CERMIN AWARDS: 10 Film dan Serial Indonesia Terbaik 2023
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pada awalnya CERMIN lahir sebagai kegelisahan atas tulisan yang membahas tentang film maupun serial dari dalam dan luar negeri yang tak sekadar mencari-cari kelemahan.
CERMIN justru ingin mencari tahu sesungguhnya apa yang ingin disampaikan para pembuatnya melalui karya-karya yang dibuatnya. Bagi saya yang juga pembuat film, penting sekali untuk menentukan perspektif atau sudut pandang yang akan saya ambil sebelum memutuskan film atau serial mana saja yang penting untuk dibahas.
Pada akhirnya memang saya harus sangat selektif karena saya hanya bisa memilih dua judul dari sekian banyak film maupun serial yang diluncurkan setiap minggunya, baik melalui bioskop maupun layanan streaming.
CERMIN terbit pertama kali pada 28 Mei 2022 dan sejauh ini sudah menerbitkan 160 tulisan. CERMIN edisi perdana membahas film Top Gun Maverick. Awalnya CERMIN diniatkan untuk terbit seminggu sekali tapi setelah melihat respons positif setelah penerbitan beberapa edisi akhirnya diputuskan menerbitkannya dua kali seminggu.
CERMIN AWARDS menjadi salah satu apresiasi dari saya dan tim yang bekerja di balik layar CERMIN selama lebih dari setahun ini. Apresiasi yang kami berikan tulus untuk para pembuat film yang masih menjunjung tinggi idealisme, para pemberani yang tak takut melontarkan gagasan segar dan menarik, serta para perintis yang selalu bisa melihat bahwa film maupun serial tak sekadar karya hiburan semata.
Inilah 1st CERMIN AWARDS 2023 edisi 10 film dan serial Indonesia terbaik 2023. Judul film disusun berdasarkan alfabet.
Foto: Rekata Studio
Budi Pekerti memberi efek serupa seperti ketika kita menonton film asal Filipina John Denver Trending (2019). Kita sadar bahwa kehausan kita soal viralitas akhirnya menjadi senjata yang memangsa kita sendiri.
Ketika kita begitu mudah menghakimi orang yang tak kita kenal di media sosial, apa sesungguhnya yang kita dapatkan? kenapa pula kita begitu mudah menyebarluaskan kebencian untuk sebuah masalah yang sesungguhnya manusiawi dan bisa diselesaikan dengan mudah? Kenapa media sosial justru bisa menjadi alat untuk menghancurkan hidup seseorang?
Wregas Bhanuteja, Sha Ine Febriyanti, Prilly Latuconsina, Angga Yunanda, dan Dwi Sasono mengingatkan kembali pada kita soal menggunakan media sosial untuk hal-hal bermanfaat. Bukan untuk menjatuhkan seseorang apalagi menghancurkan hidup mereka yang dunianya sedang runtuh seperti Prani.
kita bisa terus menyebarkan pesan positif ini secara berantai dari tangan ke tangan, dari mulut ke mulut, dari hati ke hati agar kita tak lagi mudah menyebarkan kebencian untuk viralitas sesaat.
Foto: Lola Amaria Production
Hampir 20 tahun setelah Klayaban dirilis, kita kembali bertemu dengan para eksil dalam film dokumenter panjang karya Lola Amaria berjudul Eksil. Film yang baru saja meraih Piala Citra kategori Film Dokumenter Panjang Terbaik FFI 2023 itu memperlihatkan gambaran yang lebih komprehensif tentang apa saja yang dilewati para eksil, dari mana semuanya berawal, bagaimana mereka mengarungi hidup terombang-ambing tanpa identitas, dan akhirnya memutuskan memulai hidup baru sebagai yang terbuang jauh di seberang.
Eksil menjadi dokumen penting dari kelamnya sejarah yang mencoreng negara ini pada masa lalu. Tom Iljas dan Asahan Aidit menjadi salah dua dari sekian narasumber yang bersedia kehidupannya pada masa lalu dikulik kembali, diikuti gerak-geriknya selama beberapa waktu, dan akhirnya bersedia menceritakan segala keresahan, kegalauan juga terutama kerinduan pada kampung halaman di depan kamera.
Sebagai sutradara, tak banyak polesan yang dilakukan Lola Amaria karena materi aslinya sendiri sudah teramat kuat. Dari penuturan para narasumber kita bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi yang terpinggirkan.
Foto: BASE Entertainment
Dituturkan dalam tiga periode waktu: 1960-an, 1970-an, 2000-an awal memerlukan keterampilan bercerita tertentu. Ratih Kumala menunaikan tugasnya dengan baik ketika menggunakan surat, jurnal, hingga cerita dari tokoh-tokohnya untuk mengantarkan penonton kembali berjalan mundur menyusuri masa lalu. Sayangnya memang tak ada pendekatan inventif dari skenario untuk membuat cerita bergerak bolak-balik dengan lebih lincah.
Gadis Kretek yang dituturkan dengan alur maju mundur sebenarnya cukup efisien tapi narasi yang terlalu banyak (sebagaimana dalam novelnya) justru menjadi kendala. Rasanya sering sekali terlalu banyak informasi yang dimuntahkan dalam satu waktu dan akhirnya sering kali mudah terlewatkan begitu saja. Skenario yang diracik tim penulis yang dikomandoi Tanya Yuson itu bahkan membuat episode perdana berjalan begitu lamban.
Masa 20 menit pertama terasa berjalan seperti 50 menit. Padahal penulis skenario seharusnya merasa tak punya utang apa pun ke materi aslinya (novel). Tugasnya hanya membuat cerita berjalan dengan lancar dan terang benderang, syukur-syukur jika bisa melakukan pendekatan yang segar dan menarik yang berbeda dari novelnya.
CERMIN justru ingin mencari tahu sesungguhnya apa yang ingin disampaikan para pembuatnya melalui karya-karya yang dibuatnya. Bagi saya yang juga pembuat film, penting sekali untuk menentukan perspektif atau sudut pandang yang akan saya ambil sebelum memutuskan film atau serial mana saja yang penting untuk dibahas.
Pada akhirnya memang saya harus sangat selektif karena saya hanya bisa memilih dua judul dari sekian banyak film maupun serial yang diluncurkan setiap minggunya, baik melalui bioskop maupun layanan streaming.
CERMIN terbit pertama kali pada 28 Mei 2022 dan sejauh ini sudah menerbitkan 160 tulisan. CERMIN edisi perdana membahas film Top Gun Maverick. Awalnya CERMIN diniatkan untuk terbit seminggu sekali tapi setelah melihat respons positif setelah penerbitan beberapa edisi akhirnya diputuskan menerbitkannya dua kali seminggu.
CERMIN AWARDS menjadi salah satu apresiasi dari saya dan tim yang bekerja di balik layar CERMIN selama lebih dari setahun ini. Apresiasi yang kami berikan tulus untuk para pembuat film yang masih menjunjung tinggi idealisme, para pemberani yang tak takut melontarkan gagasan segar dan menarik, serta para perintis yang selalu bisa melihat bahwa film maupun serial tak sekadar karya hiburan semata.
Inilah 1st CERMIN AWARDS 2023 edisi 10 film dan serial Indonesia terbaik 2023. Judul film disusun berdasarkan alfabet.
1. Budi Pekerti (Sutradara: Wregas Bhanuteja)
Foto: Rekata Studio
Budi Pekerti memberi efek serupa seperti ketika kita menonton film asal Filipina John Denver Trending (2019). Kita sadar bahwa kehausan kita soal viralitas akhirnya menjadi senjata yang memangsa kita sendiri.
Ketika kita begitu mudah menghakimi orang yang tak kita kenal di media sosial, apa sesungguhnya yang kita dapatkan? kenapa pula kita begitu mudah menyebarluaskan kebencian untuk sebuah masalah yang sesungguhnya manusiawi dan bisa diselesaikan dengan mudah? Kenapa media sosial justru bisa menjadi alat untuk menghancurkan hidup seseorang?
Wregas Bhanuteja, Sha Ine Febriyanti, Prilly Latuconsina, Angga Yunanda, dan Dwi Sasono mengingatkan kembali pada kita soal menggunakan media sosial untuk hal-hal bermanfaat. Bukan untuk menjatuhkan seseorang apalagi menghancurkan hidup mereka yang dunianya sedang runtuh seperti Prani.
kita bisa terus menyebarkan pesan positif ini secara berantai dari tangan ke tangan, dari mulut ke mulut, dari hati ke hati agar kita tak lagi mudah menyebarkan kebencian untuk viralitas sesaat.
2. Eksil (Sutradara: Lola Amaria)
Foto: Lola Amaria Production
Hampir 20 tahun setelah Klayaban dirilis, kita kembali bertemu dengan para eksil dalam film dokumenter panjang karya Lola Amaria berjudul Eksil. Film yang baru saja meraih Piala Citra kategori Film Dokumenter Panjang Terbaik FFI 2023 itu memperlihatkan gambaran yang lebih komprehensif tentang apa saja yang dilewati para eksil, dari mana semuanya berawal, bagaimana mereka mengarungi hidup terombang-ambing tanpa identitas, dan akhirnya memutuskan memulai hidup baru sebagai yang terbuang jauh di seberang.
Eksil menjadi dokumen penting dari kelamnya sejarah yang mencoreng negara ini pada masa lalu. Tom Iljas dan Asahan Aidit menjadi salah dua dari sekian narasumber yang bersedia kehidupannya pada masa lalu dikulik kembali, diikuti gerak-geriknya selama beberapa waktu, dan akhirnya bersedia menceritakan segala keresahan, kegalauan juga terutama kerinduan pada kampung halaman di depan kamera.
Sebagai sutradara, tak banyak polesan yang dilakukan Lola Amaria karena materi aslinya sendiri sudah teramat kuat. Dari penuturan para narasumber kita bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi yang terpinggirkan.
3. Gadis Kretek (Sutradara: Kamila Andini, Ifa Isfansyah)
Foto: BASE Entertainment
Dituturkan dalam tiga periode waktu: 1960-an, 1970-an, 2000-an awal memerlukan keterampilan bercerita tertentu. Ratih Kumala menunaikan tugasnya dengan baik ketika menggunakan surat, jurnal, hingga cerita dari tokoh-tokohnya untuk mengantarkan penonton kembali berjalan mundur menyusuri masa lalu. Sayangnya memang tak ada pendekatan inventif dari skenario untuk membuat cerita bergerak bolak-balik dengan lebih lincah.
Gadis Kretek yang dituturkan dengan alur maju mundur sebenarnya cukup efisien tapi narasi yang terlalu banyak (sebagaimana dalam novelnya) justru menjadi kendala. Rasanya sering sekali terlalu banyak informasi yang dimuntahkan dalam satu waktu dan akhirnya sering kali mudah terlewatkan begitu saja. Skenario yang diracik tim penulis yang dikomandoi Tanya Yuson itu bahkan membuat episode perdana berjalan begitu lamban.
Masa 20 menit pertama terasa berjalan seperti 50 menit. Padahal penulis skenario seharusnya merasa tak punya utang apa pun ke materi aslinya (novel). Tugasnya hanya membuat cerita berjalan dengan lancar dan terang benderang, syukur-syukur jika bisa melakukan pendekatan yang segar dan menarik yang berbeda dari novelnya.