Review Film Hari Ke-40: Demonstrasi Berujung Rasa Cemas

Rabu, 08 November 2023 - 13:56 WIB
loading...
Review Film Hari Ke-40: Demonstrasi Berujung Rasa Cemas
Film pendek Hari Ke-40 menggambarkan kegelisahan orang tua yang anaknya tak pulang setelah mengikuti demonstrasi. Foto/MAXStream
A A A
JAKARTA - Film pendek produksi Indonesia Sinema Persada ini dibuka dengan perbincangan sepasang orang tua yang khawatir akan keselamatan anaknya. Ilham, anak mereka satu-satunya itu belum pulang selama dua hari karena mengikuti demonstrasi.

Kekhawatiran mereka ini dapat dimaklumi mengingat banyaknya demonstrasi yang berakhir dengan kericuhan di negeri ini.

Demonstrasi dalam Demokrasi

Demonstrasi adalah hal yang normal dalam demokrasi. Sarana menyampaikan pendapat di muka umum merupakan hak asasi yang dijamin oleh UUD 1945, undang-undang tertinggi di Indonesia. UU nomor 9 tahun 1998 secara khusus mengatur hal ini. Setiap warga negara Indonesia berhak untuk menyampaikan pendapat di depan umum alias ikut demonstrasi, tentunya dengan bertanggung jawab.



Sayangnya, tidak semua demonstrasi dapat berjalan dengan damai dan lancar. Banyak sekali faktor penyebabnya. Demonstrasi mahasiswa di Indonesia memang sering berujung kericuhan. Semangat muda mahasiswa saat bertemu pihak lain yang berbeda pendapat belum tentu berakhir dengan baik. Tidak hanya kericuhan atau kegaduhan, kerusuhan pun pernah terjadi.

Kerusuhan tahun 1998 menjadi catatan kelam bagi demokrasi Indonesia. Demonstrasi mahasiswa yang berawal di Kampus Trisakti di Jakarta pada 12 Mei 1998 itu berakhir dengan wafatnya empat orang mahasiswa yang dikenang sebagai Pahlawan Reformasi.

Saat itu, mahasiswa yang berdemonstrasi di jalan dipaksa untuk kembali ke kampus. Teriakan, gas air mata, dan tembakan digunakan untuk menghalau mahasiswa yang hendak berjalan menuju gedung DPR/MPR RI itu. Pada waktu itu UU nomor 9 tahun 1998 yang mengatur tentang penyampaian pendapat di depan umum memang belum lahir.

Review Film Hari Ke-40: Demonstrasi Berujung Rasa Cemas

Foto: MAXStream

Penyampaian pendapat alias demonstrasi dan pawai belum diatur seperti sekarang. Kalaupun sudah, belum banyak mahasiswa yang tahu apalagi mengamalkannya. Demikian pula halnya dengan penegak hukum.

Peristiwa yang terjadi di daerah Grogol itu memicu reaksi lain. Demonstrasi mahasiswa kian masif. Ribuan mahasiswa tak henti-hentinya menyuarakan pendapat di gedung DPR/MPR RI. Gedung berkubah hijau itu tertutup oleh para pemuda yang bersemangat menumbangkan pemerintahan saat itu. Jaket warna-warni mereka membaur seakan-akan mewakilli warna-warni bangsa Indonesia.

Reaksi lainnya adalah penjarahan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Tidak hanya menjarah barang-barang berharga, orang-orang tidak bertanggung jawab ini juga melakukan perusakan, pembakaran, pemerkosaan, dan pembunuhan. Keadaan menjadi tidak terkendali.

Kerusuhan yang terjadi di beberapa tempat dengan cepat menjalar ke tempat lain. Grogol yang menjadi titik awal kejadian ini rusuh. Beberapa pusat perbelanjaan dijarah dan dibakar. Rumah sakit penuh oleh korban kerusuhan. Suasana Kota Jakarta terasa sangat mencekam dan tidak aman.

Penyampaian pendapat oleh mahasiswa mencapai puncaknya saat Presiden Soeharto menyatakan pengunduran dirinya pada 21 Mei 1998. Rezim Orde Baru pun berakhir. Para demontran bersorak gembira. Banyak pula yang menangis haru. Dimulailah masa reformasi. Awal yang baru bagi bangsa Indonesia.

Banyak yang Diciduk

Kebanyakan orang menyambut masa reformasi ini dengan gembira. Namun, tidak demikian dengan orang-orang yang terkena dampaknya. Banyak yang kehilangan harta bahkan nyawa. Peristiwa ini bukanlah sesuatu yang bisa dirayakan oleh keluarga dan kerabat yang ditinggalkan. Keluarga dari para Pahlawan Reformasi perlu waktu beberapa tahun untuk pulih dari dukacita yang mendalam.

Review Film Hari Ke-40: Demonstrasi Berujung Rasa Cemas

Foto: MAXStream

Pak Wahyu dan Bu Indri dalam film pendek ini juga merasakan hal yang sama. Kenangan atas kehilangan anak pertama mereka saat mengikuti demonstrasi tidak dapat mereka lupakan. Kenangan buruk itu muncul kembali saat Ilham, anak kedua mereka, satu-satunya anak mereka yang masih hidup, juga mengikuti demonstrasi.

Menjadi demonstran telah mengubah hidup Ilham. Anak yang semula dianggap rapi, pintar, dan penurut itu menjadikan rumahnya berantakan tak keruan dan berbau tak sedap. Pak Wahyu juga menemukan surat pemberitahuan kalau anaknya ini memiliki masalah akademis di kampusnya.

Pokoknya demonstrasi lebih diutamakan daripada pendidikan dan urusan rumah. Tak heran Pak Wahyu khawatir akan kehidupan anaknya. Kekhawatiran itu makin memuncak saat Pak RT mengetuk pintu rumah untuk mencari Ilham.

“Jangan-jangan Pak RT disuruh sama polisi. Anaknya Pak Agus yang satu kampus dengan Ilham sudah diciduk dari rumahnya,” kata Pak Wahyu pada istrinya.

Diciduk adalah istilah umum yang digunakan apabila ada orang yang dijemput paksa dari rumahnya. Diciduk oleh aparat karena demonstrasi menjadi sesuatu yang mengerikan dan tanpa kepastian. Ada juga yang 'dihilangkan', tidak ada kabarnya entah masih hidup atau sudah meninggal. Banyaknya orang yang diciduk saat masa reformasi itu menjadi pemicu terbentuknya Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan).

Novel terkenal berjudul Laut Bercerita karya Leila S. Chudori menceritakan para demonstran yang diciduk ini. Tokoh-tokoh dalam novel yang juga dijadikan film ini berakhir tragis. Laut, sang tokoh utama, mengembuskan napas terakhirnya di laut.

Saat menonton film Hari ke-40, kemungkinan banyak penonton yang mengira nasib Ilham akan sama seperti Laut dan teman-temannya. Adegan dalam siaran TV yang menyiarkan kericuhan demonstrasi yang diikuti Ilham menambah besarnya dugaan ini.

Angka 40 yang Istimewa

Angka 40 dianggap sebagai angka yang penting dalam berbagai budaya dan agama. Dalam tradisi beberapa agama dan kepercayaan tertulis ada banjir besar yang terjadi selama 40 hari, sebuah bangsa yang mengembara di padang gurun selama 40 tahun, puasa atau pantang pun dilakukan selama 40 hari.

Review Film Hari Ke-40: Demonstrasi Berujung Rasa Cemas

Foto: MAXStream

Angka 40 ini pula yang menjadi asal muasal kata karantina, kata yang sering kita gunakan pada masa pandemi yang baru lalu. Quarantena adalah istilah bahasa Latin yang digunakan untuk pemisahan awak kapal yang terkena wabah selama 40 hari. Pemisahan orang yang sakit itu sampai sekarang tetap disebut sebagai karantina walaupun tidak lagi memakan waktu selama 40 hari. Kata karantina bahkan juga digunakan untuk hewan dan tumbuhan.

Angka 40 juga memiliki nilai mistis. Konon kabarnya, 40 hari setelah meninggal, arwah manusia masih gentayangan di bumi. Mereka berusaha menyelesaikan urusan yang belum selesai dengan kehidupan yang telah ditinggalkan. Kadang-kadang ada pula yang menampakkan diri. Kalau urusannya masih belum selesai juga, ada pula yang dikisahkan tinggal di dunia lebih lama lagi.

Banyak karya yang terinspirasi dari 40 hari di dunia ini. Baik film horor maupun drama. Judul Hari Ke-40 tentunya mengingatkan kita juga akan hal ini. Kenangan dan kebiasaan kedua orang tua yang digambarkan sejak awal film yang disutradarai oleh Ichwan Persada ini menggiring ke arah itu. Sang ibu yang mendadak pusing saat mendengar anaknya kemungkinan diciduk juga membuat penonton menduga terjadi sesuatu pada anaknya.



Ilham yang menjadi pusat perhatian kedua orang tuanya itu pun belum muncul sampai pertengahan film. Saat akhirnya pulang, Ilham yang masih mengenakan jaket almamaternya itu berlumuran darah. Kepalanya terluka. Perasaannya pun terluka. Namun, semangatnya masih membara.

Kedatangan Pak RT untuk kedua kalinya mulai menyibak rahasia hari ke-40 ini. Pak RT yang semula dikira akan menciduk Ilham ini malah memberikan dukungan kepada Ilham. Pak Wahyu yang sebelumnya khawatir menjadi tenang saat melihat anaknya telah melewati 40 hari ini. Tibalah saatnya mengucapkan selamat tinggal kepada anak yang dikasihinya itu.


Sylvana Hamaring
Penulis yang suka membaca dan menonton film. Karya fiksinya terbit setiap minggu di sebuah media anak terkenal. Bisa dihubungi via Instagram @anahamaring
(ita)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2157 seconds (0.1#10.140)