Film Melaung: Sudah Jadi Korban Perkosaan, Masih juga Disalahkan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Menjadi korban itu tidak mudah, apa lagi jadi korban perkosaan. Ini yang tergambar jelas dalam film pendek Melaung yang tayang di Go Play.
Apa artinya menjadi korban kejahatan? Menurut draft UN Convention on Justice and Support for Victims of Crime and Abuse of Power yang disusun oleh World Society of Victimology, korban adalah seseorang yang menderita kerugian, termasuk cedera fisik maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi, atau pelanggaran hak. Definisi korban ini sangatlah luas, tapi menitikberatkan kepada satu hal: menderita kerugian.
Sayangnya, menjadi korban tidaklah mudah. Selain harus membuktikan bahwa korban mengalami kerugian, korban juga harus mengungkapkan “derajat kesalahannya” atau keterlibatannya hingga membuat suatu tindak kejahatan terjadi.
Beniamin Mendelsohn menyebutkan bahwa berdasarkan derajat kesalahannya, korban dibedakan menjadi lnam macam, yaitu
1. Korban yang benar-benar tidak bersalah
2. Koban memiliki sedikit kesalahan akibat ketidaktahuan
3. Kesalahan korban sama dengan pelaku
4. Korban lebih bersalah dari pelaku
5. Korban sendiri yang memiliki kesalahan/paling bersalah
6. Korban imajinatif
Film pendek Melaungberupaya mengangkat sulitnya menjadi korban, apalagi saat ada bias gender dan kasus yang sulit dibuktikan. Gilang (Bismo Satrio) datang ke kantor polisi dengan wajah bengkak dan memar-memar. Bukannya simpati, Ida, polwan yang ditugaskan mencatat laporan Gilang, malah tidak percaya dengan cerita Gilang. Bagaimana tidak? Gilang melaporkan bahwa dirinya baru saja diperkosa kemarin malam oleh tiga perempuan.
Foto: Go Play
Di sini judgement mulai terjadi. Polisi yang seharusnya menjadi pengayom masyarakat dan bersikap objektif, justru menunjukkan rasa tidak percaya pada cerita Gilang. Beberapa perkataan yang dilontarkan Ida malah memojokkan dan mempertanyakan kebenaran cerita Gilang.
Hal ini bisa juga didasari karena definisi perkosaan menurut KUHP pasal 28 sangatlah sempit. Perkosaan menurut undang-undang adalah tindak persetubuhan berdasar ancaman atau kekerasan yang dilakukan pada perempuan yang bukan istri sah. Dengan menggunakan definisi tersebut, maka pria tidak bisa menjadi korban pemerkosaan. Oleh karena itu, apa yang dialami Gilang tidak mungkin terjadi.
Belum lagi, batas antara pemerkosaan dan hubungan seksual yang dilakukan atas dasar suka sama suka seringkali sulit dibuktikan. Suatu hubungan seksual bisa dianggap pemerkosaan jika dilakukan atas dasar terpaksa atau kekerasan. Korban harus bisa membuktikan dengan jelas bahwa dia tidak menginginkan hubungan seksual tersebut.
“Kalau kamu nggak teriak, mereka pikir kamu nikmatin.”
Bagaimana rasanya jadi Gilang? Tentu saja sakit. Apalagi saat Ida malah ikut melecehkan Gilang secara tidak langsung dengan berkomentar mengenai wajah Gilang yang menarik dan juga badan Gilang yang berotot. Ida juga sempat melontarkan pertanyaan apakah Gilang sedang mengenakan pakaian ketat dan mengundang.
Baca Juga: Film Pendek Probabilitas, Permainan Menguji Peluang Jodoh
Anggapan bahwa korban pemerkosaan pastilah melakukan sesuatu yang “mengundang” pemerkosa juga tergambarkan di sini. Bukankah kita sering melihat atau mendengar ada yang memaklumi suatu tindakan pemerkosaan jika sang korban adalah perempuan yang muda, cantik, seksi, atau pakai baju seronok? Seakan-akan, karena kelakukan korban itulah yang membuat pemerkosaan terjadi. Padahal, nafsu, ya, nafsu saja. Kenapa malah menyalahkan korban?
Nah, di sinilah biasanya terjadi Viktimisasi Sekunder, terutama jika kasus mencuat ke khalayak umum. Setelah seseorang menjadi korban (Viktimisasi primer), mereka bisa menjadi korban lagi akibat perbuatan seseorang atau institusi yang berbeda, tapi sama-sama memberikan kerugian pada korban.
Contoh Viktimisasi Sekunder adalah saat media massa bukannya melindungi identitas korban kejahatan, tetapi malah menyebarkan segala sesuatu tentang korban ke masyarakat umum, termasuk hal-hal yang tidak berkaitan sama sekali dengan korban dan kejahatan.
Misalnya saja, korban pemerkosaan malah diberitakan kehidupan sehari-harinya, pernah pacaran dengan siapa, gaya hidup seperti apa, dan lain sebagainya. Semua itu bisa jadi membuat masyarakat membenarkan alasan korban diperkosa.
Korban yang seharusnya dilindungi, malah dijadikan obyek dan mengalami penderitaan sosial (social injuries). Sayangnya, hal ini kerap terjadi bukan hanya dari media massa. Para aparat penegak hukum juga seringkali melakukan Viktimisasi Sekunder ini.
Kurangnya rasa empati terhadap korban dan juga sikap “hanya mengerjakan kewajiban” tanpa ada rasa pengabdian pada masyarakat yang seharusnya dilindungi, seringkali membuat korban kejahatan merasa tidak ada gunanya melapor pada aparat berwajib karena tidak akan ditanggapi. Buruk-buruknya, malah dianggap melaporkan kejadian fiktif.
“Maksud Ibu, saya bohong, gitu?"
Apa artinya menjadi korban kejahatan? Menurut draft UN Convention on Justice and Support for Victims of Crime and Abuse of Power yang disusun oleh World Society of Victimology, korban adalah seseorang yang menderita kerugian, termasuk cedera fisik maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi, atau pelanggaran hak. Definisi korban ini sangatlah luas, tapi menitikberatkan kepada satu hal: menderita kerugian.
Sayangnya, menjadi korban tidaklah mudah. Selain harus membuktikan bahwa korban mengalami kerugian, korban juga harus mengungkapkan “derajat kesalahannya” atau keterlibatannya hingga membuat suatu tindak kejahatan terjadi.
Beniamin Mendelsohn menyebutkan bahwa berdasarkan derajat kesalahannya, korban dibedakan menjadi lnam macam, yaitu
1. Korban yang benar-benar tidak bersalah
2. Koban memiliki sedikit kesalahan akibat ketidaktahuan
3. Kesalahan korban sama dengan pelaku
4. Korban lebih bersalah dari pelaku
5. Korban sendiri yang memiliki kesalahan/paling bersalah
6. Korban imajinatif
Film pendek Melaungberupaya mengangkat sulitnya menjadi korban, apalagi saat ada bias gender dan kasus yang sulit dibuktikan. Gilang (Bismo Satrio) datang ke kantor polisi dengan wajah bengkak dan memar-memar. Bukannya simpati, Ida, polwan yang ditugaskan mencatat laporan Gilang, malah tidak percaya dengan cerita Gilang. Bagaimana tidak? Gilang melaporkan bahwa dirinya baru saja diperkosa kemarin malam oleh tiga perempuan.
Foto: Go Play
Di sini judgement mulai terjadi. Polisi yang seharusnya menjadi pengayom masyarakat dan bersikap objektif, justru menunjukkan rasa tidak percaya pada cerita Gilang. Beberapa perkataan yang dilontarkan Ida malah memojokkan dan mempertanyakan kebenaran cerita Gilang.
Hal ini bisa juga didasari karena definisi perkosaan menurut KUHP pasal 28 sangatlah sempit. Perkosaan menurut undang-undang adalah tindak persetubuhan berdasar ancaman atau kekerasan yang dilakukan pada perempuan yang bukan istri sah. Dengan menggunakan definisi tersebut, maka pria tidak bisa menjadi korban pemerkosaan. Oleh karena itu, apa yang dialami Gilang tidak mungkin terjadi.
Belum lagi, batas antara pemerkosaan dan hubungan seksual yang dilakukan atas dasar suka sama suka seringkali sulit dibuktikan. Suatu hubungan seksual bisa dianggap pemerkosaan jika dilakukan atas dasar terpaksa atau kekerasan. Korban harus bisa membuktikan dengan jelas bahwa dia tidak menginginkan hubungan seksual tersebut.
“Kalau kamu nggak teriak, mereka pikir kamu nikmatin.”
Bagaimana rasanya jadi Gilang? Tentu saja sakit. Apalagi saat Ida malah ikut melecehkan Gilang secara tidak langsung dengan berkomentar mengenai wajah Gilang yang menarik dan juga badan Gilang yang berotot. Ida juga sempat melontarkan pertanyaan apakah Gilang sedang mengenakan pakaian ketat dan mengundang.
Baca Juga: Film Pendek Probabilitas, Permainan Menguji Peluang Jodoh
Anggapan bahwa korban pemerkosaan pastilah melakukan sesuatu yang “mengundang” pemerkosa juga tergambarkan di sini. Bukankah kita sering melihat atau mendengar ada yang memaklumi suatu tindakan pemerkosaan jika sang korban adalah perempuan yang muda, cantik, seksi, atau pakai baju seronok? Seakan-akan, karena kelakukan korban itulah yang membuat pemerkosaan terjadi. Padahal, nafsu, ya, nafsu saja. Kenapa malah menyalahkan korban?
Nah, di sinilah biasanya terjadi Viktimisasi Sekunder, terutama jika kasus mencuat ke khalayak umum. Setelah seseorang menjadi korban (Viktimisasi primer), mereka bisa menjadi korban lagi akibat perbuatan seseorang atau institusi yang berbeda, tapi sama-sama memberikan kerugian pada korban.
Contoh Viktimisasi Sekunder adalah saat media massa bukannya melindungi identitas korban kejahatan, tetapi malah menyebarkan segala sesuatu tentang korban ke masyarakat umum, termasuk hal-hal yang tidak berkaitan sama sekali dengan korban dan kejahatan.
Misalnya saja, korban pemerkosaan malah diberitakan kehidupan sehari-harinya, pernah pacaran dengan siapa, gaya hidup seperti apa, dan lain sebagainya. Semua itu bisa jadi membuat masyarakat membenarkan alasan korban diperkosa.
Korban yang seharusnya dilindungi, malah dijadikan obyek dan mengalami penderitaan sosial (social injuries). Sayangnya, hal ini kerap terjadi bukan hanya dari media massa. Para aparat penegak hukum juga seringkali melakukan Viktimisasi Sekunder ini.
Kurangnya rasa empati terhadap korban dan juga sikap “hanya mengerjakan kewajiban” tanpa ada rasa pengabdian pada masyarakat yang seharusnya dilindungi, seringkali membuat korban kejahatan merasa tidak ada gunanya melapor pada aparat berwajib karena tidak akan ditanggapi. Buruk-buruknya, malah dianggap melaporkan kejadian fiktif.
“Maksud Ibu, saya bohong, gitu?"