Review Film Telur Setengah Matang: Labirin Sesal Tak Berujung
loading...
A
A
A
JAKARTA - Metafora itu terasa lengkap untuk menggambarkan keseluruhan film pendek Telur Setengah Matang yang dihadirkan Larasati Creative Lab melalui platform streaming Viddsee Indonesia.
Telur setengah matang itu sedang digoreng dengan wajan tua yang berkerak. Dibiarkan berlama-lama dalam posisi satu sisi. Sehingga saat di balik oleh seseorang suaranya seperti lelaki dewasa, sisi yang dijilati api besar itu telah jelang gosong.
Adegan itu seolah hendak mempertegas yang ditampilkan dalam adegan pembukanya. Yang menjadi pintu masuk perjalanan kisah dramatis sekaligus dilematis, bagai terjebak dalam labirin sesal di tataran hidup yang tak berujung.
Sepasang remaja belia itu, lelaki dan perempuan, duduk berbalutkan seragam sekolah. Duduk dalam gelisah dalam bangku papan panjang tanpa sandaran. Masing-masing tangan mereka seolah tak tahu arah selain meremas tanpa objek apa pun.
Mereka mengapit bungkusan kresek transparan yang memperlihatkan isi di dalamnya. Terlihat potongan-potongan nanas berwarna pucat teronggok di sana, hendak berbicara sesuatu kepada kita. Ada yang hamil di luar nikah.
Dalam pernyataannya, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Kurniasih Mufidayati mengutarakan keprihatinannya. Kurniasih menggunakan kesempatan itu untuk mengungkapkan laporan Good Mention Institute. Disebutkan bahwa dalam periode waktu antara 2015 hingga 2019, angka kehamilan yang tidak diinginkan di Indonesia telah mencapai 40% dari keseluruhan jumlah kehamilan.
"Ini menjadi keprihatinan kita bersama di mana angka dispensasi pernikahan karena hamil di luar nikah sangat tinggi,” ujar Kurniasih. Ia mengkhawatirkan ada banyak korban berkaitan dengan tindakan ini.
Foto:Viddsee Indonesia
Bagi Kurniasih, mayoritas persoalan kehamilan yang tidak diinginkan, bisa berakhir dengan tindakan aborsi. Sebab apabila pilihannya berlanjut menuju jenjang pernikahan, maka ada banyak ketidaksiapan menanti.
Situasinya rumit untuk dijalani. Kehamilan pada pasangan yang belum siap menikah dan hamil, bisa berakibat pada kondisi bayi tengkes (stunting). Selain itu, mental pasangan yang belum siap akan memicu konflik rumah tangga, yang bisa berujung pada perceraian.
Data yang lebih mutakhir disampaikan pada Juli lalu oleh Felly Lastiawati, Kepala Bidang Peningkatan Kualitas Keluarga Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Bandung, kepada media massa. Felly mengungkap data bahwa permohonan pernikahan anak di Kemenag Kota Bandung sepanjang 2023, mencapai 76 pengajuan.
Lebih jauh Felly mengatakan bahwa dari antara 76 pengajuan tersebut, hanya 10 yang ditolak. Sebab selebihnya sudah dalam kondisi mengandung. Hampir 90% di antaranya disebabkan oleh kehamilan di luar nikah.
"Jika merujuk data Kemenag Kota Bandung, angka perkawinan anak masih sangat kecil jika dibandingkan daerah lain di Jawa Barat," katanya. Pada 2022 ada 143 perkawinan anak di Kota Bandung.
"Apa pun alasannya, seks sebelum menikah itu tetap salah. Namun, orang tua sebaiknya tidak langsung menyalahkan dan menuding si anak. Apalagi jika ternyata si anak menjadi korban perkosaan," jelas psikolog Anna Surti Ariani kepada kompas.com.
Anna menyarankan kepada pihak orang tua agar mereka menenangkan diri terlebih dulu. Dalam situasi seperti ini orang tua harus paham bahwa bukan hanya mereka yang syok, tetapi juga si anak.
“Butuh keberanian ekstra dalam diri anak untuk mengakui hal ini kepada orang tuanya. Makanya saat anak sudah berani mengaku dan langsung dimarahi habis-habisan, ia akan jadi depresi. Orang tua harus tetap menjaga kondisi psikologis anaknya,” imbuhnya.
Menikahkan kedua remaja terkait pernikahan di luar nikah bukanlah satu-satunya solusi untuk menghindari aib. Jika keduanya menikah dengan kesadaran untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, mungkin tidak jadi masalah.
Namun sayangnya, ungkap psikolog Anna, sebagian besar pernikahan ini berlangsung disebabkan oleh adanya paksaan dari pihak keluarga. Padahal pernikahan yang terpaksa dilakukan bisa membuat anak jauh lebih depresi.
Foto: Viddsee Indonesia
Ada yang menarik dari pernyataan Anna lebih jauh. Selain aib, ada alasan lain sehingga pernikahan ini dilangsungkan. Alasan tersebut adalah perasaan takut si anak (perempuan) 'tidak laku' lagi.
Padahal, menurut Anna, tidak semua laki-laki memegang prinsip hanya mau menikahi pasangan yang masih perawan. Masih ada lelaki 'baik-baik' yang bersedia menikah dengan perempuan yang sudah tidak perawan. Tentu dibutuhkan kejujuran sedari awal.
Dibanding segera menikahkan secara paksa, lebih baik memberikan kesempatan kepada mereka untuk tenang dan berpikir panjang tentang langkah-langkah selanjutnya. Orang tua bisa mengambil peran mengajak anak bergaul di komunitas baru.
Tak salah bila keputusan yang diambil adalah mempertahankan kehamilan tersebut hingga si bayi lahir. Bayi tersebut bisa saja diasuh oleh anggota keluarga lain yang belum memiliki anak. Yang terpenting langkah tersebut berasal dari diskusi dan membuat kedua pihaknya nyaman.
Teman gaulnya, Adit (Laksamana Adbi Satria), menghadirkan situasi yang terasa lazim. Ketika kesenangan berlalu, tidak lagi bisa berharap apa pun sebagai teman untuk berbagi rasa cemas. Adit seolah tidak hadir dalam lingkar pergulatan intens Annisa.
Dalam situasi beban kian berat, jalan gelap terentang di hadapan Annisa dan menggodanya untuk melangkahinya. Beruntung dalam situasi badai seperti itu, ada lelaki yang dipanggilnya sebagai ayah (Triadi Hamung), masih memiliki isi benak yang waras.
Dalam perangkap labirin hidup yang seolah tak memiliki jalan keluar itu, mereka berdua memilih untuk kuat dan mengayuh langkah waras ke depan. Sekali pun kabut seolah mengadang, keyakinan kecil menjadi pilihan terbaik.
Foto: Viddsee Indonesia
Itulah gerak kisah yang dihadirkan Puspa Intan Fitriamurti selaku penulis skenario dalam arahan sutradara Reni Apriliana. Kolaborasi dengan Wayang Suket Indonesia menjadi sangat menarik dalam mendukung keutuhan penyajian cerita.
Selain itu, film yang diproduseri Helvana D. Yulian (2019) ini juga menghadirkan lagu asli yang memikat, Kesunyian Abadi. Lirik lagu yang ditulis oleh Gigin Ahmadi dan dilantunkan Reni Apriliana, terasa menggigit.
Film ini mengisahkan tokoh karakter Ares dan Aya yang berpacaran hingga hamil di luar nikah. Brenda, tokoh karakter ketiga, yang mengetahui hal ini menjadi marah besar. Konflik pun terjadi di antara ketiganya.
Padatahun yang sama, hadir film Satu Jam Saja yang diperankan oleh Vino G Bastian, Andhika Pratama, dan Revalina S. Temat. Film ini berkisah tentang tiga sahabat yang berjanji untuk tidak saling mencintai. Komitmen ini menjadi pertaruhan besar di antara mereka.
Film Salawaku dirilis pada 2016 dengan latar pulau Seram. Film ini menuturkan karakter bernama Salawaku yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Ia dengan tulus dan berani melindungi kakaknya.
Kakaknya yang bernama Binaiya, harus meninggalkan kampung halaman mereka. Keterpaksaan tersebut sebagai akibat hamil di luar nikah dengan anak kepala adat kampung tersebut.
Film Indonesia lainnya yang dirilis pada 2018, mengambil judul MBA (Married by Accident). Mengisahkan pasangan remaja yang terjebak dalam pergaulan bebas. Yang menjadi korban adalah karakter perempuan yang diperankan oleh Nikita Willy.
Terakhir, kita bisa menikmati Dua Garis Biru (2019). Film ini mengisahkan sepasang remaja yang harus menghadapi kenyataan hamil di luar nikah. Konflik kian runcing sebab keduanya datang dari status sosial berbeda.
Tentu kita bisa berharap banyak, sebab film adalah medium yang bisa diterima dengan baik dan melakukan penetrasi yang jauh. Edukasi melalui film, termasuk film pendek Telur Setengah Matang, bisa menjadi sarana yang menumbuh perbincangan dalam komunitas-komunitas untuk menumbuhkan kesadaran atau inspirasi tanpa paksaan.
Ang Tek Khun
Penikmat cerita melalui medium bacaan dan tontonan
Telur setengah matang itu sedang digoreng dengan wajan tua yang berkerak. Dibiarkan berlama-lama dalam posisi satu sisi. Sehingga saat di balik oleh seseorang suaranya seperti lelaki dewasa, sisi yang dijilati api besar itu telah jelang gosong.
Adegan itu seolah hendak mempertegas yang ditampilkan dalam adegan pembukanya. Yang menjadi pintu masuk perjalanan kisah dramatis sekaligus dilematis, bagai terjebak dalam labirin sesal di tataran hidup yang tak berujung.
Sepasang remaja belia itu, lelaki dan perempuan, duduk berbalutkan seragam sekolah. Duduk dalam gelisah dalam bangku papan panjang tanpa sandaran. Masing-masing tangan mereka seolah tak tahu arah selain meremas tanpa objek apa pun.
Mereka mengapit bungkusan kresek transparan yang memperlihatkan isi di dalamnya. Terlihat potongan-potongan nanas berwarna pucat teronggok di sana, hendak berbicara sesuatu kepada kita. Ada yang hamil di luar nikah.
Sudah Darurat dan Rentan Tengkes
Percakapan di Komisi IX DPR RI berkait fenomena ini, tayang di situs web dpr.go.id. Kita bisa mendapatinya melalui tajuk Kurniasih: Kasus Anak Hamil di Luar Nikah Sudah Darurat yang bertitimangsa 02-02-2023.Dalam pernyataannya, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Kurniasih Mufidayati mengutarakan keprihatinannya. Kurniasih menggunakan kesempatan itu untuk mengungkapkan laporan Good Mention Institute. Disebutkan bahwa dalam periode waktu antara 2015 hingga 2019, angka kehamilan yang tidak diinginkan di Indonesia telah mencapai 40% dari keseluruhan jumlah kehamilan.
"Ini menjadi keprihatinan kita bersama di mana angka dispensasi pernikahan karena hamil di luar nikah sangat tinggi,” ujar Kurniasih. Ia mengkhawatirkan ada banyak korban berkaitan dengan tindakan ini.
Foto:Viddsee Indonesia
Bagi Kurniasih, mayoritas persoalan kehamilan yang tidak diinginkan, bisa berakhir dengan tindakan aborsi. Sebab apabila pilihannya berlanjut menuju jenjang pernikahan, maka ada banyak ketidaksiapan menanti.
Situasinya rumit untuk dijalani. Kehamilan pada pasangan yang belum siap menikah dan hamil, bisa berakibat pada kondisi bayi tengkes (stunting). Selain itu, mental pasangan yang belum siap akan memicu konflik rumah tangga, yang bisa berujung pada perceraian.
Data yang lebih mutakhir disampaikan pada Juli lalu oleh Felly Lastiawati, Kepala Bidang Peningkatan Kualitas Keluarga Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Bandung, kepada media massa. Felly mengungkap data bahwa permohonan pernikahan anak di Kemenag Kota Bandung sepanjang 2023, mencapai 76 pengajuan.
Lebih jauh Felly mengatakan bahwa dari antara 76 pengajuan tersebut, hanya 10 yang ditolak. Sebab selebihnya sudah dalam kondisi mengandung. Hampir 90% di antaranya disebabkan oleh kehamilan di luar nikah.
"Jika merujuk data Kemenag Kota Bandung, angka perkawinan anak masih sangat kecil jika dibandingkan daerah lain di Jawa Barat," katanya. Pada 2022 ada 143 perkawinan anak di Kota Bandung.
Menikah Bukan Solusi
Menikah ternyata bukan pilihan terbaik. Menurut pakar, menikahkan pasangan yang mengalami kehamilan di luar nikah, bukanlah solusi untuk mengatasi anak hamil di luar nikah."Apa pun alasannya, seks sebelum menikah itu tetap salah. Namun, orang tua sebaiknya tidak langsung menyalahkan dan menuding si anak. Apalagi jika ternyata si anak menjadi korban perkosaan," jelas psikolog Anna Surti Ariani kepada kompas.com.
Anna menyarankan kepada pihak orang tua agar mereka menenangkan diri terlebih dulu. Dalam situasi seperti ini orang tua harus paham bahwa bukan hanya mereka yang syok, tetapi juga si anak.
“Butuh keberanian ekstra dalam diri anak untuk mengakui hal ini kepada orang tuanya. Makanya saat anak sudah berani mengaku dan langsung dimarahi habis-habisan, ia akan jadi depresi. Orang tua harus tetap menjaga kondisi psikologis anaknya,” imbuhnya.
Menikahkan kedua remaja terkait pernikahan di luar nikah bukanlah satu-satunya solusi untuk menghindari aib. Jika keduanya menikah dengan kesadaran untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, mungkin tidak jadi masalah.
Namun sayangnya, ungkap psikolog Anna, sebagian besar pernikahan ini berlangsung disebabkan oleh adanya paksaan dari pihak keluarga. Padahal pernikahan yang terpaksa dilakukan bisa membuat anak jauh lebih depresi.
Foto: Viddsee Indonesia
Ada yang menarik dari pernyataan Anna lebih jauh. Selain aib, ada alasan lain sehingga pernikahan ini dilangsungkan. Alasan tersebut adalah perasaan takut si anak (perempuan) 'tidak laku' lagi.
Padahal, menurut Anna, tidak semua laki-laki memegang prinsip hanya mau menikahi pasangan yang masih perawan. Masih ada lelaki 'baik-baik' yang bersedia menikah dengan perempuan yang sudah tidak perawan. Tentu dibutuhkan kejujuran sedari awal.
Dibanding segera menikahkan secara paksa, lebih baik memberikan kesempatan kepada mereka untuk tenang dan berpikir panjang tentang langkah-langkah selanjutnya. Orang tua bisa mengambil peran mengajak anak bergaul di komunitas baru.
Tak salah bila keputusan yang diambil adalah mempertahankan kehamilan tersebut hingga si bayi lahir. Bayi tersebut bisa saja diasuh oleh anggota keluarga lain yang belum memiliki anak. Yang terpenting langkah tersebut berasal dari diskusi dan membuat kedua pihaknya nyaman.
Film Telur Setengah Matang
Film Telur Setengah Matang menuturkan situasi dilematis ini. Masa depan Annisa (Lia Nur Vita), siswa kelas kelas IX, serasa runtuh. Sebagai anak yang tergolong pintar di sekolah, ia merenda impian untuk merengkuh cita-cita yang diidamkannya. Namun, kejadian yang dialaminya membuat tapak jalan ke depannya menjadi gelap.Teman gaulnya, Adit (Laksamana Adbi Satria), menghadirkan situasi yang terasa lazim. Ketika kesenangan berlalu, tidak lagi bisa berharap apa pun sebagai teman untuk berbagi rasa cemas. Adit seolah tidak hadir dalam lingkar pergulatan intens Annisa.
Dalam situasi beban kian berat, jalan gelap terentang di hadapan Annisa dan menggodanya untuk melangkahinya. Beruntung dalam situasi badai seperti itu, ada lelaki yang dipanggilnya sebagai ayah (Triadi Hamung), masih memiliki isi benak yang waras.
Dalam perangkap labirin hidup yang seolah tak memiliki jalan keluar itu, mereka berdua memilih untuk kuat dan mengayuh langkah waras ke depan. Sekali pun kabut seolah mengadang, keyakinan kecil menjadi pilihan terbaik.
Foto: Viddsee Indonesia
Itulah gerak kisah yang dihadirkan Puspa Intan Fitriamurti selaku penulis skenario dalam arahan sutradara Reni Apriliana. Kolaborasi dengan Wayang Suket Indonesia menjadi sangat menarik dalam mendukung keutuhan penyajian cerita.
Selain itu, film yang diproduseri Helvana D. Yulian (2019) ini juga menghadirkan lagu asli yang memikat, Kesunyian Abadi. Lirik lagu yang ditulis oleh Gigin Ahmadi dan dilantunkan Reni Apriliana, terasa menggigit.
Film Tentang Kehamilan di Luar Pernikahan
Film Telur Setengah Matang tentu tidak sendirian dalam mengisahkan persoalan hamil di nikah. Dalam ranah sinema Indonesia, sejumlah film lain bisa disebutkan di sini. Pada 2010 hadir film Belum Cukup Umur hasil besutan Nayato Fio Nuala.Film ini mengisahkan tokoh karakter Ares dan Aya yang berpacaran hingga hamil di luar nikah. Brenda, tokoh karakter ketiga, yang mengetahui hal ini menjadi marah besar. Konflik pun terjadi di antara ketiganya.
Padatahun yang sama, hadir film Satu Jam Saja yang diperankan oleh Vino G Bastian, Andhika Pratama, dan Revalina S. Temat. Film ini berkisah tentang tiga sahabat yang berjanji untuk tidak saling mencintai. Komitmen ini menjadi pertaruhan besar di antara mereka.
Film Salawaku dirilis pada 2016 dengan latar pulau Seram. Film ini menuturkan karakter bernama Salawaku yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Ia dengan tulus dan berani melindungi kakaknya.
Kakaknya yang bernama Binaiya, harus meninggalkan kampung halaman mereka. Keterpaksaan tersebut sebagai akibat hamil di luar nikah dengan anak kepala adat kampung tersebut.
Film Indonesia lainnya yang dirilis pada 2018, mengambil judul MBA (Married by Accident). Mengisahkan pasangan remaja yang terjebak dalam pergaulan bebas. Yang menjadi korban adalah karakter perempuan yang diperankan oleh Nikita Willy.
Terakhir, kita bisa menikmati Dua Garis Biru (2019). Film ini mengisahkan sepasang remaja yang harus menghadapi kenyataan hamil di luar nikah. Konflik kian runcing sebab keduanya datang dari status sosial berbeda.
Pesan Moral dan Edukasi
Semua film yang berkisah tentang tentang kehamilan di luar nikah, terutama yang terjadi pada usia belia, mengantarkan pesan moral dan edukasi kepada penonton. Ini pilihan yang sangat baik manakala pendidikan seks formal di sekolah masih menjadi pergumulan.Tentu kita bisa berharap banyak, sebab film adalah medium yang bisa diterima dengan baik dan melakukan penetrasi yang jauh. Edukasi melalui film, termasuk film pendek Telur Setengah Matang, bisa menjadi sarana yang menumbuh perbincangan dalam komunitas-komunitas untuk menumbuhkan kesadaran atau inspirasi tanpa paksaan.
Ang Tek Khun
Penikmat cerita melalui medium bacaan dan tontonan
(ita)