CERMIN: Keluar Main 1994 dan Surat Cinta untuk Sinema Makassar

Jum'at, 29 Maret 2024 - 15:26 WIB
loading...
CERMIN: Keluar Main 1994 dan Surat Cinta untuk Sinema Makassar
Keluar Main 1994 adalah film Makassar yang secara teknis layak diacungi jempol, tapi masih punya PR di divisi naskahnya. Foto/DL Entertainment
A A A
JAKARTA - Saya lahir dan besar di Makassar. Pada 1994, saya duduk di kelas 1 SMA Negeri 2 Makassar. Sewaktu SD, saya menjadi bagian dari tim yang mewakili SD Negeri 001 Polewali (sekarang Sulawesi Barat) mengikuti Lomba Bola Matematika di TVRI Makassar.

Sejak 2011, saya menjadi produser dan menulis beberapa sinopsis/skenario film yang saya produseri, dan sejak 2019 mulai menjajal kursi sutradara. Dengan semua 'embel-embel' itu rasanya saya cukup punya kapasitas untuk melontarkan beberapa catatan tentang film Makassar terbaru berjudul Keluar Main 1994.

Sejak 2016, Makassar tak hanya dilirik sebagai salah satu kantong penonton film Indonesia terbesar di negeri ini, tapi juga sebagai produsen film yang konsisten.



Uang Panai memang menjadi pembuka jalan dan membukakan mata bagi industri. Bahwa dari Makassar bisa lahir film yang diproduksi dengan biaya kecil, tapi mampu mencetak perolehan box office di atas 600 ribu penonton. Prestasi yang belum bisa ditandingi film Makassar manapun hingga hari ini.

Begitupun saya mencatat sejumlah lompatan-lompatan menarik dari sisi teknis yang terlihat dari film Keluar Main 1984. Sebelum saya memulai lebih panjang, kita perlu bijaksana mengetahui bahwa skala produksi film Makassar tentu saja tak bisa dibandingkan dengan skala produksi dari film-film yang dihasilkan rumah-rumah produksi besar di Jakarta.

Namun Keluar Main 1984 memperlihatkan bahwa kreativitas selalu lebih bernilai dari sekadar biaya produksi. Dengan biaya yang saya yakin betul bahkan tak sampai setengah biaya minimal produksi film nasional, departemen sinematografi yang dipegang Ardiansyah Amda Ekoputra, yang juga berada di balik film Uang Panai, memperlihatkan lompatan mengagumkan.

CERMIN: Keluar Main 1994 dan Surat Cinta untuk Sinema Makassar

Foto: DL Entertainment

Dengan peralatan seadanya, saya kira Ardi bisa mengakali segala keterbatasan sehingga bisa mengambil variasi-variasi shot yang menarik dengan angle yang sesekali mengejutkan. Saya memanggil Ardi dengan panggilan akrab karena ia adalah anak magang saya yang ikut dalam produksi film MIRACLE: Jatuh dari Surga yang saya produseri pada 2015.

Selain departemen sinematografi, yang juga mengagumkan dari Keluar Main 1994 adalah Bilal Raviadi Putra memimpin departemen artistik dan membangun semesta cerita berlatar tahun 1994. Sekali lagi perspektif kita adalah bahwa film ini bukan film berbiaya besar.

Jadinya saya sungguh mengapresiasi Bilal dan tim bekerja ekstra keras untuk menghadirkan Makassar dengan latar tahun ketika saya baru saja duduk di bangku SMA. Seperti Ardi, saya memanggil Bilal dengan panggilan akrab karena ia juga terlibat dalam departemen artistik yang dikomandoi Ezra Tampubolon dalam film SILARIANG: Cinta Yang [Tak] Direstui yang saya produseri pada 2018.

Hanya saja sinema Makassar, sebagaimana kebanyakan film nasional sekalipun, hampir selalu bertumpu pada skenario yang tak sepenuhnya matang.

Di atas kertas, ide cerita yang dirakit penulis Elvin Miradi punya potensi untuk melampaui film-film produksi rumah produksi besar (nasional) yang semakin lama terasa semakin generik. Kelemahan yang hampir selalu tak disadari oleh penulis adalah bahwa tokoh utama terlalu punya banyak keinginan.

Ini yang akhirnya mengalirkan subplot-subplot yang sering kali terasa berusaha mengambil alih fokus utama cerita. Akhirnya membuat terlalu banyak hal yang ingin disampaikan dalam filmnya.

Hasilnya adalah film baru terasa dimulai setelah 40 menit durasi berjalan alias melewati babak 1 ketika Pak Amrizal mengumumkan Lomba Football ala Amrizal (Futzal).

Yang juga menjadi catatan dari film bergenre komedi adalah keinginan untuk berusaha melucu terlalu keras tanpa memikirkan terlebih dahulu untuk membangun pondasi cerita yang solid. Padahal seharusnya logikanya di balik, perlu skenario solid terlebih dahulu dan setelahnya barulah kelucuan demi kelucuan bisa dihadirkan dengan tepat.

Mau pemain sekaliber Arif Brata dan Arie Kriting sekalipun, tak bisa menolong skenario yang loyo di banyak titik untuk memunculkan tawa.

CERMIN: Keluar Main 1994 dan Surat Cinta untuk Sinema Makassar

Foto: DL Entertainment

Padahal pendekatan untuk menjadikan film ini terasa komikal adalah pendekatan yang menarik dan berani. Seperti adegan sperma yang berkejar-kejaran demi mendapatkan Alisha Mellong itu absurd, lucu, dan segar.

Sayangnya pendekatan ini tak berani didorong hingga ke titik maksimal dan dihadirkan dalam banyak adegan, agar sekalian saja menghadirkan kelucuan yang absurd dan terasa tak setengah hati.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1835 seconds (0.1#10.140)