Pelabelan Buruk pada Anak Didik Bisa Berakibat Fatal
loading...
A
A
A
JAKARTA - Di sekolah atau kampus tak jarang peserta didik diberi label positif atau negatif. Label positif diberikan kepada anak yang dianggap mampu secara akademik atau biasanya mendapat peringkat lebih tinggi.
Sedangkan untuk label negatif diberikan kepada anak yang dianggap kurang mampu secara akademik atau punya gangguan belajar.
Dalam buku pedoman berjudul "The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM)" yang diterbitkan oleh American Psychiatric Association, hal ini disebut sebagai Specific Learning Disorder (SLD)
Specific Learning Disorder adalah gangguan perkembangan saraf biologis dengan dasar kelainan di otak terkait dengan tanda-tanda perilaku gangguan tersebut.
Tanda-tanda perilaku berhubungan dengan kesulitan dalam membaca, menulis, dan berhitung. Seseorang dianggap mengidap SLD jika mendapat peringkat di bawah 7% pada nilai tes kemampuan khusus untuk usianya.
Foto: Getty Images
Meskipun SLD dideskripsikan sebagai gangguan biologis dengan dasar pada beberapa kelainan di otak, kenyataannya hanya ada sedikit bukti yang mendukung deskripsi tersebut.
Peters dan Ansari (2019) menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa tidak ada bukti yang kuat untuk gangguan perkembangan saraf biologis dengan dasar kelainan di otak yang terkait dengan gangguan belajar. Klaim bahwa setiap SLD adalah hasil dari beberapa perbedaan otak hanyalah sebuah hipotesis. Tidak ada yang pernah didiagnosis dengan kelainan seperti itu hanya dengan melihat ke otak.
Memberikan label terhadap seseorang mungkin bermanfaat jika beberapa klaim tentang gangguan itu benar. Namun demikian, pelabelan lebih sering membuat penghambatan pada aktivitas pembelajaran seseorang.
Mengutip dari Psychology Today ,berikut beberapa konsekuensi yang didapat dari pelabelan terhadap peserta didik.
1. LABEL MEMBUAT OBJEKNYA JADI TAK BERDAYA
Foto: Shutterstock
Asumsi yang disampaikan dalam sebagian besar tulisan tentang diagnosis gangguan belajar adalah akibat dari kelainan pada otak. Asumsi ini tidak beralasan, tetapi tetap tersampaikan, tidak hanya kepada guru dan orang tua tetapi juga kepada orang yang diberi label.
Nah, hal ini bisa meningkatkan rasa tidak berdaya pada orang yang diberi label. Perasaan bahwa tidak banyak yang bisa mereka lakukan untuk memperbaiki masalah tersebut.
Baca Juga: 5 Ilmu yang Mesti Dikuasai Kalau Mau Jadi Pendidik yang Kompeten
2. LABEL MENGURANGI KESEMPATAN BELAJAR
Foto: Shutterstock
Dara Shifrer dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa orang tua dan guru punya ekspektasi yang lebih rendah terhadap peserta didik yang dicap punya gangguan belajar. Guru percaya bahwa mereka yang memiliki gangguan belajar tidak akan menunjukkan banyak peningkatan apa pun.
3. LABEL BISA MENGARAH PADA PENGOBATAN YANG MENGGANGGU PEMBELAJARAN
Foto:Getty Images
Edwin S. Ellis menjelaskan cara-cara yang digunakan untuk membantu peserta didik yang didiagnosis sebagai gangguan belajar. Dia menunjukkan bahwa sering kali peserta didik seperti itu diberikan instruksi membosankan yang berfokus pada menghafal fakta yang terkait atau mempraktikkan keterampilan akademis tingkat rendah dengan mengorbankan fokus pada konten yang bermakna.
4. LABEL JADI JUSTIFIKASI KEGAGALAN SEKOLAH
Foto: Corbis
Sekolah punya asumsi bahwa semua anak normal siap untuk mempelajari hal yang sama, pada saat yang sama, dengan cara yang sama. Asumsi ini jelas-jelas salah, tapi jika pembuat kebijakan pendidikan mengakuinya salah, mereka harus secara dramatis mengubah cara sekolah beroperasi.
Baca Juga: Tips Sukses KKN dan Pengabdian Masyarakat untuk Mahasiswa
Jadi, sekolah terus mendorong dan menekan untuk membuat semua anak melalui jalan yang sama. Alih-alih menyimpulkan bahwa ada yang salah dengan sekolah, mereka mungkin menyimpulkan bahwa ada yang salah dengan anak tersebut.
Septi Kurnia
Kontributor GenSINDO
Universitas Negeri Jakarta
Instagram: @septikurnia28
Sedangkan untuk label negatif diberikan kepada anak yang dianggap kurang mampu secara akademik atau punya gangguan belajar.
Dalam buku pedoman berjudul "The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM)" yang diterbitkan oleh American Psychiatric Association, hal ini disebut sebagai Specific Learning Disorder (SLD)
Specific Learning Disorder adalah gangguan perkembangan saraf biologis dengan dasar kelainan di otak terkait dengan tanda-tanda perilaku gangguan tersebut.
Tanda-tanda perilaku berhubungan dengan kesulitan dalam membaca, menulis, dan berhitung. Seseorang dianggap mengidap SLD jika mendapat peringkat di bawah 7% pada nilai tes kemampuan khusus untuk usianya.
Foto: Getty Images
Meskipun SLD dideskripsikan sebagai gangguan biologis dengan dasar pada beberapa kelainan di otak, kenyataannya hanya ada sedikit bukti yang mendukung deskripsi tersebut.
Peters dan Ansari (2019) menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa tidak ada bukti yang kuat untuk gangguan perkembangan saraf biologis dengan dasar kelainan di otak yang terkait dengan gangguan belajar. Klaim bahwa setiap SLD adalah hasil dari beberapa perbedaan otak hanyalah sebuah hipotesis. Tidak ada yang pernah didiagnosis dengan kelainan seperti itu hanya dengan melihat ke otak.
Memberikan label terhadap seseorang mungkin bermanfaat jika beberapa klaim tentang gangguan itu benar. Namun demikian, pelabelan lebih sering membuat penghambatan pada aktivitas pembelajaran seseorang.
Mengutip dari Psychology Today ,berikut beberapa konsekuensi yang didapat dari pelabelan terhadap peserta didik.
1. LABEL MEMBUAT OBJEKNYA JADI TAK BERDAYA
Foto: Shutterstock
Asumsi yang disampaikan dalam sebagian besar tulisan tentang diagnosis gangguan belajar adalah akibat dari kelainan pada otak. Asumsi ini tidak beralasan, tetapi tetap tersampaikan, tidak hanya kepada guru dan orang tua tetapi juga kepada orang yang diberi label.
Nah, hal ini bisa meningkatkan rasa tidak berdaya pada orang yang diberi label. Perasaan bahwa tidak banyak yang bisa mereka lakukan untuk memperbaiki masalah tersebut.
Baca Juga: 5 Ilmu yang Mesti Dikuasai Kalau Mau Jadi Pendidik yang Kompeten
2. LABEL MENGURANGI KESEMPATAN BELAJAR
Foto: Shutterstock
Dara Shifrer dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa orang tua dan guru punya ekspektasi yang lebih rendah terhadap peserta didik yang dicap punya gangguan belajar. Guru percaya bahwa mereka yang memiliki gangguan belajar tidak akan menunjukkan banyak peningkatan apa pun.
3. LABEL BISA MENGARAH PADA PENGOBATAN YANG MENGGANGGU PEMBELAJARAN
Foto:Getty Images
Edwin S. Ellis menjelaskan cara-cara yang digunakan untuk membantu peserta didik yang didiagnosis sebagai gangguan belajar. Dia menunjukkan bahwa sering kali peserta didik seperti itu diberikan instruksi membosankan yang berfokus pada menghafal fakta yang terkait atau mempraktikkan keterampilan akademis tingkat rendah dengan mengorbankan fokus pada konten yang bermakna.
4. LABEL JADI JUSTIFIKASI KEGAGALAN SEKOLAH
Foto: Corbis
Sekolah punya asumsi bahwa semua anak normal siap untuk mempelajari hal yang sama, pada saat yang sama, dengan cara yang sama. Asumsi ini jelas-jelas salah, tapi jika pembuat kebijakan pendidikan mengakuinya salah, mereka harus secara dramatis mengubah cara sekolah beroperasi.
Baca Juga: Tips Sukses KKN dan Pengabdian Masyarakat untuk Mahasiswa
Jadi, sekolah terus mendorong dan menekan untuk membuat semua anak melalui jalan yang sama. Alih-alih menyimpulkan bahwa ada yang salah dengan sekolah, mereka mungkin menyimpulkan bahwa ada yang salah dengan anak tersebut.
Septi Kurnia
Kontributor GenSINDO
Universitas Negeri Jakarta
Instagram: @septikurnia28
(ita)