CERMIN: Amanda Nell Eu dan Eksperimennya soal Menstruasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tahun 2019. Rayka Zehtabchi berjalan di atas panggung penghargaan Academy Awards sembari menangis. Filmnya yang bertemakan menstruasi berjudul Period. End of Sentence berhasil membawa pulang Piala Oscar untuk kategori Film Dokumenter Pendek Terbaik.
Sutradara asal India itu mendokumentasikan pengalaman perempuan dan remaja perempuan di negerinya yang hidupnya masih dipengaruhi oleh stigma tak berakar seputar menstruasi. Ketika perempuan tak memiliki akses ke produk sanitasi seperti tampon dan pembalut, mereka dipaksa untuk menggunakan alternatif yang tak higienis untuk menyerap darah menstruasi, kadang-kadang menggunakan kain kotor, dedaunan, koran, dan abu, sebagaimana dikutip dari Tempo.
Masih di wilayah Asia, sutradara perempuan asal Malaysia, Amanda Nell Eu malah bereksperimen soal menstruasi dalam film panjang perdananya berjudul Tiger Stripes. Eksperimen yang tak tanggung-tanggung dilakukan Amanda yang melibatkan pemahamannya pada remaja perempuan dalam memahami yang terjadi pada tubuh mereka ketika haid mulai mendatangi.
NamunAmanda tak sedang membuat film untuk mendatangkan dampak kesadaran. Ia justru ingin kita melihat bagaimana jika tubuh yang sedang dialiri darah kotor itu justru memunculkan sesosok monster yang selama ini tersembunyi dalam diri kita.
Untuk itu, Amanda memerlukan tokoh sentral dengan kepribadian kuat, sering kali eksentrik dan tak takut mengekspresikan dirinya. Ia mewujudkan karakter bernama Zaffan yang berani berjoget super heboh hanya dengan mengenakan bra di toilet sekolahnya dan disiarkan secara langsung via TikTok. Tampak pula Zaffan menjadi pemimpin salah satu geng yang ditakuti oleh remaja perempuan lain di sekolahnya.
Foto: Ghost Grrrl Pictures
Namunsemuanya berubah dalam semalam, dan menstruasi menjadi katalisnya. Di antara teman-teman se-geng, ia menjadi yang pertama mengalami haid. Ia pun mengalami kebingungan, tak tahu harus mengadu ke siapa, ke ibu yang digambarkan selalu sibuk bekerja atau ke teman-temannya yang bisa saja menghakiminya.
Amanda memperlihatkan bagaimana peer pressure bekerja dan Zaffan menjadi semacam korbannya. Setelah menstruasi, dunia yang dijalani Zaffan tak sama lagi. Ia mengalami banyak hal di luar nalar, ia mengalami banyak hal yang tak bisa dipahaminya dan ia tak bisa berteriak sekencang-kencangnya.
Pelan-pelan monster itu menguasainya, mengubahnya dalam sekejap, dan kita melihat Amanda mencoba memposisikan dirinya dalam level yang pernah dijalani oleh David Cronenberg dengan pendekatan body of horror-nya yang brilian.
Sayangnya memang Amanda belum mencapai level yang dilalui David. Atau memang ia sebenarnya tak sedang mencoba menjadi David, entahlah. Namun ini membuat Tiger Stripes menjadi serba tanggung. Di satu sisi, Amanda mencoba bereksperimen seliar yang ia bisa capai. Zaffan yang berubah menjadi semacam harimau jadi-jadian mengingatkan kita pada kepercayaan yang diyakini masyarakat Melayu.
Foto: Ghost Grrrl Pictures
Di sisi lain, Amanda juga ingin menyentil bagaimana masyarakat memandang supranatural dari sudut pandang seorang ustaz. Dalam hal ini, kita memang tertawa terkekeh melihat bagaimana absurd-nya ustaz itu bekerja untuk menyembuhkan Zaffan yang dianggap sakit. Padahal mungkin saja yang sakit sesungguhnya masyarakat.
Dengan terlalu banyaknya yang ingin digapai oleh Amanda dalam film panjang perdananya ini memang sempat membuat Tiger Stripes seperti kehilangan arah. Tapi jika ingin menikmatinya sebagai bagian dari film eksperimental, maka bisa jadi kita akan menemukan keasyikan yang magis di dalamnya. Seperti penggunaan elemen musik latar berirama disko yang mungkin terdengar kampungan tapiternyata bisa bekerja dengan baik dalam film ini.
Tahun 2023 bisa jadi adalah tahun yang menarik bagi perfilman Malaysia. Selain Tiger Stripes yang meraih Grand Jury Prize dalam Cannes Critics Week, juga ada La Luna yang menyentil bagaimana bablasnya pemahaman agama di tangan seorang oknum ulama. Ciri agama menjadi khas dan penting dalam kedua film di atas sebagaimana yang memang mewarnai keseharian masyarakat Malaysia.
Foto: Ghost Grrrl Pictures
Namunbukan berarti membuat sineasnya melulu berpikir untuk sekadar memproduksi film religi yang sarat dakwah dan pesan. Paling tidak Amanda mencoba mencelat dari kebiasaan dan ingin memperlihatkan sebuah sisi yang selama ini mungkin jarang dieksplorasi oleh sinema Malaysia.
Saya membayangkan tahun depan ada sutradara perempuan pendatang baru di perfilman nasional yang seberani, senekat, dan segila Amanda dalam menyajikan film dengan pendekatan eksperimental yang belum pernah kita lihat. Seorang sutradara perintis yang dengan gagah berani menyajikan isu-isu yang dekat dengan perempuan dan bisa dilihat dengan sudut pandang tak terbayangkan olehnya.
Paling tidak sekali dalam sedekade, kita memerlukan datangnya mereka yang berani menantang arus besar. Saya percaya perempuan punya kecakapannya sendiri dalam soal penyutradaraan sebagaimana yang dikemukakan Sutradara Terbaik Academy Awards 2022, Jane Campion. “There is a different kind of vulnerability when a woman is directing”.
Tiger Stripes
Produser: Yulia Evina Bhara, Fran Borgia, Fei Ling Foo, Ellen Havenith, Juliette Lepoutre, Pierre Menahem, Jonas Weydemann
Sutradara: Amanda Nell Eu
Penulis Skenario: Amanda Nell Eu
Pemain: Zaffren Zairizal, Deena Ezral, Piqa
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute, bisa dikontak via Instagram @ichwanpersada
Sutradara asal India itu mendokumentasikan pengalaman perempuan dan remaja perempuan di negerinya yang hidupnya masih dipengaruhi oleh stigma tak berakar seputar menstruasi. Ketika perempuan tak memiliki akses ke produk sanitasi seperti tampon dan pembalut, mereka dipaksa untuk menggunakan alternatif yang tak higienis untuk menyerap darah menstruasi, kadang-kadang menggunakan kain kotor, dedaunan, koran, dan abu, sebagaimana dikutip dari Tempo.
Masih di wilayah Asia, sutradara perempuan asal Malaysia, Amanda Nell Eu malah bereksperimen soal menstruasi dalam film panjang perdananya berjudul Tiger Stripes. Eksperimen yang tak tanggung-tanggung dilakukan Amanda yang melibatkan pemahamannya pada remaja perempuan dalam memahami yang terjadi pada tubuh mereka ketika haid mulai mendatangi.
NamunAmanda tak sedang membuat film untuk mendatangkan dampak kesadaran. Ia justru ingin kita melihat bagaimana jika tubuh yang sedang dialiri darah kotor itu justru memunculkan sesosok monster yang selama ini tersembunyi dalam diri kita.
Untuk itu, Amanda memerlukan tokoh sentral dengan kepribadian kuat, sering kali eksentrik dan tak takut mengekspresikan dirinya. Ia mewujudkan karakter bernama Zaffan yang berani berjoget super heboh hanya dengan mengenakan bra di toilet sekolahnya dan disiarkan secara langsung via TikTok. Tampak pula Zaffan menjadi pemimpin salah satu geng yang ditakuti oleh remaja perempuan lain di sekolahnya.
Foto: Ghost Grrrl Pictures
Namunsemuanya berubah dalam semalam, dan menstruasi menjadi katalisnya. Di antara teman-teman se-geng, ia menjadi yang pertama mengalami haid. Ia pun mengalami kebingungan, tak tahu harus mengadu ke siapa, ke ibu yang digambarkan selalu sibuk bekerja atau ke teman-temannya yang bisa saja menghakiminya.
Amanda memperlihatkan bagaimana peer pressure bekerja dan Zaffan menjadi semacam korbannya. Setelah menstruasi, dunia yang dijalani Zaffan tak sama lagi. Ia mengalami banyak hal di luar nalar, ia mengalami banyak hal yang tak bisa dipahaminya dan ia tak bisa berteriak sekencang-kencangnya.
Pelan-pelan monster itu menguasainya, mengubahnya dalam sekejap, dan kita melihat Amanda mencoba memposisikan dirinya dalam level yang pernah dijalani oleh David Cronenberg dengan pendekatan body of horror-nya yang brilian.
Sayangnya memang Amanda belum mencapai level yang dilalui David. Atau memang ia sebenarnya tak sedang mencoba menjadi David, entahlah. Namun ini membuat Tiger Stripes menjadi serba tanggung. Di satu sisi, Amanda mencoba bereksperimen seliar yang ia bisa capai. Zaffan yang berubah menjadi semacam harimau jadi-jadian mengingatkan kita pada kepercayaan yang diyakini masyarakat Melayu.
Foto: Ghost Grrrl Pictures
Di sisi lain, Amanda juga ingin menyentil bagaimana masyarakat memandang supranatural dari sudut pandang seorang ustaz. Dalam hal ini, kita memang tertawa terkekeh melihat bagaimana absurd-nya ustaz itu bekerja untuk menyembuhkan Zaffan yang dianggap sakit. Padahal mungkin saja yang sakit sesungguhnya masyarakat.
Dengan terlalu banyaknya yang ingin digapai oleh Amanda dalam film panjang perdananya ini memang sempat membuat Tiger Stripes seperti kehilangan arah. Tapi jika ingin menikmatinya sebagai bagian dari film eksperimental, maka bisa jadi kita akan menemukan keasyikan yang magis di dalamnya. Seperti penggunaan elemen musik latar berirama disko yang mungkin terdengar kampungan tapiternyata bisa bekerja dengan baik dalam film ini.
Tahun 2023 bisa jadi adalah tahun yang menarik bagi perfilman Malaysia. Selain Tiger Stripes yang meraih Grand Jury Prize dalam Cannes Critics Week, juga ada La Luna yang menyentil bagaimana bablasnya pemahaman agama di tangan seorang oknum ulama. Ciri agama menjadi khas dan penting dalam kedua film di atas sebagaimana yang memang mewarnai keseharian masyarakat Malaysia.
Foto: Ghost Grrrl Pictures
Namunbukan berarti membuat sineasnya melulu berpikir untuk sekadar memproduksi film religi yang sarat dakwah dan pesan. Paling tidak Amanda mencoba mencelat dari kebiasaan dan ingin memperlihatkan sebuah sisi yang selama ini mungkin jarang dieksplorasi oleh sinema Malaysia.
Saya membayangkan tahun depan ada sutradara perempuan pendatang baru di perfilman nasional yang seberani, senekat, dan segila Amanda dalam menyajikan film dengan pendekatan eksperimental yang belum pernah kita lihat. Seorang sutradara perintis yang dengan gagah berani menyajikan isu-isu yang dekat dengan perempuan dan bisa dilihat dengan sudut pandang tak terbayangkan olehnya.
Paling tidak sekali dalam sedekade, kita memerlukan datangnya mereka yang berani menantang arus besar. Saya percaya perempuan punya kecakapannya sendiri dalam soal penyutradaraan sebagaimana yang dikemukakan Sutradara Terbaik Academy Awards 2022, Jane Campion. “There is a different kind of vulnerability when a woman is directing”.
Tiger Stripes
Produser: Yulia Evina Bhara, Fran Borgia, Fei Ling Foo, Ellen Havenith, Juliette Lepoutre, Pierre Menahem, Jonas Weydemann
Sutradara: Amanda Nell Eu
Penulis Skenario: Amanda Nell Eu
Pemain: Zaffren Zairizal, Deena Ezral, Piqa
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute, bisa dikontak via Instagram @ichwanpersada
(ita)