SOROT: 7 Film Indonesia Terbaik 2023 Sejauh Ini
loading...
A
A
A
JAKARTA - Selain paceklik jumlah penonton di bioskop, tahun ini film Indonesia juga mengalami kemerosotan kualitas. Sebagian besar film yang dirilis di bioskop berkualitas buruk, utamanya dari sisi genre horor.
Munculnya pedagang berkedok produser film yang memproduksi film horor ala kadarnya menjadikan masyarakat justru apatis. Padahal setahun sebelumnya publik bertepuk tangan keras ketika film KKN di Desa Penariberhasil menumbangkan rekor terlaris dengan pencapaian 10 juta penonton.
Begitupun masih ada 'mutiara di tengah lumpur' film Indonesia. Saya mencatat setidaknya ada tujuh judul film Indonesia berkualitas cemerlang. Menariknya sebagian besar di antaranya justru tak mendapatkan perhatian yang seharusnya dari masyarakat dan menjadikan film-film tersebut hadir dengan performa buruk di box office.
Berikut tujuh film Indonesia terbaik pada 2023 hingga Juli.
Foto: KawanKawan Media
Sebelum beredar di bioskop, Autobiography” sudah mendapat beragam ulasan dari media film terkemuka dunia. Jessica Kiang dari Variety menulis seperti ini, “But in large part, Autobiography is an auspicious, atmospheric first feature that knows how to co-opt generic conventions and a richly cinematic style, in order to illuminate some of the the darkest recesses of Indonesia’s recent history. Without laboring the allegory overmuch, Mubarak, working from his own nicely pared-back screenplay, builds up a convincing if despairing vision of the legacy of atrocity, in which the children of the Indonesian dictatorship era can only fully reckon with their nation’s violent past by taking on some of its attributes themselves, at significant cost to their souls”.
Allan Hunter menulis di Screen Daily sebagai berikut, “Proximity to power threatens to taint the soul in the debut feature of critic-turned-filmmaker Makbul Mubarak, a taut, brooding thriller based around the dynamics between a naive young housekeeper and a retired general. As the personal and the political blend, Mubarak reflects the much wider issue of corruption’s spell over Indonesia and beyond. A gripping tale that marks Mubarak as a powerful new voice, it should find ample interest from arthouse distributors and streamers following festival screenings in Venice, Toronto and Busan”.
Damon Wise menulis di Deadline seperti ini, “Forget the overly poetic title, Makbul Mubarak’s terrific Indonesian thriller Autobiography — which premieres in the Venice Film Festival’s Horizons section — is a genuine discovery here, a taut and elegantly staged two-hander that transcends regional politics to make a profound comment on the state of the world today. American arthouse audiences should be especially receptive to its riveting portrayal of a charismatic candidate running for mayoral office whose populist image masks a very fragile ego and a desire to maintain absolute power at any cost”.
Jadi apa yang saya rasakan setelah menyaksikan Autobiography? Apa yang saya rasakan mungkin tak penting, karena sekali lagi menonton film adalah pengalaman personal. Saya melihat aspek teknis visual, warna, hingga ilustrasi musik yang terasa betul-betul diperhitungkan. Saya juga melihat Kevin Ardilova yang bermain luar biasa dan sangat berbeda dan sangat pantas meraih Piala Citra.
Foto: Visinema Pictures
Saya mencoba memahami apa yang dialami Aurora dalam film Jalan Yang Jauh, Jangan Lupa Pulanggarapan Angga Dwimas Sasongko. Saya memahami apa makna baginya ketika diberi kesempatan untuk terbang jauh ribuan kilometer untuk mencari mimpi-mimpinya. Saya memahami bagaimana rasanya mencoba menjadi diri sendiri dan terpisah jauh dari keluarga yang selama ini, dalam beberapa hal, terasa mengekangnya. Saya memahami bagaimana proses bagi Aurora untuk menemukan makna rumah dan juga pulang.
Perjalanan yang dialami Aurora adalah pengalaman personal. Tapi bisa terjadi pada siapa saja. Berada di negeri asing, mencoba mengalami hal-hal yang baru, terpikat dengannya, terlibat dalam hubungan yang problematik, terjatuh dan bangkit lagi, melarikan diri dari masalah, dan berbagai hal rumit yang mungkin cuma bisa dimengerti oleh mereka yang pernah mengalami hal yang sama.
Tapi itulah risiko melakukan 'perjalanan jauh'. Kita akan mengembara memasuki wilayah-wilayah asing dengan segala keterpesonaan pada awalnya untuk kemudian melakukan kesalahan demi kesalahan. Tapi pada akhirnya kesalahan-kesalahan itu mungkin akan menempa kita menjadi pribadi yang lebih baik. Mungkin juga lebih kuat.
Dalam perjalanan itu, Aurora tak hanya memaknai ulang soal rumah dan pulang. Ia juga memberi definisi baru padakata "keluarga". Bahwa keluarga bukan sekadar karena bertalian darah. Tapi teman juga adalah keluarga yang kita pilih.
Jalan Yang Jauh, Jangan Lupa Pulangjuga mengantarkan kita memasuki cerita dari Honey dan Kit, para perantau lain yang ditempa kerasnya hidup. Tapi mereka terus berjalan. Kesalahan tidak untuk ditengok lagi, tapi hanya sebagai peringatan.
Foto:Amazon Original
Reza Rahadian adalah pilihan tepat dari sutradara Teddy Soeriaatmadja. Keduanya sudah bekerja sama 10 tahun lalu dalam film Something in the Waydan karenanya Teddy mengenali betul jangkauan akting yang bisa dimainkan Reza. Skenario memang memberi panggung mahaluas bagi Reza untuk memperlihatkan sisi keaktorannya yang selama ini belum pernah dilihat publik.
Trauma dan dendam menjadi dua bahan utama dari Berbalas Kejamyang diolah dengan baik oleh skenario yang ditulis sendiri oleh Teddy. Kita melihat Adam yang hancur selama dua tahun, perlahan menghancurkan dirinya sendiri pascakematian istri dan anaknya.
Kita juga melihat bagaimana Adam berusaha mengelak bahwa hidupnya sedang tak baik-baik saja. Dan trauma, juga dendam, yang lantas dibalut kemarahan itu perlu bertemu sumbunya untuk meledak.
Reza membuat kita merasakan derita yang dirasakan Adam sepanjang durasi film. Itulah pencapaian tertingginya sebagai seorang aktor. Membuat penonton merasakan apa yang dirasakan oleh karakter yang dimainkannya, membuatnya bersimpati dengan segala tindakan-tindakan salah yang dilakukannya dan membuat penonton tahu betapa sulit ia mengendalikan urgensi untuk membalaskan dendamnya hanya untuk merasakan hidupnya kembali tenang.
Berkat Berbalas Kejam, kelak penonton juga akan menyadari bahwa Baim Wong adalah seorang aktor brilian sebagaimana Reza.
Foto: Falcon Pictures
Tak ada film Indonesia yang terasa sangat relevan dengan saya tahun ini selain Kembang Apigarapan sutradara Herwin Novianto. Saya mengalami apa yang dialami ketiga tokoh utamanya. Namun menariknya pendekatan sutradara dan skenario adaptasi dari Alim Sudio tak membuat film ini over-sentimental dan over-dramatic dan membuatnya justru lebih terasa mengena di hati.
“Urip iku urup”. Hidup harus menyala. Kalimat pendek dan filosofis berbahasa Jawa kuno ini ditulis di bola kembang api raksasa oleh Fahmi ketika dirinya, Raga, Sukma, dan Anggun justru ingin mematikan cahaya itu. Mereka ingin berpisah dengan hidup untuk selama-lamanya.
Filosofi ini menjadi pengingat sekaligus kutukan bagi keempatnya. Dari awalnya bersemangat menyala untuk mati tapi terus ditaklukkan oleh sebuah keanehan bahwa rencana mereka terus menerus gagal. Hidup seperti tak membiarkan mereka untuk mati. Hidup terasa memberi mereka kesempatan kedua untuk kembali menyala.
Kembang Apiadalah surat penuh cinta untuk para penyintas bunuh diri. Bahwa berani untuk kembali menatap hidup adalah sebuah keberanian. Bahwa berani untuk bangkit kembali adalah sebuah kekuatan. Bahwa nyala api dalam diri kita masih tetap berkobar untuk juga menyalakan api-api kehidupan di sekitar kita.
Foto: Falcon Pictures
Skenario yang disusun Alim Sudio dan Cassandra Massardi memang sengaja dibuat sebagai pemahaman bahwa kita tahu sosok Buya Hamka seperti apa. Pengenalan karakternya tipis-tipis saja. Untungnya memang di tangan Vino yang membawa beban besar di pundaknya, kita bisa mengenal Buya lebih jauh dan lantas dibuat kagum karenanya.
Dalam adegan pembuka yang mengesankan, Vino memberi tahu kita betapa sosok Buya berhati lembut, begitu mencintai istrinya, pekerjaannya, dan bagaimana ia mencoba memperjuangkan pemikiran-pemikirannya. Vino mendapat lawan main sepadan, Laudya Chintya Bella, juga dalam peran terbaiknya, sebagai sang istri Siti Raham. Vino dan Bella menghilang ke dalam tubuh Hamka dan Raham dan kita melihatnya sebagai sepasang suami istri yang tak hanya saling mencintai tapi juga saling mendukung.
Dengan penuturan yang loncat-loncat dan bisa membuat penonton dengan mudah kehilangan arah, terutama untuk mereka yang tak pernah tahu bagaimana sosok Buya Hamka sesungguhnya, kemudi film berada sepenuhnya di tangan dua pemain utama tersebut. Terutama Vino yang menjalankan tanggung jawab berat memainkan peran Buya Hamka dalam rentang waktu yang panjang.
Dari menjadi pemuda dengan keingintahuan besar dan keinginan menjelajah dunia, menjadi suami yang menekuni dunia menulis dengan serius hingga menjadi ulama yang memilih cara tak populer agar penjajah tak perlu menginjak-injak Islam di negerinya sendiri. Buya Hamka adalah sejatinya manusia biasa dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Buya Hamkaadalah sebuah perjalanan heroik dari Falcon Pictures untuk memperkenalkan kembali sosok Buya Hamka ke masyarakat. Kini kita tahu Buya Hamka bukan sekadar penulis dua roman yang difilmkan berkali-kali, ia juga seorang pemikir cemerlang dan pendakwah yang gigih.
Setelah film usai dan kita bisa menyesapi peran demi peran dari Buya Hamka tersebut, kita tahu Vino G Bastian telah menjalankan tugasnya dengan baik dalam perannya yang paling menantang sepanjang kariernya.
Foto:Visinema Pictures
Onde Mandedatang dengan premis menarik. Salah satu warga yang dituakan di desa Sigiran, Angku Wan, menang sayembara berhadiah uang Rp2 miliar. Angku Wan adalah seseorang yang sangat mencintai desanya. Ia bahkan menolak merantau ke Jakarta dan membiarkan istri dan anaknya berangkat sendirian.
Sebelum menang sayembara, Angku Wan sudah punya banyak rencana untuk membangun desanya. Tapi sayang, sebelum rencananya terlaksana dan sebelum menerima hadiah uang itu, Angku Wan dipanggil Yang Maha Kuasa.
Skenario yang ditulis cemerlang oleh Paul bekerja efektif dan membuat Onde Mandetak pernah kehilangan momentum. Sebagai penonton yang bukan orang Minang, saya memahami apa yang ingin disampaikan oleh Paul.
Bahwa keluarga bukan saja soal mereka yang bertalian darah tapi namun juga tentang mereka yang pernah membantu kita di masa-masa sulit, tentang mereka yang selalu ada saat dibutuhkan. Sebagai sesama pembuat film, saya tahu betul bagaimana film ini dibuat dengan hati besar, sebuah persembahan tulus untuk sebuah tempat dari mana kita berasal.
Onde Mandejuga bekerja efektif karena Paul cermat memilih aktor-aktrisnya. Roda film diserahkan pada duet aktor kawakan, Jose Rizal Manua dan Jajang C Noer. Jose yang dibesarkan di teater mungkin terbilang baru dalam film, tapi jelas sekali ia tak gagap berduet dengan Jajang.
Kegugupan Da Am bisa ditampilkannya dengan baik dan justru sering kali kocak yang membuat penonton tertawa. Sementara Jajang pun menjadi teman duet yang baik, tak berusaha bersinar sendirian di sebuah adegan. Kualitas seorang aktris kaliber diperlihatkannya di sini.
Tapi bintang dalam Onde Mandebisa jadi adalah Emir Mahira. Sekilas perannya seperti tak signifikan untuk cerita ini. Emir menjadi Aan, perwakilan dari perusahaan penyelenggara sayembara yang mesti berangkat ke desa Sigiran untuk melakukan verifikasi secara langsung.
Aan menjadi perwakilan dari generasi anak muda yang dibesarkan di ibu kota yang serba terburu-buru dan serba-ada. Ketika ia tiba di desa Sigiran, ada kegagapan yang terjadi. Aan tak siap dengan segala kejutan yang mengiringi sayembara, ia hanya datang untuk menjalankan tugasnya sebagai perwakilan perusahaan dengan baik. Titik. Tak lebih dari itu.
Aan tak punya intensi untuk terlibat dan melibatkan diri secara emosional dengan siapa pun di desa itu. Emir bisa menerjemahkan itu semua dengan cemerlang, tak pernah terlihat berlebihan dan seperti Jajang, tak pernah punya niat untuk mencuri perhatian.
Bisa jadi di Festival Film Indonesia (FFI) pada akhir tahun ini, Emir akan mengawinkan piala Citra yang sudah dimilikinya sebagai Pemeran Utama Pria Terbaik tahun 2011 dengan piala Citra sebagai Pemeran Pembantu Pria Terbaik melalui Onde Mande.
Foto: MD Pictures
Ganjil Genaplangsung menarik perhatian saya dengan opening bertempo cepat, dengan editing yang lincah dan secara efektif memperkenalkan hubungan antara Gala dan Bara yang sudah berpacaran selama delapan tahun. Bagaimana Gala yang secara konsisten selalu bahagia dengan perayaan tahunan mereka dan bagaimana Bara yang dari tahun ke tahun terasa semakin berkurang antusiasmenya dengan perayaan tahunan mereka.
Meski tak membaca novelnya, Ganjil Genapbisa memberi tahu kita dengan cara yang kreatif bahwa ada masalah dalam hubungan antara Gala dan Bara. Spark-nya sudah hilang saat empat tahun hubungan mereka. Padahal keduanya menjalani pacaran hingga delapan tahun. Kita pun simpati kepada Gala yang diputuskan oleh Bara begitu saja.
Formula komedi romantis klasik tentang love-hate relationshiptak ada dalam Ganjil Genap. Namun konsep soal salah paham masih bisa diolah menjadi sesuatu yang menyegarkan dan menyenangkan penonton yang mudah bosan seperti saya.
Dalam episode patah hatinya, Gala bertemu Aiman, cowok charming yang disalahpahaminya. Sekilas Aiman mirip dengan Bara,tapi skenario memberi ruang lebih pada Aiman dan memberinya latar cerita yang menarik.
Ia punya masalah dengan komitmen karena melihat yang pernah terjadi pada ayahnya sendiri. Ia pucat ketika melihat Gala suka dengan anak-anak, ia gemetar ketika tahu Gala sudah ingin sekali menikah.
Aiman yang tumbuh dengan luka-luka masa lalu membuat karakternya menjadi paling menonjol. Terlebih di tangan Oka Antara, Aiman terlihat seperti kesatria tampan berkuda putih yang datang untuk menyelamatkan seorang putri.
Bara pun terus menerus terlihat sebagai pecundang yang justru menjadi faktor lemah dari cerita ini yang membuat kita percaya bahwa Gala memang tak perlu memberi kesempatan sedikit pun pada Bara untuk bisa kembali ke pelukannya.
Mari berharap lima bulan tersisa pada tahun ini semakin banyak film Indonesia berkualitas cemerlang yang bisa kita saksikan di bioskop. Mari juga berharap bahwa film-film berkualitas cemerlang tersebut juga pada akhirnya menampilkan performa cemerlang di box office.
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute, bisa dikontak via Instagram @ichwanpersada
Munculnya pedagang berkedok produser film yang memproduksi film horor ala kadarnya menjadikan masyarakat justru apatis. Padahal setahun sebelumnya publik bertepuk tangan keras ketika film KKN di Desa Penariberhasil menumbangkan rekor terlaris dengan pencapaian 10 juta penonton.
Begitupun masih ada 'mutiara di tengah lumpur' film Indonesia. Saya mencatat setidaknya ada tujuh judul film Indonesia berkualitas cemerlang. Menariknya sebagian besar di antaranya justru tak mendapatkan perhatian yang seharusnya dari masyarakat dan menjadikan film-film tersebut hadir dengan performa buruk di box office.
Berikut tujuh film Indonesia terbaik pada 2023 hingga Juli.
1. Autobiography (Makbul Mubarak)
Foto: KawanKawan Media
Sebelum beredar di bioskop, Autobiography” sudah mendapat beragam ulasan dari media film terkemuka dunia. Jessica Kiang dari Variety menulis seperti ini, “But in large part, Autobiography is an auspicious, atmospheric first feature that knows how to co-opt generic conventions and a richly cinematic style, in order to illuminate some of the the darkest recesses of Indonesia’s recent history. Without laboring the allegory overmuch, Mubarak, working from his own nicely pared-back screenplay, builds up a convincing if despairing vision of the legacy of atrocity, in which the children of the Indonesian dictatorship era can only fully reckon with their nation’s violent past by taking on some of its attributes themselves, at significant cost to their souls”.
Allan Hunter menulis di Screen Daily sebagai berikut, “Proximity to power threatens to taint the soul in the debut feature of critic-turned-filmmaker Makbul Mubarak, a taut, brooding thriller based around the dynamics between a naive young housekeeper and a retired general. As the personal and the political blend, Mubarak reflects the much wider issue of corruption’s spell over Indonesia and beyond. A gripping tale that marks Mubarak as a powerful new voice, it should find ample interest from arthouse distributors and streamers following festival screenings in Venice, Toronto and Busan”.
Damon Wise menulis di Deadline seperti ini, “Forget the overly poetic title, Makbul Mubarak’s terrific Indonesian thriller Autobiography — which premieres in the Venice Film Festival’s Horizons section — is a genuine discovery here, a taut and elegantly staged two-hander that transcends regional politics to make a profound comment on the state of the world today. American arthouse audiences should be especially receptive to its riveting portrayal of a charismatic candidate running for mayoral office whose populist image masks a very fragile ego and a desire to maintain absolute power at any cost”.
Jadi apa yang saya rasakan setelah menyaksikan Autobiography? Apa yang saya rasakan mungkin tak penting, karena sekali lagi menonton film adalah pengalaman personal. Saya melihat aspek teknis visual, warna, hingga ilustrasi musik yang terasa betul-betul diperhitungkan. Saya juga melihat Kevin Ardilova yang bermain luar biasa dan sangat berbeda dan sangat pantas meraih Piala Citra.
2. Jalan yang Jauh, Jangan Lupa Pulang (Angga Sasongko)
Foto: Visinema Pictures
Saya mencoba memahami apa yang dialami Aurora dalam film Jalan Yang Jauh, Jangan Lupa Pulanggarapan Angga Dwimas Sasongko. Saya memahami apa makna baginya ketika diberi kesempatan untuk terbang jauh ribuan kilometer untuk mencari mimpi-mimpinya. Saya memahami bagaimana rasanya mencoba menjadi diri sendiri dan terpisah jauh dari keluarga yang selama ini, dalam beberapa hal, terasa mengekangnya. Saya memahami bagaimana proses bagi Aurora untuk menemukan makna rumah dan juga pulang.
Perjalanan yang dialami Aurora adalah pengalaman personal. Tapi bisa terjadi pada siapa saja. Berada di negeri asing, mencoba mengalami hal-hal yang baru, terpikat dengannya, terlibat dalam hubungan yang problematik, terjatuh dan bangkit lagi, melarikan diri dari masalah, dan berbagai hal rumit yang mungkin cuma bisa dimengerti oleh mereka yang pernah mengalami hal yang sama.
Tapi itulah risiko melakukan 'perjalanan jauh'. Kita akan mengembara memasuki wilayah-wilayah asing dengan segala keterpesonaan pada awalnya untuk kemudian melakukan kesalahan demi kesalahan. Tapi pada akhirnya kesalahan-kesalahan itu mungkin akan menempa kita menjadi pribadi yang lebih baik. Mungkin juga lebih kuat.
Dalam perjalanan itu, Aurora tak hanya memaknai ulang soal rumah dan pulang. Ia juga memberi definisi baru padakata "keluarga". Bahwa keluarga bukan sekadar karena bertalian darah. Tapi teman juga adalah keluarga yang kita pilih.
Jalan Yang Jauh, Jangan Lupa Pulangjuga mengantarkan kita memasuki cerita dari Honey dan Kit, para perantau lain yang ditempa kerasnya hidup. Tapi mereka terus berjalan. Kesalahan tidak untuk ditengok lagi, tapi hanya sebagai peringatan.
3. Berbalas Kejam (Teddy Soeriaatmadja)
Foto:Amazon Original
Reza Rahadian adalah pilihan tepat dari sutradara Teddy Soeriaatmadja. Keduanya sudah bekerja sama 10 tahun lalu dalam film Something in the Waydan karenanya Teddy mengenali betul jangkauan akting yang bisa dimainkan Reza. Skenario memang memberi panggung mahaluas bagi Reza untuk memperlihatkan sisi keaktorannya yang selama ini belum pernah dilihat publik.
Trauma dan dendam menjadi dua bahan utama dari Berbalas Kejamyang diolah dengan baik oleh skenario yang ditulis sendiri oleh Teddy. Kita melihat Adam yang hancur selama dua tahun, perlahan menghancurkan dirinya sendiri pascakematian istri dan anaknya.
Kita juga melihat bagaimana Adam berusaha mengelak bahwa hidupnya sedang tak baik-baik saja. Dan trauma, juga dendam, yang lantas dibalut kemarahan itu perlu bertemu sumbunya untuk meledak.
Reza membuat kita merasakan derita yang dirasakan Adam sepanjang durasi film. Itulah pencapaian tertingginya sebagai seorang aktor. Membuat penonton merasakan apa yang dirasakan oleh karakter yang dimainkannya, membuatnya bersimpati dengan segala tindakan-tindakan salah yang dilakukannya dan membuat penonton tahu betapa sulit ia mengendalikan urgensi untuk membalaskan dendamnya hanya untuk merasakan hidupnya kembali tenang.
Berkat Berbalas Kejam, kelak penonton juga akan menyadari bahwa Baim Wong adalah seorang aktor brilian sebagaimana Reza.
4. Kembang Api (Herwin Novianto)
Foto: Falcon Pictures
Tak ada film Indonesia yang terasa sangat relevan dengan saya tahun ini selain Kembang Apigarapan sutradara Herwin Novianto. Saya mengalami apa yang dialami ketiga tokoh utamanya. Namun menariknya pendekatan sutradara dan skenario adaptasi dari Alim Sudio tak membuat film ini over-sentimental dan over-dramatic dan membuatnya justru lebih terasa mengena di hati.
“Urip iku urup”. Hidup harus menyala. Kalimat pendek dan filosofis berbahasa Jawa kuno ini ditulis di bola kembang api raksasa oleh Fahmi ketika dirinya, Raga, Sukma, dan Anggun justru ingin mematikan cahaya itu. Mereka ingin berpisah dengan hidup untuk selama-lamanya.
Filosofi ini menjadi pengingat sekaligus kutukan bagi keempatnya. Dari awalnya bersemangat menyala untuk mati tapi terus ditaklukkan oleh sebuah keanehan bahwa rencana mereka terus menerus gagal. Hidup seperti tak membiarkan mereka untuk mati. Hidup terasa memberi mereka kesempatan kedua untuk kembali menyala.
Kembang Apiadalah surat penuh cinta untuk para penyintas bunuh diri. Bahwa berani untuk kembali menatap hidup adalah sebuah keberanian. Bahwa berani untuk bangkit kembali adalah sebuah kekuatan. Bahwa nyala api dalam diri kita masih tetap berkobar untuk juga menyalakan api-api kehidupan di sekitar kita.
5. Buya Hamka (Fajar Bustomi)
Foto: Falcon Pictures
Skenario yang disusun Alim Sudio dan Cassandra Massardi memang sengaja dibuat sebagai pemahaman bahwa kita tahu sosok Buya Hamka seperti apa. Pengenalan karakternya tipis-tipis saja. Untungnya memang di tangan Vino yang membawa beban besar di pundaknya, kita bisa mengenal Buya lebih jauh dan lantas dibuat kagum karenanya.
Dalam adegan pembuka yang mengesankan, Vino memberi tahu kita betapa sosok Buya berhati lembut, begitu mencintai istrinya, pekerjaannya, dan bagaimana ia mencoba memperjuangkan pemikiran-pemikirannya. Vino mendapat lawan main sepadan, Laudya Chintya Bella, juga dalam peran terbaiknya, sebagai sang istri Siti Raham. Vino dan Bella menghilang ke dalam tubuh Hamka dan Raham dan kita melihatnya sebagai sepasang suami istri yang tak hanya saling mencintai tapi juga saling mendukung.
Dengan penuturan yang loncat-loncat dan bisa membuat penonton dengan mudah kehilangan arah, terutama untuk mereka yang tak pernah tahu bagaimana sosok Buya Hamka sesungguhnya, kemudi film berada sepenuhnya di tangan dua pemain utama tersebut. Terutama Vino yang menjalankan tanggung jawab berat memainkan peran Buya Hamka dalam rentang waktu yang panjang.
Dari menjadi pemuda dengan keingintahuan besar dan keinginan menjelajah dunia, menjadi suami yang menekuni dunia menulis dengan serius hingga menjadi ulama yang memilih cara tak populer agar penjajah tak perlu menginjak-injak Islam di negerinya sendiri. Buya Hamka adalah sejatinya manusia biasa dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Buya Hamkaadalah sebuah perjalanan heroik dari Falcon Pictures untuk memperkenalkan kembali sosok Buya Hamka ke masyarakat. Kini kita tahu Buya Hamka bukan sekadar penulis dua roman yang difilmkan berkali-kali, ia juga seorang pemikir cemerlang dan pendakwah yang gigih.
Setelah film usai dan kita bisa menyesapi peran demi peran dari Buya Hamka tersebut, kita tahu Vino G Bastian telah menjalankan tugasnya dengan baik dalam perannya yang paling menantang sepanjang kariernya.
6. Onde Mande (Paul Agusta)
Foto:Visinema Pictures
Onde Mandedatang dengan premis menarik. Salah satu warga yang dituakan di desa Sigiran, Angku Wan, menang sayembara berhadiah uang Rp2 miliar. Angku Wan adalah seseorang yang sangat mencintai desanya. Ia bahkan menolak merantau ke Jakarta dan membiarkan istri dan anaknya berangkat sendirian.
Sebelum menang sayembara, Angku Wan sudah punya banyak rencana untuk membangun desanya. Tapi sayang, sebelum rencananya terlaksana dan sebelum menerima hadiah uang itu, Angku Wan dipanggil Yang Maha Kuasa.
Skenario yang ditulis cemerlang oleh Paul bekerja efektif dan membuat Onde Mandetak pernah kehilangan momentum. Sebagai penonton yang bukan orang Minang, saya memahami apa yang ingin disampaikan oleh Paul.
Bahwa keluarga bukan saja soal mereka yang bertalian darah tapi namun juga tentang mereka yang pernah membantu kita di masa-masa sulit, tentang mereka yang selalu ada saat dibutuhkan. Sebagai sesama pembuat film, saya tahu betul bagaimana film ini dibuat dengan hati besar, sebuah persembahan tulus untuk sebuah tempat dari mana kita berasal.
Onde Mandejuga bekerja efektif karena Paul cermat memilih aktor-aktrisnya. Roda film diserahkan pada duet aktor kawakan, Jose Rizal Manua dan Jajang C Noer. Jose yang dibesarkan di teater mungkin terbilang baru dalam film, tapi jelas sekali ia tak gagap berduet dengan Jajang.
Kegugupan Da Am bisa ditampilkannya dengan baik dan justru sering kali kocak yang membuat penonton tertawa. Sementara Jajang pun menjadi teman duet yang baik, tak berusaha bersinar sendirian di sebuah adegan. Kualitas seorang aktris kaliber diperlihatkannya di sini.
Tapi bintang dalam Onde Mandebisa jadi adalah Emir Mahira. Sekilas perannya seperti tak signifikan untuk cerita ini. Emir menjadi Aan, perwakilan dari perusahaan penyelenggara sayembara yang mesti berangkat ke desa Sigiran untuk melakukan verifikasi secara langsung.
Aan menjadi perwakilan dari generasi anak muda yang dibesarkan di ibu kota yang serba terburu-buru dan serba-ada. Ketika ia tiba di desa Sigiran, ada kegagapan yang terjadi. Aan tak siap dengan segala kejutan yang mengiringi sayembara, ia hanya datang untuk menjalankan tugasnya sebagai perwakilan perusahaan dengan baik. Titik. Tak lebih dari itu.
Aan tak punya intensi untuk terlibat dan melibatkan diri secara emosional dengan siapa pun di desa itu. Emir bisa menerjemahkan itu semua dengan cemerlang, tak pernah terlihat berlebihan dan seperti Jajang, tak pernah punya niat untuk mencuri perhatian.
Bisa jadi di Festival Film Indonesia (FFI) pada akhir tahun ini, Emir akan mengawinkan piala Citra yang sudah dimilikinya sebagai Pemeran Utama Pria Terbaik tahun 2011 dengan piala Citra sebagai Pemeran Pembantu Pria Terbaik melalui Onde Mande.
Baca Juga
7. Ganjil Genap (Bene Dion Rajagukguk)
Foto: MD Pictures
Ganjil Genaplangsung menarik perhatian saya dengan opening bertempo cepat, dengan editing yang lincah dan secara efektif memperkenalkan hubungan antara Gala dan Bara yang sudah berpacaran selama delapan tahun. Bagaimana Gala yang secara konsisten selalu bahagia dengan perayaan tahunan mereka dan bagaimana Bara yang dari tahun ke tahun terasa semakin berkurang antusiasmenya dengan perayaan tahunan mereka.
Meski tak membaca novelnya, Ganjil Genapbisa memberi tahu kita dengan cara yang kreatif bahwa ada masalah dalam hubungan antara Gala dan Bara. Spark-nya sudah hilang saat empat tahun hubungan mereka. Padahal keduanya menjalani pacaran hingga delapan tahun. Kita pun simpati kepada Gala yang diputuskan oleh Bara begitu saja.
Formula komedi romantis klasik tentang love-hate relationshiptak ada dalam Ganjil Genap. Namun konsep soal salah paham masih bisa diolah menjadi sesuatu yang menyegarkan dan menyenangkan penonton yang mudah bosan seperti saya.
Dalam episode patah hatinya, Gala bertemu Aiman, cowok charming yang disalahpahaminya. Sekilas Aiman mirip dengan Bara,tapi skenario memberi ruang lebih pada Aiman dan memberinya latar cerita yang menarik.
Ia punya masalah dengan komitmen karena melihat yang pernah terjadi pada ayahnya sendiri. Ia pucat ketika melihat Gala suka dengan anak-anak, ia gemetar ketika tahu Gala sudah ingin sekali menikah.
Aiman yang tumbuh dengan luka-luka masa lalu membuat karakternya menjadi paling menonjol. Terlebih di tangan Oka Antara, Aiman terlihat seperti kesatria tampan berkuda putih yang datang untuk menyelamatkan seorang putri.
Bara pun terus menerus terlihat sebagai pecundang yang justru menjadi faktor lemah dari cerita ini yang membuat kita percaya bahwa Gala memang tak perlu memberi kesempatan sedikit pun pada Bara untuk bisa kembali ke pelukannya.
Mari berharap lima bulan tersisa pada tahun ini semakin banyak film Indonesia berkualitas cemerlang yang bisa kita saksikan di bioskop. Mari juga berharap bahwa film-film berkualitas cemerlang tersebut juga pada akhirnya menampilkan performa cemerlang di box office.
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute, bisa dikontak via Instagram @ichwanpersada
(ita)