CERMIN: Pain is Temporary, Film is Forever
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tahun 2025. Tepat dua puluh tahun sejak dirilis perdana, Catatan Akhir Sekolah mengingatkan kita kembali betapa inventifnya industri perfilman kita yang berani mengolah tema-tema 'berat'.
Sampai hari ini,Catatan Akhir Sekolah masih menjadi salah satu film terbaik yang pernah dihasilkan Hanung Bramantyo. Opening sequence-nya yang berjalan delapan menit tanpa putus masih belum tertandingi oleh film Indonesia mana pun hingga hari ini.
Dari film tersebut kita juga tahu bahwa film remaja tak perlu melulu membahas soal pacaran, keinginan menikah, hamil di luar nikah, dan beragam persoalan stereotipe lainnya. Bahwa film remaja juga bisa membahas isu-isu berat termasuk korupsi misalnya.
Tapi yang paling mengesankan dari Catatan Akhir Sekolah bisa jadi tentang bagaimana remaja-remaja culun tak punya pengalaman mencoba membuat film dengan peralatan dan pengetahuan seadanya. Juga bagaimana film yang mereka buat kelak akan mengubah masa depan sekolah mereka.
Mundur setahun sebelumnya, tepatnya tahun ini, kita disuguhkan film yang menjadi perwakilan resmi Thailand dalam Academy Awards 2024. Sebuah film yang mau tak mau mengingatkan kita pada Catatan Akhir Sekolah.
Foto: GDH 559
Not Friends yang disutradarai Atta Hemwadee mencampurbaurkan isu soal kematian, persahabatan, merawat kenangan, keinginan orang tua, dan pengalaman membuat film di tengah-tengahnya.
Not Friends langsung membuka ceritanya dengan sebuah opening tak terduga. Kita berkenalan dengan seorang siswa ramah bernama Joe yang terlihat disenangi semua teman-temannya. Namun tragis, di pagi yang biasa itu, Joe tertabrak oleh sebuah bus dan seisi sekolah menangisi kepergiannya.
Kita berpikir skenario yang juga ditulis sendiri oleh Atta ini akan bercerita banyak soal Joe. Sebuah pemikiran yang tak salah tapi juga tak sepenuhnya benar. Karena kelak kita akan bertemu dengan karakter utama film ini sesungguhnya, seorang siswa bermasalah bernama Pae.
Sebelumnya Pae melakukan kesalahan besar dengan menyakiti mantan kekasihnya yang membuatnya harus dikeluarkan dari sekolah. Tekanan dari ayahnya membuat Pae menjadi siswa yang murung.
Hingga ia harus pindah sekolah, ditempatkan di sebuah kelas dan duduk berdampingan dengan Joe. Dan dari sini lah semua berawal.
Foto: GDH 559
Not Friends menggunakan film sebagai medium bagi karakter utamanya untuk mendapatkan sesuatu. Pae yang merasa tak pintar-pintar amat dalam bidang akademik merasa mendapat kesempatan kedua ketika sebuah perguruan tinggi menawarkan siswa-siswi di sekolahnya membuat film sebagai syarat masuk untuk lolos tanpa tes. Tentu saja hanya siswa dengan film terbaik yang akan beroleh privilege itu.
Dalam dorongan dan ambisi itu, Pae ingat bahwa ia memegang hard disk dari Joe. Setelah mengintipnya ia menemukan sebuah cerpen yang dirasanya amat memadai untuk dijadikan film pendek demi mengenang Joe.
Tapi berbeda dengan Agni dalam Catatan Akhir Sekolah yang sudah punya dua sahabat, Alde dan Arian, untuk diajaknya membuat film, Pae nyaris tak punya teman. Hingga kelak ia bertemu dengan siswi bernama lucu, Bokeh. Sebuah tim kecil produksi film pun terbentuk.
Tapi mereka yang sudah tercebur dalam industri film seperti saya pun tahu bahwa membuat film tak semudah yang dibayangkan. Ada begitu banyak orang yang terlibat, begitu banyak ego yang mesti diredam, dan tak cukup banyak waktu, juga uang, untuk membuat sebuah film menjadi sesempurna yang diinginkan.
Kita melihat bagaimana film menjadi sebuah medium bagi Pae menemukan teman-teman sejatinya. Sekilas membuat film memang menyengsarakan sementara waktu, tapi pengalaman membuat film akan abadi selamanya di hati kita.Pain is temporary, film is forever.
Foto:GDH 559
Susah sekali untuk tak menyukai Not Friends sepenuh hati dengan segala pengalaman yang saya miliki. Saya melihat diri saya dalam beragam wujud dalam film ini.
Sampai hari ini,Catatan Akhir Sekolah masih menjadi salah satu film terbaik yang pernah dihasilkan Hanung Bramantyo. Opening sequence-nya yang berjalan delapan menit tanpa putus masih belum tertandingi oleh film Indonesia mana pun hingga hari ini.
Dari film tersebut kita juga tahu bahwa film remaja tak perlu melulu membahas soal pacaran, keinginan menikah, hamil di luar nikah, dan beragam persoalan stereotipe lainnya. Bahwa film remaja juga bisa membahas isu-isu berat termasuk korupsi misalnya.
Tapi yang paling mengesankan dari Catatan Akhir Sekolah bisa jadi tentang bagaimana remaja-remaja culun tak punya pengalaman mencoba membuat film dengan peralatan dan pengetahuan seadanya. Juga bagaimana film yang mereka buat kelak akan mengubah masa depan sekolah mereka.
Mundur setahun sebelumnya, tepatnya tahun ini, kita disuguhkan film yang menjadi perwakilan resmi Thailand dalam Academy Awards 2024. Sebuah film yang mau tak mau mengingatkan kita pada Catatan Akhir Sekolah.
Foto: GDH 559
Not Friends yang disutradarai Atta Hemwadee mencampurbaurkan isu soal kematian, persahabatan, merawat kenangan, keinginan orang tua, dan pengalaman membuat film di tengah-tengahnya.
Not Friends langsung membuka ceritanya dengan sebuah opening tak terduga. Kita berkenalan dengan seorang siswa ramah bernama Joe yang terlihat disenangi semua teman-temannya. Namun tragis, di pagi yang biasa itu, Joe tertabrak oleh sebuah bus dan seisi sekolah menangisi kepergiannya.
Kita berpikir skenario yang juga ditulis sendiri oleh Atta ini akan bercerita banyak soal Joe. Sebuah pemikiran yang tak salah tapi juga tak sepenuhnya benar. Karena kelak kita akan bertemu dengan karakter utama film ini sesungguhnya, seorang siswa bermasalah bernama Pae.
Sebelumnya Pae melakukan kesalahan besar dengan menyakiti mantan kekasihnya yang membuatnya harus dikeluarkan dari sekolah. Tekanan dari ayahnya membuat Pae menjadi siswa yang murung.
Hingga ia harus pindah sekolah, ditempatkan di sebuah kelas dan duduk berdampingan dengan Joe. Dan dari sini lah semua berawal.
Foto: GDH 559
Not Friends menggunakan film sebagai medium bagi karakter utamanya untuk mendapatkan sesuatu. Pae yang merasa tak pintar-pintar amat dalam bidang akademik merasa mendapat kesempatan kedua ketika sebuah perguruan tinggi menawarkan siswa-siswi di sekolahnya membuat film sebagai syarat masuk untuk lolos tanpa tes. Tentu saja hanya siswa dengan film terbaik yang akan beroleh privilege itu.
Dalam dorongan dan ambisi itu, Pae ingat bahwa ia memegang hard disk dari Joe. Setelah mengintipnya ia menemukan sebuah cerpen yang dirasanya amat memadai untuk dijadikan film pendek demi mengenang Joe.
Tapi berbeda dengan Agni dalam Catatan Akhir Sekolah yang sudah punya dua sahabat, Alde dan Arian, untuk diajaknya membuat film, Pae nyaris tak punya teman. Hingga kelak ia bertemu dengan siswi bernama lucu, Bokeh. Sebuah tim kecil produksi film pun terbentuk.
Tapi mereka yang sudah tercebur dalam industri film seperti saya pun tahu bahwa membuat film tak semudah yang dibayangkan. Ada begitu banyak orang yang terlibat, begitu banyak ego yang mesti diredam, dan tak cukup banyak waktu, juga uang, untuk membuat sebuah film menjadi sesempurna yang diinginkan.
Kita melihat bagaimana film menjadi sebuah medium bagi Pae menemukan teman-teman sejatinya. Sekilas membuat film memang menyengsarakan sementara waktu, tapi pengalaman membuat film akan abadi selamanya di hati kita.Pain is temporary, film is forever.
Foto:GDH 559
Susah sekali untuk tak menyukai Not Friends sepenuh hati dengan segala pengalaman yang saya miliki. Saya melihat diri saya dalam beragam wujud dalam film ini.