Bumi Setelah Pandemi Corona, Jadi Lebih Baik atau Makin Buruk?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Langit Jakarta dan daerah-daerah lainnya di Indonesia akhir-akhir ini jadi lebih cakep dan cerah. Sebuah dampak langsung dari berkurangnya polusi di negara ini. Tapi sampai kapan?
Setelah 30 hari kita #DiRumahAja gara-gara pandemi virus Corona, langit dan udara emang jadi lebih segar. Begitu pun di belahan dunia lainnya.
Selama ini, pemanasan global (global warming) hingga menyebabkan perubahan iklim (climate change) menjadi PR besar masyarakat dunia. Berbagai tokoh, komunitas, dan gerakan atau kampanye muncul untuk mengurangi laju perubahan iklim ini.
Dalam masa perjuangan berat membuat isu lingkungan hidup jadi perhatian utama para pemimpin dunia, pandemi virus Corona muncul, dan menunjukan bahwa berkurangnya pergerakan manusia dan ekonomi justru membuat kondisi lingkungan membaik.
Tapi, apakah ini akan berlangsung lama? Atau malah setelah pandemi berakhir, nasib Bumi justru malah bertambah parah?
Foto: field.org.uk
Worldometers mencatat, saat berita ini ditulis, sejauh ini jumlah kasus yang terinfeksi COVID-19 udah mencapai 1,7 juta orang dengan angka kematian lebih dari 102.800, dan jumlah pasien yang berhasil sembuh 376.400 dari total kasus di seluruh dunia.
Usaha untuk mengekang penyebaran virus ini membuat pergerakan planet Bumi sedikit berkurang. Para peneliti melaporkan adanya penurunan kebisingan gelombang seismik.
Kebijakan yang ditetapkan memaksa orang di banyak negara untuk tetap tinggal di rumah, bekerja dari rumah, jaringan transportasi dan akses pendukung aktivitas manusia yang dibatasi atau bahkan ditutup.
Sama seperti gempa bumi yang menyebabkan kerak Bumi bergerak, getaran yang disebabkan oleh kendaraan berjalan dan mesin-mesin penunjang industri juga demikian.
Foto: Okezone
Dikutip dari The Independent, Thomas Lecocq, seismolog Royal Observatory of Belgiumdi Brussels, mengatakan bahwa pengurangan kebisingan seismik sebesar ini biasanya cuma dialami saat sekitar Natal, itu pun singkat dan penurunannya kecil.
“Di tengah pandemi global yang bergerak cepat ini, wajar jika kita juga memikirkan ancaman besar lainnya yang kita hadapi. Perubahan iklim global, dan apa yang mungkin kita pelajari sekarang untuk membantu kita bersiap untuk hari esok,” kata Peter Gleick, ilmuan iklim dan pendiri Institut Pasifik di Berkeley, California. Dikutip dari CNBC.
Sampai Kapan?
Ketakutan di kalangan pencinta lingkungan dan penduduk adalah bahwa, alih-alih berusaha mempertahankan tingkat polusi yang rendah di ibu kota terbesar dunia, ketika industri kembali beraksi pascakarantina, situasinya akan kembali ke titik awal, dan mungkin bahkan akan memburuk, ketika orang-orang dan industri berusaha menebus waktu berbulan-bulan mereka yang hilang.
Dampak lingkungan yang terjadi saat ini justru lebih mirip dengan efek yang terjadi setelah krisis ekonomi 2008 dan 2009. “Saat itu, tingkat emisi global merosot jauh selama setahun,” jelas Julia Pongratz, profesor geografi fisika dan sistem penggunaan tanah di Departemen Geografi Universitas Munich, Jerman.
Foto: thesun.co.uk
Kala itu, pengurangan emisi terjadi karena berkurangnya kegiatan industri, yang menyumbang emisi karbon nyaris setara dengan transportasi. Emisi gabungan dari proses industri, manufaktur, dan konstruksi menyumbang 18,4% emisi global yang berasal dari kegiatan manusia.
Krisis ekonomi 2008-2009 mengakibatkan menurunnya kadar emisi hingga 1,3%. Tapi saat perekonomian pulih dan kembali normal pada 2010, angka emisi kembali melambung, bahkan mencapai yang tertinggi sepanjang sejarah.
“Ada pertanda bahwa virus Corona akan mengakibatkan hal yang sama,” ujar Pongratz. “Sebagai contoh, permintaan produk berbahan dasar minyak, besi, dan logam menurun. Tapi pada saat yang sama, stok bahan baku tersebut masih sangat tinggi, sehingga produksi dapat segera mengikuti.”
Salah satu faktor yang bisa memengaruhi apakah kadar emisi akan kembali melambung adalah berapa lama situasi pandemi virus Corona akan berlangsung. “Pada saat ini, kondisinya masih sulit untuk diprediksi,” tambahnya.
Foto: Getty Images
Para pemimpin, ilmuwan, dan aktivis PBB mendorong debat publik yang mendesak agar pemulihan dapat fokus pada pekerjaan ramah lingkungan dan ramah energi, membangun efisiensi, infrastruktur alam, dan memperkuat kepemilikan bersama secara global.
“Ini adalah pertempuran politik besar,” kata Laurance Tubiana, CEO Yayasan Iklim Eropa dan arsitek Perjanjian Paris melansir dari The Guardian. Para ilmuwan terkemuka telah bersama-sama menandatangani permohonan terbuka bagi pemerintah untuk melakukan pemulihan agar beralih ke arah yang lebih “hijau” atau berorientasi pada alam daripada kembali ke bisnis biasa.
Pada akhirnya, dampak lingkungan yang paling penting kemungkinan ada pada persepsi publik. Pandemi telah menunjukkan konsekuensi mematikan dari mengabaikan peringatan yang sudah lebih dulu dilontarkan para ahli, penundaan politik, dan mengorbankan kesehatan manusia dan alam untuk ekonomi.
Foto: Home Magazine
Menurut para ilmuwan di Universitas Harvard, pandemi juga menunjukkan bahwa polusi menurunkan daya tahan kita terhadap penyakit. Semakin banyak paparan asap lalu lintas, berarti membuat paru-paru lebih lemah dan rentan akan kematian yang lebih besar dari COVID-19.
100 hari setelah virus Corona menyebar, dan jelang Hari Bumi pada 22 April mendatang, hal ini sudah mengubah cara berpikir kita mengenai perubahan. Pada akhirnya, apakah pandemi ini membawa dampak yang lebih baik atau buruk bagi lingkungan tidak bergantung pada virus, melainkan bagaimana cara manusia memperlakukan satu-satunya planet yang bisa menjadi tempat tinggalnya.
GenSINDO
Vinny Vera Oktavia
Universitas Negeri Jakarta
Setelah 30 hari kita #DiRumahAja gara-gara pandemi virus Corona, langit dan udara emang jadi lebih segar. Begitu pun di belahan dunia lainnya.
Selama ini, pemanasan global (global warming) hingga menyebabkan perubahan iklim (climate change) menjadi PR besar masyarakat dunia. Berbagai tokoh, komunitas, dan gerakan atau kampanye muncul untuk mengurangi laju perubahan iklim ini.
Dalam masa perjuangan berat membuat isu lingkungan hidup jadi perhatian utama para pemimpin dunia, pandemi virus Corona muncul, dan menunjukan bahwa berkurangnya pergerakan manusia dan ekonomi justru membuat kondisi lingkungan membaik.
Tapi, apakah ini akan berlangsung lama? Atau malah setelah pandemi berakhir, nasib Bumi justru malah bertambah parah?
Foto: field.org.uk
Worldometers mencatat, saat berita ini ditulis, sejauh ini jumlah kasus yang terinfeksi COVID-19 udah mencapai 1,7 juta orang dengan angka kematian lebih dari 102.800, dan jumlah pasien yang berhasil sembuh 376.400 dari total kasus di seluruh dunia.
Usaha untuk mengekang penyebaran virus ini membuat pergerakan planet Bumi sedikit berkurang. Para peneliti melaporkan adanya penurunan kebisingan gelombang seismik.
Kebijakan yang ditetapkan memaksa orang di banyak negara untuk tetap tinggal di rumah, bekerja dari rumah, jaringan transportasi dan akses pendukung aktivitas manusia yang dibatasi atau bahkan ditutup.
Sama seperti gempa bumi yang menyebabkan kerak Bumi bergerak, getaran yang disebabkan oleh kendaraan berjalan dan mesin-mesin penunjang industri juga demikian.
Foto: Okezone
Dikutip dari The Independent, Thomas Lecocq, seismolog Royal Observatory of Belgiumdi Brussels, mengatakan bahwa pengurangan kebisingan seismik sebesar ini biasanya cuma dialami saat sekitar Natal, itu pun singkat dan penurunannya kecil.
“Di tengah pandemi global yang bergerak cepat ini, wajar jika kita juga memikirkan ancaman besar lainnya yang kita hadapi. Perubahan iklim global, dan apa yang mungkin kita pelajari sekarang untuk membantu kita bersiap untuk hari esok,” kata Peter Gleick, ilmuan iklim dan pendiri Institut Pasifik di Berkeley, California. Dikutip dari CNBC.
Sampai Kapan?
Ketakutan di kalangan pencinta lingkungan dan penduduk adalah bahwa, alih-alih berusaha mempertahankan tingkat polusi yang rendah di ibu kota terbesar dunia, ketika industri kembali beraksi pascakarantina, situasinya akan kembali ke titik awal, dan mungkin bahkan akan memburuk, ketika orang-orang dan industri berusaha menebus waktu berbulan-bulan mereka yang hilang.
Dampak lingkungan yang terjadi saat ini justru lebih mirip dengan efek yang terjadi setelah krisis ekonomi 2008 dan 2009. “Saat itu, tingkat emisi global merosot jauh selama setahun,” jelas Julia Pongratz, profesor geografi fisika dan sistem penggunaan tanah di Departemen Geografi Universitas Munich, Jerman.
Foto: thesun.co.uk
Kala itu, pengurangan emisi terjadi karena berkurangnya kegiatan industri, yang menyumbang emisi karbon nyaris setara dengan transportasi. Emisi gabungan dari proses industri, manufaktur, dan konstruksi menyumbang 18,4% emisi global yang berasal dari kegiatan manusia.
Krisis ekonomi 2008-2009 mengakibatkan menurunnya kadar emisi hingga 1,3%. Tapi saat perekonomian pulih dan kembali normal pada 2010, angka emisi kembali melambung, bahkan mencapai yang tertinggi sepanjang sejarah.
“Ada pertanda bahwa virus Corona akan mengakibatkan hal yang sama,” ujar Pongratz. “Sebagai contoh, permintaan produk berbahan dasar minyak, besi, dan logam menurun. Tapi pada saat yang sama, stok bahan baku tersebut masih sangat tinggi, sehingga produksi dapat segera mengikuti.”
Salah satu faktor yang bisa memengaruhi apakah kadar emisi akan kembali melambung adalah berapa lama situasi pandemi virus Corona akan berlangsung. “Pada saat ini, kondisinya masih sulit untuk diprediksi,” tambahnya.
Foto: Getty Images
Para pemimpin, ilmuwan, dan aktivis PBB mendorong debat publik yang mendesak agar pemulihan dapat fokus pada pekerjaan ramah lingkungan dan ramah energi, membangun efisiensi, infrastruktur alam, dan memperkuat kepemilikan bersama secara global.
“Ini adalah pertempuran politik besar,” kata Laurance Tubiana, CEO Yayasan Iklim Eropa dan arsitek Perjanjian Paris melansir dari The Guardian. Para ilmuwan terkemuka telah bersama-sama menandatangani permohonan terbuka bagi pemerintah untuk melakukan pemulihan agar beralih ke arah yang lebih “hijau” atau berorientasi pada alam daripada kembali ke bisnis biasa.
Pada akhirnya, dampak lingkungan yang paling penting kemungkinan ada pada persepsi publik. Pandemi telah menunjukkan konsekuensi mematikan dari mengabaikan peringatan yang sudah lebih dulu dilontarkan para ahli, penundaan politik, dan mengorbankan kesehatan manusia dan alam untuk ekonomi.
Foto: Home Magazine
Menurut para ilmuwan di Universitas Harvard, pandemi juga menunjukkan bahwa polusi menurunkan daya tahan kita terhadap penyakit. Semakin banyak paparan asap lalu lintas, berarti membuat paru-paru lebih lemah dan rentan akan kematian yang lebih besar dari COVID-19.
100 hari setelah virus Corona menyebar, dan jelang Hari Bumi pada 22 April mendatang, hal ini sudah mengubah cara berpikir kita mengenai perubahan. Pada akhirnya, apakah pandemi ini membawa dampak yang lebih baik atau buruk bagi lingkungan tidak bergantung pada virus, melainkan bagaimana cara manusia memperlakukan satu-satunya planet yang bisa menjadi tempat tinggalnya.
GenSINDO
Vinny Vera Oktavia
Universitas Negeri Jakarta
(it)