CERMIN: Billy Elliott, Anthony Madu, dan Anak-Anak yang Memperjuangkan Mimpi Mereka
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tahun 1984. Di tengah pemogokan yang tak berujung dan penuh kekerasan terhadap penutupan tambang batu bara Inggris oleh Margaret Thatcher, di sebuah kota kecil bernama Durham, Billy Elliot yang masih berusia 11 tahun mencoba terus memupuk mimpinya dalam gelap.
Bagi anak laki-laki yang dibesarkan pada 1980-an, memperjuangkan mimpi menjadi seorang penari balet tentu saja tak terbayangkan. Di tengah kultur toksik maskulinitas, kita tahu setelah Billy mencanangkan mimpinya setinggi langit, kehidupannya akan berubah total dan tak akan menjadi sama lagi.
Hampir 40 tahun setelahnya di sebuah kota yang berada ribuan kilometer dari Durham bernama Lagos di Nigeria, muncul anak laki-laki serupa Billy. Bedanya, ia berasal dari negara terbelakang, masih dengan toksik maskulinitas kronis yang membuatnya sering kali dirundung karena mempunyai mimpi yang berbeda.
Namanya Anthony Madu yang seumuran dengan Billy, dengan mimpi yang sama dengan Billy, dengan determinasi yang sama dengan Billy untuk memperjuangkan mimpinya.
Bedanya Billy Elliot hanyalah tokoh fiksi dalam film berjudul sama rilisan tahun 2001 yang melambungkan nama sutradara Stephen Daldry. Sementara Anthony adalah seorang tokoh nyata dengan keluarga yang nyata, perjuangan yang nyata, dan mimpi-mimpi yang nyata.
Foto: Disney+
Dalam film dokumenterMadu yang tayang di Disney+, kita melihat Anthony yang dalam usia sebelia itu harus bertualang ke Inggris demi mencapai impiannya sebagai penari balet profesional.
Anthony adalah seorang anomali. Di tengah masyarakat yang sebagian besar menginginkan anak-anaknya bermain sepak bola, Anthony justru menghabiskan hari-harinya berlatih melenturkan seluruh tubuhnya dan menggunakan tubuhnya sebagai medium dirinya bercerita.
Anthony ditemukan oleh Elmhurst Ballet Dance School setelah kelenturan tubuhnya yang menari-nari di bawah iringan hujan deras di jalanan Lagos menjadi viral. Ia lantas ditawari beasiswa pendidikan selama tujuh tahun, yang artinya ia harus meninggalkan kampung halamannya, meninggalkan ibu yang sangat mencintainya dan meninggalkan kenangan-kenangan buruk dari masa lalunya.
Di tangan duo sutradara Matthew Ogens dan Joel Kachi Benson, kita melihat, mendengar dan merasakan Anthony memperjuangkan yang diinginkannya sejak lama. Anthony tahu ia berbeda dan mungkin kepindahannya ke Inggris adalah keputusan terbaik.
Foto: Disney+
Namun tentu saja perjuangan tak pernah mudah, terutama bagi anak-anak berusia belasan tahun yang terpisah dari rumah untuk pertama kalinya dalam jangka waktu lama.
Oleh karena itu, kita mengikuti bagaimana Anthony beradaptasi, berjuang untuk berteman setelah dirinya yang menutup diri selama beberapa lama akibat perundungan. Perasaan terasing yang jauh dari rumah ditangkap dengan brilian oleh sinematografer Charlie Goodger dengan variasi-variasi shot yang menarik dan tak biasa, cocok menggambarkan perasaan teralienasi itu.
Juga bagaimana Anthony beradaptasi menari dari gedung-gedung terbengkalai, jalanan nan kumuh di Lagos ke ruang-ruang estetik yang nyaman dan kelak di panggung yang menggantikan jalanan selama ini.
Kehalusan rasa dari gerakan-gerakan indah yang banyak diperagakan Anthony sepanjang film juga bisa ditangkap oleh mata kamera dengan menawan yang membuat rasanya tersampaikan dengan baik ke dalam hati penonton.
Foto: Disney+
Gangguan yang dialami salah satu mata Anthony juga digunakan oleh Charlie untuk menggambarkan bagaimana Anthony melihat dunia yang baru dan masih terasa asing baginya itu.
Yang awalnya serba kabur, tak fokus, dengan warna-warni lembut, untuk lantas berubah menjadi lebih tegas, lebih terkendali. Ini menandakan bahwa Anthony tak akan membiarkan gangguan itu membuyarkan hal yang sudah dicita-citakannya sejak lama itu.
Anthony mungkin sedikit lebih beruntung dari Billy. Ia lahir di tengah keluarga yang mendukung, yang menganggap perbedaannya adalah karunia dari Tuhan yang perlu terus menerus disyukuri. Dari keluarga semendukung ini meski di negara dunia ketiga sekalipun seperti Nigeria, para bintang bisa lahir karena mereka dibuat percaya diri untuk berpegang pada mimpi-mimpi mereka.
Bagi anak laki-laki yang dibesarkan pada 1980-an, memperjuangkan mimpi menjadi seorang penari balet tentu saja tak terbayangkan. Di tengah kultur toksik maskulinitas, kita tahu setelah Billy mencanangkan mimpinya setinggi langit, kehidupannya akan berubah total dan tak akan menjadi sama lagi.
Hampir 40 tahun setelahnya di sebuah kota yang berada ribuan kilometer dari Durham bernama Lagos di Nigeria, muncul anak laki-laki serupa Billy. Bedanya, ia berasal dari negara terbelakang, masih dengan toksik maskulinitas kronis yang membuatnya sering kali dirundung karena mempunyai mimpi yang berbeda.
Namanya Anthony Madu yang seumuran dengan Billy, dengan mimpi yang sama dengan Billy, dengan determinasi yang sama dengan Billy untuk memperjuangkan mimpinya.
Bedanya Billy Elliot hanyalah tokoh fiksi dalam film berjudul sama rilisan tahun 2001 yang melambungkan nama sutradara Stephen Daldry. Sementara Anthony adalah seorang tokoh nyata dengan keluarga yang nyata, perjuangan yang nyata, dan mimpi-mimpi yang nyata.
Foto: Disney+
Dalam film dokumenterMadu yang tayang di Disney+, kita melihat Anthony yang dalam usia sebelia itu harus bertualang ke Inggris demi mencapai impiannya sebagai penari balet profesional.
Anthony adalah seorang anomali. Di tengah masyarakat yang sebagian besar menginginkan anak-anaknya bermain sepak bola, Anthony justru menghabiskan hari-harinya berlatih melenturkan seluruh tubuhnya dan menggunakan tubuhnya sebagai medium dirinya bercerita.
Anthony ditemukan oleh Elmhurst Ballet Dance School setelah kelenturan tubuhnya yang menari-nari di bawah iringan hujan deras di jalanan Lagos menjadi viral. Ia lantas ditawari beasiswa pendidikan selama tujuh tahun, yang artinya ia harus meninggalkan kampung halamannya, meninggalkan ibu yang sangat mencintainya dan meninggalkan kenangan-kenangan buruk dari masa lalunya.
Di tangan duo sutradara Matthew Ogens dan Joel Kachi Benson, kita melihat, mendengar dan merasakan Anthony memperjuangkan yang diinginkannya sejak lama. Anthony tahu ia berbeda dan mungkin kepindahannya ke Inggris adalah keputusan terbaik.
Foto: Disney+
Namun tentu saja perjuangan tak pernah mudah, terutama bagi anak-anak berusia belasan tahun yang terpisah dari rumah untuk pertama kalinya dalam jangka waktu lama.
Oleh karena itu, kita mengikuti bagaimana Anthony beradaptasi, berjuang untuk berteman setelah dirinya yang menutup diri selama beberapa lama akibat perundungan. Perasaan terasing yang jauh dari rumah ditangkap dengan brilian oleh sinematografer Charlie Goodger dengan variasi-variasi shot yang menarik dan tak biasa, cocok menggambarkan perasaan teralienasi itu.
Juga bagaimana Anthony beradaptasi menari dari gedung-gedung terbengkalai, jalanan nan kumuh di Lagos ke ruang-ruang estetik yang nyaman dan kelak di panggung yang menggantikan jalanan selama ini.
Kehalusan rasa dari gerakan-gerakan indah yang banyak diperagakan Anthony sepanjang film juga bisa ditangkap oleh mata kamera dengan menawan yang membuat rasanya tersampaikan dengan baik ke dalam hati penonton.
Foto: Disney+
Gangguan yang dialami salah satu mata Anthony juga digunakan oleh Charlie untuk menggambarkan bagaimana Anthony melihat dunia yang baru dan masih terasa asing baginya itu.
Yang awalnya serba kabur, tak fokus, dengan warna-warni lembut, untuk lantas berubah menjadi lebih tegas, lebih terkendali. Ini menandakan bahwa Anthony tak akan membiarkan gangguan itu membuyarkan hal yang sudah dicita-citakannya sejak lama itu.
Anthony mungkin sedikit lebih beruntung dari Billy. Ia lahir di tengah keluarga yang mendukung, yang menganggap perbedaannya adalah karunia dari Tuhan yang perlu terus menerus disyukuri. Dari keluarga semendukung ini meski di negara dunia ketiga sekalipun seperti Nigeria, para bintang bisa lahir karena mereka dibuat percaya diri untuk berpegang pada mimpi-mimpi mereka.