THE DESSERT: Apakah Hubungan Tanpa Status Masih Layak Dipertahankan?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Setelah sukses memproduseri tiga film layar lebar yaitu Hijabers in Love (2014), Miracle: Jatuh dari Surga (2015), Silariang : Cinta yang (Tak) Direstui (2018), juga satu film dokumenter panjang dengan judul Cerita dari Tapal Batas (2011), kali ini Ichwan Persada mencoba menggarap sebuah film pendek berjudul The Dessert.
Selain masih duduk di bangku produser, Ichwan juga merangkap sebagai sutradara. Tidak heran film ini jadi penuh dengan berbagai macam bahasa simbol yang bertaburan di sepanjang alur cerita khas Ichwan Persada.
Film yang berdurasi ‘hanya’ selama kurang lebih 15 menit ini mampu menyuguhkan berbagai macam twist yang mampu membuat penonton terkaget-kaget. Durasi yang singkat ternyata tidak menjadi penghalang bagi Ichwan untuk bisa tetap menyajikan sebuah cerita yang sarat akan makna.
Satu hal yang sangat disayangkan dalam film ini adalah kualitas tata suara yang masih digarap kurang maksimal sehingga percakapan para pemainnya menjadi tidak terdengar jelas karena tumpang tindih dengan suara bising di sekitarnya. Padahal untuk film berdurasi pendek, peran bahasa komunikasi sangatlah penting dalam menggambarkan karakter-karakter yang ada sehingga para penonton dapat melihat dan memahami dengan lebih jelas setiap pertentangan dan pergumulan yang dirasakan para tokoh dalam cerita.
Sebenarnya ada satu cara untuk mengakali kualitas suara yang kurang bagus, yaitu dengan menggunakan terjemahan. Namun sayangnya cara ini juga belum diaplikasikan dalam film The Dessert.
Foto: Indonesia Sinema Persada
Tema yang mau diangkat dalam film ini bukanlah hal yang baru, masih soal cinta-cintaan. Apalagi memang latar waktu film ini terjadi pada hari Valentine yang dikenal sebagai hari kasih sayang. Hampir semua orang pernah merayakan atau masih merayakan hari ini bersama kekasihnya atau orang-orang yang tersayang.
Namun yang menjadikan film ini unik adalah konflik di dalamnya. Kita tentu sudah pernah mendengar istilah Teman Tapi Mesra (TTM) yang bahkan sudah ada versi lagunya, atau istilah itu menjadi terkenal justru gara-gara lagu itu?
Ada juga istilah Hubungan Tanpa Status (HTS) yang sering digaungkan oleh para pasangan yang memilih untuk tetap dekat tanpa harus direpotkan oleh berbagai macam tuntutan saat hubungan itu menjadi jelas statusnya. TTM atau HTS menjadikan sebuah relationship tetap dalam status quo. Tidak ada hak untuk memiliki atau dimiliki oleh pasangannya. Bebas seperti burung yang beterbangan di angkasa luas.
Tapi bagaimana seandainya TTM atau HTS ini terjadi pada pasangan yang dalam dunia nyatanya sudah berumah tangga? Dapatkah dimaklumi dan bahkan masih bisa dirayakan ‘hubungannya’ pada saat Valentine?
Ini yang dialami oleh Rama dan Sinta. Nama yang sejatinya berasal dari dunia pewayangan, simbol cinta abadi, dalam film ini malah menjadi sebuah simbol HTS. Sungguh miris.
Adegan percakapan antara Rama dan Sinta digambarkan begitu intim, penuh kehangatan. Cinta dianalogikan seperti kue cokelat stroberi yang disuguhkan oleh pelayan kafe kepada pasangan itu. Manis dan menggairahkan.
Memang, tidak ada yang salah dengan cinta, karena itu perasaan paling manusiawi yang bisa dirasakan oleh manusia. Tidak ada yang tahu juga bagaimana cinta akhirnya bisa bertumbuh dan berkembang menjadi sebuah perasaan ingin saling memiliki. Semua bisa saja terjadi meski di ujungnya nanti mungkin penyesalan yang akan terjadi.
Tidak ada yang tahu mengapa Rama dan Sinta tidak kunjung menikah. Tidak dijelaskan juga secara detail di sana. Tapi memang itu tidak terlalu penting. Menikah atau tidak menikah, mereka masih bisa bersama. Rutin merayakan hari Valentine selama bertahun-tahun.
Awalnya, penonton disuguhkan mengenai hubungan Rama dan Sinta selayaknya pasangan yang sedang berpacaran. Mereka sedang merayakan hari Valentine bersama. Normal dan wajar.
Sampai di ujungnya penonton baru terkejut. Mereka ternyata tidak berpacaran melainkan saling berselingkuh dari pasangan resminya masing-masing. Ya, seperti sudah dijelaskan di awal tulisan ini, sejatinya Rama dan Sinta masing-masing sudah memiliki pasangan yang terikat dengan pernikahan.
Foto: Indonesia Sinema Persada
Ada juga pasangan lain yang dikisahkan di dalam film ini. Chef Arnold dan asistennya yang bernama Sheila. Tidak diketahui apakah mereka masing-masing sudah memiliki pasangan seperti Rama dan Sinta karena memang tidak dijelaskan tapi dari penuturan Rama yang merupakan teman dekat Chef Arnold, bisa disimpulkan bahwa Arnold masih sendiri.
Penonton awalnya mungkin mengira bahwa tidak ada pesan khusus dari hubungan Chef Arnold dan Sheila. Mereka seperti pemain figuran yang memang diperlukan dalam sebuah cerita yang latar ruangannya berada di dalam sebuah kafe.
Selain masih duduk di bangku produser, Ichwan juga merangkap sebagai sutradara. Tidak heran film ini jadi penuh dengan berbagai macam bahasa simbol yang bertaburan di sepanjang alur cerita khas Ichwan Persada.
Film yang berdurasi ‘hanya’ selama kurang lebih 15 menit ini mampu menyuguhkan berbagai macam twist yang mampu membuat penonton terkaget-kaget. Durasi yang singkat ternyata tidak menjadi penghalang bagi Ichwan untuk bisa tetap menyajikan sebuah cerita yang sarat akan makna.
Satu hal yang sangat disayangkan dalam film ini adalah kualitas tata suara yang masih digarap kurang maksimal sehingga percakapan para pemainnya menjadi tidak terdengar jelas karena tumpang tindih dengan suara bising di sekitarnya. Padahal untuk film berdurasi pendek, peran bahasa komunikasi sangatlah penting dalam menggambarkan karakter-karakter yang ada sehingga para penonton dapat melihat dan memahami dengan lebih jelas setiap pertentangan dan pergumulan yang dirasakan para tokoh dalam cerita.
Sebenarnya ada satu cara untuk mengakali kualitas suara yang kurang bagus, yaitu dengan menggunakan terjemahan. Namun sayangnya cara ini juga belum diaplikasikan dalam film The Dessert.
Foto: Indonesia Sinema Persada
Tema yang mau diangkat dalam film ini bukanlah hal yang baru, masih soal cinta-cintaan. Apalagi memang latar waktu film ini terjadi pada hari Valentine yang dikenal sebagai hari kasih sayang. Hampir semua orang pernah merayakan atau masih merayakan hari ini bersama kekasihnya atau orang-orang yang tersayang.
Namun yang menjadikan film ini unik adalah konflik di dalamnya. Kita tentu sudah pernah mendengar istilah Teman Tapi Mesra (TTM) yang bahkan sudah ada versi lagunya, atau istilah itu menjadi terkenal justru gara-gara lagu itu?
Ada juga istilah Hubungan Tanpa Status (HTS) yang sering digaungkan oleh para pasangan yang memilih untuk tetap dekat tanpa harus direpotkan oleh berbagai macam tuntutan saat hubungan itu menjadi jelas statusnya. TTM atau HTS menjadikan sebuah relationship tetap dalam status quo. Tidak ada hak untuk memiliki atau dimiliki oleh pasangannya. Bebas seperti burung yang beterbangan di angkasa luas.
Tapi bagaimana seandainya TTM atau HTS ini terjadi pada pasangan yang dalam dunia nyatanya sudah berumah tangga? Dapatkah dimaklumi dan bahkan masih bisa dirayakan ‘hubungannya’ pada saat Valentine?
Ini yang dialami oleh Rama dan Sinta. Nama yang sejatinya berasal dari dunia pewayangan, simbol cinta abadi, dalam film ini malah menjadi sebuah simbol HTS. Sungguh miris.
Adegan percakapan antara Rama dan Sinta digambarkan begitu intim, penuh kehangatan. Cinta dianalogikan seperti kue cokelat stroberi yang disuguhkan oleh pelayan kafe kepada pasangan itu. Manis dan menggairahkan.
Memang, tidak ada yang salah dengan cinta, karena itu perasaan paling manusiawi yang bisa dirasakan oleh manusia. Tidak ada yang tahu juga bagaimana cinta akhirnya bisa bertumbuh dan berkembang menjadi sebuah perasaan ingin saling memiliki. Semua bisa saja terjadi meski di ujungnya nanti mungkin penyesalan yang akan terjadi.
Tidak ada yang tahu mengapa Rama dan Sinta tidak kunjung menikah. Tidak dijelaskan juga secara detail di sana. Tapi memang itu tidak terlalu penting. Menikah atau tidak menikah, mereka masih bisa bersama. Rutin merayakan hari Valentine selama bertahun-tahun.
Awalnya, penonton disuguhkan mengenai hubungan Rama dan Sinta selayaknya pasangan yang sedang berpacaran. Mereka sedang merayakan hari Valentine bersama. Normal dan wajar.
Sampai di ujungnya penonton baru terkejut. Mereka ternyata tidak berpacaran melainkan saling berselingkuh dari pasangan resminya masing-masing. Ya, seperti sudah dijelaskan di awal tulisan ini, sejatinya Rama dan Sinta masing-masing sudah memiliki pasangan yang terikat dengan pernikahan.
Foto: Indonesia Sinema Persada
Ada juga pasangan lain yang dikisahkan di dalam film ini. Chef Arnold dan asistennya yang bernama Sheila. Tidak diketahui apakah mereka masing-masing sudah memiliki pasangan seperti Rama dan Sinta karena memang tidak dijelaskan tapi dari penuturan Rama yang merupakan teman dekat Chef Arnold, bisa disimpulkan bahwa Arnold masih sendiri.
Penonton awalnya mungkin mengira bahwa tidak ada pesan khusus dari hubungan Chef Arnold dan Sheila. Mereka seperti pemain figuran yang memang diperlukan dalam sebuah cerita yang latar ruangannya berada di dalam sebuah kafe.