamakan hidup orang lain.

Namun bagaimana jadinya cinta jika kita lalai dengan diri sendiri? Apa jadinya cinta jika bukan hanya waktu yang dipertaruhkan, tapi juga nyawa? Kita ikut menitikkan air mata ketika melihat Tongtong bersedih saat mendapati Hao dengan segala luka lebam di tubuhnya.

Anak sekecil itu juga mungkin tahu bahwa nyawa tak bisa ditukar dengan nyawa. Hao memang sangat mencintai adiknya, tapi Hao juga perlu mencintai dirinya sendiri.

CERMIN: Pertaruhan Atas Nama Cinta

Foto: Netflix

Cinta dan kemanusiaan. Juga harapan dan persahabatan. Empat hal yang berpendar di Senzhen bersama Hao yang dibantu rekan-rekan kerjanya mewujudkan hal paling mustahil. Cinta pula yang menggerakkan rekan-rekan kerjanya membantunya mati-matian. Jika saja empat hal itu juga melingkupi Lagoa, wilayah pemukiman tempat Jasih berdiam, mungkin ia tak akan mati membakar diri.

Hao di Senzhen, Jasih di Jakarta, dan jutaan orang di dunia berjuang untuk mencari pengobatan bagi sosok terkasihnya. Dan cinta adalah obat paling mujarab. Menggerakkan seluruh sel-sel dalam tubuh kita, memberinya ledakan energi untuk terus bersemangat menatap hidup. Juga memasok daya untuk percaya bahwa pertaruhan akan dimenangkan.

Jika saja Sjahrir masih hidup dan bertandang ke Senzhen dan bertemu Hao, ia tahu bahwa kata-katanya dijalankan dengan penuh kesungguhan. Untuk alasan yang jelas, kadang kita memang tak punya apa-apa lagi selain hidup yang dipertaruhkan. Dan kita berjuang hingga titik darah penghabisan untuk memenangkan pertaruhan itu.

Baca Juga: 9 Film yang Harus Ditonton sebelum Thor: Love and Thunder

Jika saja Hao bertandang ke Jakarta dan bertemu Jasih, mungkin ibu itu masih hidup. Ia tak perlu membakar diri, ia hanya perlu terus membakar semangatnya untuk bekerja keras. Dan Galuh masih hidup, seperti halnya Tongtong yang pada akhirnya terbebas dari penyakit yang dideritanya.

Sayangnya memang hidup tak melulu diisi dengan “jika saja” dan “seandainya”. Sayangnya memang hidup tak selalu sehitam putih yang kita lihat di televisi.

Seandainya Sjahrir masih hidup dan bertemu Jasih, mungkin perempuan itu akan bangkit dan bekerja keras. Tapi Jasih mati membakar diri, juga membakar kemanusiaan kita di Jakarta. Jasih tak melihat bagaimana cara mempertaruhkan hidupnya. Bagaimana pun, ia sudah membuat keputusannya sendiri.

NICE VIEW
Produser: Mingyi Liu, Yibing Wang
Sutradara: Muye Wen
Penulis Skenario: Xiaohan Han, Muye Wen, Mengdi Xiu, Wei Zhong, Chucen Zhou
Pemain: Jackson Yee, Yu Tian, Halin Chen

Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute
(ita)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1319 seconds (0.1#10.140)