10 Film Prekuel Paling Jelek dan Mengecewakan yang Pernah Ada
loading...
A
A
A
Film prekuel seharusnya memberikan pengetahuan dan pemahaman lebih mendalam pada sebuah cerita yang sudah ditampilkan. Film seperti ini biasanya mengangkat cerita yang terjadi sebelum peristiwa yang diceritakan di film yang tayang sebelumnya. Selama bertahun-tahun, banyak prekuel yang melakukan tugasnya dengan baik.
Tapi, ambisi besar sering kali membuat film tidak berjalan dengan baik. Sejumlah prekuel yang digadang-gadang bakal memberikan pemahaman tentang peristiwa yang telah terjadi, malah tampil buruk. Sebagian besar faktornya adalah penceritaan yang tidak sesuai bayangan penonton.
Ini membuat prekuel itu tampil mengecewakan dan dianggap jelek. Film-film tersebut banjir caci maki tidak hanya dari kritikus, tapi juga audiens. Dalam sejumlah kasus, film tersebut justru tidak laku di bioskop meskipun diproduksi dengan biaya fantastis. Apa saja film prekuel paling jelek dan mengecewakan yang pernah dibuat? Simak ulasannya berikut!
Foto: Den of Geek
Han Solo adalah karakter ikonis dari franchise Star Wars dan sudah lekat dengan sosok Harrison Ford. Tapi, LucasFilm malah meng-casting Alden Ehrenreich sebagai Solo muda. Dia memang punya potensi, tapi Han Solo sepertinya diciptakan untuk Harrison Ford, bukan yang lain.
Penampilannya di film itu malah harus bersaing dengan Donald Glover yang memerankan Lando Clarissian. Sementara franchise Star Wars bukanlah tidak asing dengan prekuel yang mengecewakan, Solo: A Star Wars Story punya potensi yang besar. Tapi, produksi yang bermasalah menyebabkan kekecewaan besar dan film itu pun jeblok di box office.
Foto: NY Post
Transformers berusaha menghidupkan kembali franchise mereka di layar lebar. Sukses dengan prekuel pertama mereka, Bumblebee, franchise itu pun meneruskan usaha mereka untuk membuat prekuel lain. Tapi, Transformers: Rise of the Beasts, yang berlatar sebelum film Transformers besutan Michael Bay, tidak mampu mengulangi kesuksesan Bumblebee.
Rise of Beasts mengulangi cara lama yang dipakai Bay di film-filmnya. Film itu menampilkan terlalu banyak rangkaian aksi membingungkan yang penuh dengan CGI. Film ini terlalu mirip dengan pendahulunya yang dirilis pada 2010. Rise of Beasts pun jeblok di box office. Kalau saja film mempertahankan formula Bumblebee, dia bisa sukses.
Foto: Slant Magazine
300: Rise of an Empire adalah prekuel sekaligus interkuel. Film ini menggambarkan peristiwa sebelum dan selama Perang Thermopylae. Tapi, film itu malah berfokus pada komandan laut Yunani, Themistocles, yang melawan Persia. Itu konsep yang bagus, tapi, film itu tidak punya dampak yang sama seperti film aslinya.
Ketidakhadiran Raja Leonidas menjadi yang paling menggelikan. Karena itu adalah prekuel, tidak ada alasan mengapa dia tidak tampil meski dia mati di akhir 300. Rise of the Empire kurang emosi seperti film aslinya. Film ini berusaha tampil hanya dengan estetika 300 yang berbeda.
Foto: The Independent
The Wizard of Oz yang dirilis pada 1939 meninggalkan banyak ketertarikan penonton untuk tahu cerita latar lengkap sang penyihir. Tapi, Oz: The Great and Powerful malah tampil mengecewakan. Selain sikap angkuh karakter utamanya yang tidak tertahankan, prekuel itu hanya menghadirkan materi yang diulang dari film aslinya.
Penonton tidak diberi cukup justifikasi untuk melihat bagaimana karakter-karakter itu berakhir di tempat mereka ketika Dorothy datang ke Oz. Film itu secara tidak sengaja membawa penonton malah menyukai penjahatnya karena protagonisnya tidak pernah memenangkan simpati audiens. Ternyata, misteri di balik Wizard of Oz selalu menjadi hal yang paling menarik darinya. Tapi, secuil fakta malah membawa pergi semua misteri itu.
Foto: IGN
The Exorcist memang bagus, tapi, tidak semua orang mau menonton cerita asal usul. Exorcist: The Beginning mengisahkan perjumpaan Bapa Merrin dengan iblis Pazuzu di Afrika. Tapi, kaitan antara film orisinal dan prekuel itu didefinisikan secara longgar. Sebagian besar busurnya berpusat pada krisis kepercayaan Merrin, yang tidak seimbang dengan arah film tersebut.
The Beginning kurang halus seperti yang ditawarkan film aslinya, dengan memberikan pengalaman horor yang sangat jelas dan berdarah-darah. Terlebih, terlalu banyak jump scare sebelum film itu mulai terasa biasa saja. Kegagalan kritisnya bahkan diringkas penulis The Exorcist, William Peter Blatty. Dia menyebut prekuel itu sebagai pengalaman profesional yang memalukan setelah menontonnya.
Foto: WordPress.com
Underworld: Rise of the Lycans bukan film Underworld paling jelek, tapi juga bukan yang terbaik. Film ini berusaha menceritakan cerita awal mula perselisihan antara manusia serigala dan vampir. Film ini bisa menjadi film paling ambisius dengan memberikan latar pada 1400-an dan bisa menampilkan cerita kuat tentang apa yang memicu perselisihan itu.
Sayang, film itu tidak bisa berdiri sendiri tanpa karakter utamanya, Selene yang diperankan Kate Beckinsale. Meski Kate tampil seabgai cameo di serial itu, dia adalah jantung serial Underworld. Makanya, Rise of the Lycans terasa hambar tanpa dirinya.
Foto: GQ Middle East
Mathayus the Akkadian langsung memukau penonton setelah tampil di The Mummy Returns. Tak pelak, produsernya pun segera membuat prekuel khusus tentang karakter itu lewat The Scorpion King. Tapi, film itu bukan yang diharapkan penonton setelah muncul sebagai film aneh yang dipenuhi one-liner canggung di antara banyak adengan komedi.
Film itu memainkan persona bicara cepat yang membuat Dwayne Johnson dikenal saat itu. Tapi, karakter Mathayus sama sekali tidak mirip dengan yang tampil di The Mummy Returns. Ini menyebabkan film itu dan prekuelnya tidak nyambung. Sementara The Scorpions King itu kocak, film itu sama sekali tidak peduli untuk menjawab pertanyaan utama bagaimana Mathayus menjadi Raja Kalajengking yang jahat.
Foto: IMDb
Judul aneh prekuel ini cukup mengungkapkan betapa hambarnya film tersebut. Film asli Peter Pan menggunakan berbagai macam hal seperti serbuk pixie, putri duyung, dan bajak laut jahat untuk membuat Neverland terasa asyik. Tapi, Pan melemparkan banyak tanpa keasyikan atau daya tarik untuk mendukungnya.
Protagonisnya pun terasa seperti sebuah perenungan dalam ceritanya sendiri. Meski para aktornya melakukan yang terbaik, spesial efek dan adegan aksi yang jelek mengubur karakter mereka. Film ini juga dirilis terlalu dekat dengan blockbuster seperti The Hunger Games dan Divergent. Akibatnya, film ini pun rugi di box office setelah hanya meraup USD128,4 juta dari anggaran USD150 juta.
Foto: Los Angeles Times
Fantastic Beasts adalah usaha untuk memperluas dunia Harry Potter di luar Hogwarts. Sayangnya, serial ini kehilangan arahnya. Memulai dengan sentuhan ringan dengan cerita tentang Newt Scamander dan hewan peliharaan ajaibnya, franchise ini mulai membawakan Perang Penyihir yang gelap dan tanpa jiwa. Pada akhir triloginya, Newt lebih sebagai pengamat ketimbang protagonis.
Alih-alih, penonton disajikan drama keluarga Dumbledore yang tidak fantastis atau punya kaitan dengan hewan buas. Kombinasi aneh makhluk ajaib dan konflik besar global sama sekali tidak nyambung. Kontroversi di balik layarnya hanya membuat franchise ini semakin tenggelam. Serial ini juga memberikan konklusi yang kurang disukai.
Foto: Multiversity Comics
X-Men Origins: Wolverine berusaha memberikan cerita tentang asal usul Wolverine sebelum dia tampil di film seri X-Men. Film itu dimulai dengan rangkaian adegan epik di mana Wolverine dan Sabretooth bertarung di sejumlah perang berbeda. Adegan itu diambil dengan baik, dikoreografikan dengan baik, dan sinematografinya pun oke.
Sayang, kualitasnya langsung terjun bebas begitu adegan pembukanya selesai. Film itu nyaris membunuh Deadpool sebelum superhero itu punya film seri sendiri yang jauh lebih baik. Wolverine seharusnya menjadi film yang bagus karena mengangkat masa awal Wolverine ketika bekerja di program rahasia pemerintah. Prekuel ini juga terasa sia-sia karena ceritanya agak tidak nyambung dengan apa yang terjadi di X-Men, terutama tentang hubungan Wolverine dan Sabretooth.
Lihat Juga: Sinopsis Film Korea Omniscient Reader's Viewpoint dan Daftar 8 Pemainnya, Bujet Rp354 Miliar
Tapi, ambisi besar sering kali membuat film tidak berjalan dengan baik. Sejumlah prekuel yang digadang-gadang bakal memberikan pemahaman tentang peristiwa yang telah terjadi, malah tampil buruk. Sebagian besar faktornya adalah penceritaan yang tidak sesuai bayangan penonton.
Ini membuat prekuel itu tampil mengecewakan dan dianggap jelek. Film-film tersebut banjir caci maki tidak hanya dari kritikus, tapi juga audiens. Dalam sejumlah kasus, film tersebut justru tidak laku di bioskop meskipun diproduksi dengan biaya fantastis. Apa saja film prekuel paling jelek dan mengecewakan yang pernah dibuat? Simak ulasannya berikut!
10. Solo: A Star Wars Story — 2018
Foto: Den of Geek
Han Solo adalah karakter ikonis dari franchise Star Wars dan sudah lekat dengan sosok Harrison Ford. Tapi, LucasFilm malah meng-casting Alden Ehrenreich sebagai Solo muda. Dia memang punya potensi, tapi Han Solo sepertinya diciptakan untuk Harrison Ford, bukan yang lain.
Penampilannya di film itu malah harus bersaing dengan Donald Glover yang memerankan Lando Clarissian. Sementara franchise Star Wars bukanlah tidak asing dengan prekuel yang mengecewakan, Solo: A Star Wars Story punya potensi yang besar. Tapi, produksi yang bermasalah menyebabkan kekecewaan besar dan film itu pun jeblok di box office.
9. Transformers: Rise of the Beasts — 2023
Foto: NY Post
Transformers berusaha menghidupkan kembali franchise mereka di layar lebar. Sukses dengan prekuel pertama mereka, Bumblebee, franchise itu pun meneruskan usaha mereka untuk membuat prekuel lain. Tapi, Transformers: Rise of the Beasts, yang berlatar sebelum film Transformers besutan Michael Bay, tidak mampu mengulangi kesuksesan Bumblebee.
Rise of Beasts mengulangi cara lama yang dipakai Bay di film-filmnya. Film itu menampilkan terlalu banyak rangkaian aksi membingungkan yang penuh dengan CGI. Film ini terlalu mirip dengan pendahulunya yang dirilis pada 2010. Rise of Beasts pun jeblok di box office. Kalau saja film mempertahankan formula Bumblebee, dia bisa sukses.
8. 300: Rise of an Empire — 2014
Foto: Slant Magazine
300: Rise of an Empire adalah prekuel sekaligus interkuel. Film ini menggambarkan peristiwa sebelum dan selama Perang Thermopylae. Tapi, film itu malah berfokus pada komandan laut Yunani, Themistocles, yang melawan Persia. Itu konsep yang bagus, tapi, film itu tidak punya dampak yang sama seperti film aslinya.
Ketidakhadiran Raja Leonidas menjadi yang paling menggelikan. Karena itu adalah prekuel, tidak ada alasan mengapa dia tidak tampil meski dia mati di akhir 300. Rise of the Empire kurang emosi seperti film aslinya. Film ini berusaha tampil hanya dengan estetika 300 yang berbeda.
7. Oz: The Great and Powerful — 2013
Foto: The Independent
The Wizard of Oz yang dirilis pada 1939 meninggalkan banyak ketertarikan penonton untuk tahu cerita latar lengkap sang penyihir. Tapi, Oz: The Great and Powerful malah tampil mengecewakan. Selain sikap angkuh karakter utamanya yang tidak tertahankan, prekuel itu hanya menghadirkan materi yang diulang dari film aslinya.
Penonton tidak diberi cukup justifikasi untuk melihat bagaimana karakter-karakter itu berakhir di tempat mereka ketika Dorothy datang ke Oz. Film itu secara tidak sengaja membawa penonton malah menyukai penjahatnya karena protagonisnya tidak pernah memenangkan simpati audiens. Ternyata, misteri di balik Wizard of Oz selalu menjadi hal yang paling menarik darinya. Tapi, secuil fakta malah membawa pergi semua misteri itu.
6. Exorcist: The Beginning — 2004
Foto: IGN
The Exorcist memang bagus, tapi, tidak semua orang mau menonton cerita asal usul. Exorcist: The Beginning mengisahkan perjumpaan Bapa Merrin dengan iblis Pazuzu di Afrika. Tapi, kaitan antara film orisinal dan prekuel itu didefinisikan secara longgar. Sebagian besar busurnya berpusat pada krisis kepercayaan Merrin, yang tidak seimbang dengan arah film tersebut.
The Beginning kurang halus seperti yang ditawarkan film aslinya, dengan memberikan pengalaman horor yang sangat jelas dan berdarah-darah. Terlebih, terlalu banyak jump scare sebelum film itu mulai terasa biasa saja. Kegagalan kritisnya bahkan diringkas penulis The Exorcist, William Peter Blatty. Dia menyebut prekuel itu sebagai pengalaman profesional yang memalukan setelah menontonnya.
5. Underworld: Rise of the Lycans — 2009
Foto: WordPress.com
Underworld: Rise of the Lycans bukan film Underworld paling jelek, tapi juga bukan yang terbaik. Film ini berusaha menceritakan cerita awal mula perselisihan antara manusia serigala dan vampir. Film ini bisa menjadi film paling ambisius dengan memberikan latar pada 1400-an dan bisa menampilkan cerita kuat tentang apa yang memicu perselisihan itu.
Sayang, film itu tidak bisa berdiri sendiri tanpa karakter utamanya, Selene yang diperankan Kate Beckinsale. Meski Kate tampil seabgai cameo di serial itu, dia adalah jantung serial Underworld. Makanya, Rise of the Lycans terasa hambar tanpa dirinya.
4. The Scorpion King — 2002
Foto: GQ Middle East
Mathayus the Akkadian langsung memukau penonton setelah tampil di The Mummy Returns. Tak pelak, produsernya pun segera membuat prekuel khusus tentang karakter itu lewat The Scorpion King. Tapi, film itu bukan yang diharapkan penonton setelah muncul sebagai film aneh yang dipenuhi one-liner canggung di antara banyak adengan komedi.
Film itu memainkan persona bicara cepat yang membuat Dwayne Johnson dikenal saat itu. Tapi, karakter Mathayus sama sekali tidak mirip dengan yang tampil di The Mummy Returns. Ini menyebabkan film itu dan prekuelnya tidak nyambung. Sementara The Scorpions King itu kocak, film itu sama sekali tidak peduli untuk menjawab pertanyaan utama bagaimana Mathayus menjadi Raja Kalajengking yang jahat.
3. Pan — 2015
Foto: IMDb
Judul aneh prekuel ini cukup mengungkapkan betapa hambarnya film tersebut. Film asli Peter Pan menggunakan berbagai macam hal seperti serbuk pixie, putri duyung, dan bajak laut jahat untuk membuat Neverland terasa asyik. Tapi, Pan melemparkan banyak tanpa keasyikan atau daya tarik untuk mendukungnya.
Protagonisnya pun terasa seperti sebuah perenungan dalam ceritanya sendiri. Meski para aktornya melakukan yang terbaik, spesial efek dan adegan aksi yang jelek mengubur karakter mereka. Film ini juga dirilis terlalu dekat dengan blockbuster seperti The Hunger Games dan Divergent. Akibatnya, film ini pun rugi di box office setelah hanya meraup USD128,4 juta dari anggaran USD150 juta.
2. Fantastic Beasts (Franchise) — 2016
Foto: Los Angeles Times
Fantastic Beasts adalah usaha untuk memperluas dunia Harry Potter di luar Hogwarts. Sayangnya, serial ini kehilangan arahnya. Memulai dengan sentuhan ringan dengan cerita tentang Newt Scamander dan hewan peliharaan ajaibnya, franchise ini mulai membawakan Perang Penyihir yang gelap dan tanpa jiwa. Pada akhir triloginya, Newt lebih sebagai pengamat ketimbang protagonis.
Alih-alih, penonton disajikan drama keluarga Dumbledore yang tidak fantastis atau punya kaitan dengan hewan buas. Kombinasi aneh makhluk ajaib dan konflik besar global sama sekali tidak nyambung. Kontroversi di balik layarnya hanya membuat franchise ini semakin tenggelam. Serial ini juga memberikan konklusi yang kurang disukai.
1. X-Men Origins: Wolverine — 2009
Foto: Multiversity Comics
X-Men Origins: Wolverine berusaha memberikan cerita tentang asal usul Wolverine sebelum dia tampil di film seri X-Men. Film itu dimulai dengan rangkaian adegan epik di mana Wolverine dan Sabretooth bertarung di sejumlah perang berbeda. Adegan itu diambil dengan baik, dikoreografikan dengan baik, dan sinematografinya pun oke.
Sayang, kualitasnya langsung terjun bebas begitu adegan pembukanya selesai. Film itu nyaris membunuh Deadpool sebelum superhero itu punya film seri sendiri yang jauh lebih baik. Wolverine seharusnya menjadi film yang bagus karena mengangkat masa awal Wolverine ketika bekerja di program rahasia pemerintah. Prekuel ini juga terasa sia-sia karena ceritanya agak tidak nyambung dengan apa yang terjadi di X-Men, terutama tentang hubungan Wolverine dan Sabretooth.
Lihat Juga: Sinopsis Film Korea Omniscient Reader's Viewpoint dan Daftar 8 Pemainnya, Bujet Rp354 Miliar
(alv)