Film Melaung: Sudah Jadi Korban Perkosaan, Masih juga Disalahkan
loading...
A
A
A
“Semua yang kamu bilang, cuma bisa saya catat. Dan itu pun enggak cukup kuat untuk membuktikan bahwa kamu adalah korban.”
Foto: Go Play
Selain mengusung isu penghakiman korban, film ini juga menyelipkan bias gender di dalamnya. Lelaki selalu dianggap lebih kuat daripada perempuan. Saat ada lelaki yang melapor dirinya diperkosa oleh perempuan, maka reaksi pertama adalah sangsi hal itu bisa terjadi. Toh, lelaki memiliki tenaga yang lebih besar. Kenapa bisa ditundukkan oleh perempuan? Selain itu, bukti apa yang bisa dibawa oleh lelaki yang diperkosa?
Saya masih ingat, dulu sempat ada rekan yang bercanda bahwa lelaki tidak mungkin bisa diperkosa karena lelaki sangat mudah terangsang. Saat badan sudah menunjukkan reaksi, maka itu bukanlah perkosaan melainkan hubungan suka sama suka.
Ini juga yang dialami Gilang. Polwan Ida berulang kali menanyakan apakah dia menikmati hubungan itu atau mengapa tidak melawan. Lama-kelamaan, tentu saja ini membuat Gilang berang.
Dia sudah datang dalam kondisi babak belur dan hendak melaporkan tindak kejahatan, malah terkesan dirinya yang membuat fitnah menuduh orang lain. Twist di akhir cerita juga benar-benar membuat Gilang kembali menjadi korban yang sangat malang.
Baca Juga: 9 Komentar Savage BTS ke Media dan Netizen, RM dan V Paling Sadis!
Bagi saya, film pendek ini benar-benar sarat dengan pesan moral dan juga sindirian pada struktur perlindungan korban, terutama korban pelecehan dan kekerasan seksual, di negeri kita.
Seorang korban pastilah mengalami kerugian. Kita seharusnya membantu dan melindungi mereka, bukannya malah memberinya kerugian lebih banyak lagi. Semoga saja, kita bisa lebih baik lagi ke depannya dalam melindungi para korban kejahatan.
Pesan terakhir di end scene: Terdapat 3.566 kasus pelecehan dan kekerasan seksual terhadap perempuan yang tercatat pada tahun 2018. Banyak yang mengaku tidak mau melapor karena takut dianggap kotor.
Fayye Arsyana
Penikmat film dari komunitas KamAksara
Foto: Go Play
Selain mengusung isu penghakiman korban, film ini juga menyelipkan bias gender di dalamnya. Lelaki selalu dianggap lebih kuat daripada perempuan. Saat ada lelaki yang melapor dirinya diperkosa oleh perempuan, maka reaksi pertama adalah sangsi hal itu bisa terjadi. Toh, lelaki memiliki tenaga yang lebih besar. Kenapa bisa ditundukkan oleh perempuan? Selain itu, bukti apa yang bisa dibawa oleh lelaki yang diperkosa?
Saya masih ingat, dulu sempat ada rekan yang bercanda bahwa lelaki tidak mungkin bisa diperkosa karena lelaki sangat mudah terangsang. Saat badan sudah menunjukkan reaksi, maka itu bukanlah perkosaan melainkan hubungan suka sama suka.
Ini juga yang dialami Gilang. Polwan Ida berulang kali menanyakan apakah dia menikmati hubungan itu atau mengapa tidak melawan. Lama-kelamaan, tentu saja ini membuat Gilang berang.
Dia sudah datang dalam kondisi babak belur dan hendak melaporkan tindak kejahatan, malah terkesan dirinya yang membuat fitnah menuduh orang lain. Twist di akhir cerita juga benar-benar membuat Gilang kembali menjadi korban yang sangat malang.
Baca Juga: 9 Komentar Savage BTS ke Media dan Netizen, RM dan V Paling Sadis!
Bagi saya, film pendek ini benar-benar sarat dengan pesan moral dan juga sindirian pada struktur perlindungan korban, terutama korban pelecehan dan kekerasan seksual, di negeri kita.
Seorang korban pastilah mengalami kerugian. Kita seharusnya membantu dan melindungi mereka, bukannya malah memberinya kerugian lebih banyak lagi. Semoga saja, kita bisa lebih baik lagi ke depannya dalam melindungi para korban kejahatan.
Pesan terakhir di end scene: Terdapat 3.566 kasus pelecehan dan kekerasan seksual terhadap perempuan yang tercatat pada tahun 2018. Banyak yang mengaku tidak mau melapor karena takut dianggap kotor.
Fayye Arsyana
Penikmat film dari komunitas KamAksara
(ita)