Review Film Suara Kirana: Berita Bohong, Pernikahan Dini, dan Hak Hidup Anak Perempuan
loading...
A
A
A
Mirisnya, Indonesia berada di posisi tertinggi tingkat pernikahan anak di Kawasan Asia Pasifik, bahkan tertinggi ke-8 di dunia. Satu dari sembilan anak perempuan Indonesia menikah sebelum berusia 18 tahun. Sangat disayangkan, pernikahan ini terjadi dengan mengabaikan unsur kesehatan emosional, mental, dan fisik si anak perempuan.
Masih ada banyak Kirana-Kirana lain di Indonesia meskipun saat ini pemerintah Indonesia sudah merevisi usia pernikahan sah. Menurut Undang-undang adalah minimum berusia 19 tahun bagi anak laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, dengan banyak alasan, nyatanya pihak keluarga bisa mengajukan permohonan kompensasi nikah kepada Pengadilan Agama atau pejabat setempat.
Tak semulus yang dibayangkan, pernikahan dini nyatanya sering berujung pada perceraian, pengabaian, atau kekerasan (KDRT). Ketika hal itu terjadi, perempuan selaku istri dan sudah jadi ibu akan menanggung semua beban: finansial dan membesarkan anak. Dalam keadaan tersebut, mereka akan rentan depresi, dihantui kecemasan berlebihan, atau serangan panik.
Pada akhirnya, Indonesia berpotensi kehilangan sosok ibu sebagai tonggak keluarga. Tak ada ibu yang sehat secara mental dan fisik. Padahal penting untuk diketahui bahwa sosok ibu dengan mental yang sehat akan mampu mewariskan kesehatan mental yang sehat juga bagi anak-anaknya, dan sebaliknya.
Dipastikan dari data tersebut tidak ada yang atheis. Hal ini menunjukkan bagaimana norma agama memegang peranan penting dalam kehidupan bangsa Indonesia, termasuk dalam hal berkeluarga.
Foto: Plan Internasional Indonesia
Merujuk pada konsep agama Islam, tidak dikenal istilah pacaran. Agama Islam pun ketat mengatur cara perempuan dan lelaki saling bergaul. Itulah mengapa, masih ada kecenderungan keluarga melarang anaknya pacaran dan malah memilih langsung menikahkan anak-anaknya ketika ketahuan dekat, meskipun usia anak masih sangat muda.
Komnas Perempuan mengeluarkan data bahwa penyebab pengajuan dispensasi nikah ke Pengadilan Agama dilandasi setidaknya empat alasan. Yang pertama, budaya lama yang memandang perempuan yang sudah menstruasi siap menikah.
Yang kedua, menutupi aib karena telanjur hamil di luar nikah. Ketiga, pandangan sempit orang tua yang meremehkan pendidikan tinggi bagi anak perempuan. Terakhir, kuat dalil agama yang memuat aturan jauhi perbuatan zina.
Terkait alasan yang terakhir, peran hakim Pengadilan Agama yang menjunjung tinggi hak anak perempuan sayangnya masih sedikit. Mereka akan lebih memutuskan berdasarkan alasan menghindari zina atau sudah pernah berhubungan seksual untuk putusan dispensasi pernikahan anak.
Bisa dipahami, memutuskan perkara dengan alasan keagamaan membuat sulit Pengadilan Agama untuk menolak. Jika menolak, dikhawatirkan ada anggapan pembiaran terhadap perbuatan dosa besar atau mengizinkan berzina.
Keadaan tersebut pada akhirnya menjadi lingkaran setan yang terus berputar dengan anak-anak perempuan yang seringnya menjadi korban.
Di tengah masyarakat pun, dinas terkait tetap mengupayakan edukasi dan memberi pemahaman kepada keluarga-keluarga yang masih memiliki pemikiran kolot mengenai masa depan anak perempuan. Edukasi ini bisa dilakukan lewat ceramah keagamaan atau pemaparan kegiatan oleh pemuka agama, psikolog, atau pihak berwenang lainnya.
Sebagai masyarakat secara umum, kita berupaya menjaga jangan sampai ada di sekitar kita anak-anak perempuan yang masa depannya harus terenggut karena kesalahan mereka sendiri dalam bergaul, pemahaman orang tuanya yang masih kolot, atau keterbatasan ekonomi yang memaksa untuk hidup menjual dirinya.
Sari Agustia
Ibu rumah tangga yang gemar menulis cerita fiksi, sedang belajar menulis skenario, bergiat di ISP NULIS, bisa dikontak via Instagram @sari_agustia
Lihat Juga: Sinopsis Film Korea Omniscient Reader's Viewpoint dan Daftar 8 Pemainnya, Bujet Rp354 Miliar
Masih ada banyak Kirana-Kirana lain di Indonesia meskipun saat ini pemerintah Indonesia sudah merevisi usia pernikahan sah. Menurut Undang-undang adalah minimum berusia 19 tahun bagi anak laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, dengan banyak alasan, nyatanya pihak keluarga bisa mengajukan permohonan kompensasi nikah kepada Pengadilan Agama atau pejabat setempat.
Tak semulus yang dibayangkan, pernikahan dini nyatanya sering berujung pada perceraian, pengabaian, atau kekerasan (KDRT). Ketika hal itu terjadi, perempuan selaku istri dan sudah jadi ibu akan menanggung semua beban: finansial dan membesarkan anak. Dalam keadaan tersebut, mereka akan rentan depresi, dihantui kecemasan berlebihan, atau serangan panik.
Pada akhirnya, Indonesia berpotensi kehilangan sosok ibu sebagai tonggak keluarga. Tak ada ibu yang sehat secara mental dan fisik. Padahal penting untuk diketahui bahwa sosok ibu dengan mental yang sehat akan mampu mewariskan kesehatan mental yang sehat juga bagi anak-anaknya, dan sebaliknya.
Agama sebagai Tameng Pernikahan Dini
Angka dari situs web databoks.katadata.co.id menegaskan bahwa 86,93% orang Indonesia beragama Islam. Di bawahnya ada yang beragama Kristen, Katolik, kemudian diikuti agama lainnya hingga aliran kepercayaan dan Konghucu.Dipastikan dari data tersebut tidak ada yang atheis. Hal ini menunjukkan bagaimana norma agama memegang peranan penting dalam kehidupan bangsa Indonesia, termasuk dalam hal berkeluarga.
Foto: Plan Internasional Indonesia
Merujuk pada konsep agama Islam, tidak dikenal istilah pacaran. Agama Islam pun ketat mengatur cara perempuan dan lelaki saling bergaul. Itulah mengapa, masih ada kecenderungan keluarga melarang anaknya pacaran dan malah memilih langsung menikahkan anak-anaknya ketika ketahuan dekat, meskipun usia anak masih sangat muda.
Komnas Perempuan mengeluarkan data bahwa penyebab pengajuan dispensasi nikah ke Pengadilan Agama dilandasi setidaknya empat alasan. Yang pertama, budaya lama yang memandang perempuan yang sudah menstruasi siap menikah.
Yang kedua, menutupi aib karena telanjur hamil di luar nikah. Ketiga, pandangan sempit orang tua yang meremehkan pendidikan tinggi bagi anak perempuan. Terakhir, kuat dalil agama yang memuat aturan jauhi perbuatan zina.
Terkait alasan yang terakhir, peran hakim Pengadilan Agama yang menjunjung tinggi hak anak perempuan sayangnya masih sedikit. Mereka akan lebih memutuskan berdasarkan alasan menghindari zina atau sudah pernah berhubungan seksual untuk putusan dispensasi pernikahan anak.
Bisa dipahami, memutuskan perkara dengan alasan keagamaan membuat sulit Pengadilan Agama untuk menolak. Jika menolak, dikhawatirkan ada anggapan pembiaran terhadap perbuatan dosa besar atau mengizinkan berzina.
Keadaan tersebut pada akhirnya menjadi lingkaran setan yang terus berputar dengan anak-anak perempuan yang seringnya menjadi korban.
Lalu Apa Upaya yang Bisa Kita Lakukan?
Sekolah bisa menjadi satu tempat yang baik untuk jadi tempat edukasi seksual anak. Anak perempuan dan laki-laki sama-sama harus tahu cara bergaul yang sehat, benar, dan sesuai agamanya. Mereka harus paham fungsi reproduksi secara ilmiah sekaligus menggunakan hasrat seksual dengan bijak dan tepat sebelum waktunya.Di tengah masyarakat pun, dinas terkait tetap mengupayakan edukasi dan memberi pemahaman kepada keluarga-keluarga yang masih memiliki pemikiran kolot mengenai masa depan anak perempuan. Edukasi ini bisa dilakukan lewat ceramah keagamaan atau pemaparan kegiatan oleh pemuka agama, psikolog, atau pihak berwenang lainnya.
Sebagai masyarakat secara umum, kita berupaya menjaga jangan sampai ada di sekitar kita anak-anak perempuan yang masa depannya harus terenggut karena kesalahan mereka sendiri dalam bergaul, pemahaman orang tuanya yang masih kolot, atau keterbatasan ekonomi yang memaksa untuk hidup menjual dirinya.
Sari Agustia
Ibu rumah tangga yang gemar menulis cerita fiksi, sedang belajar menulis skenario, bergiat di ISP NULIS, bisa dikontak via Instagram @sari_agustia
Lihat Juga: Sinopsis Film Korea Omniscient Reader's Viewpoint dan Daftar 8 Pemainnya, Bujet Rp354 Miliar
(ita)