SOROT: 7 Film Indonesia Terbaik 2023 Sejauh Ini
loading...
A
A
A
Reza membuat kita merasakan derita yang dirasakan Adam sepanjang durasi film. Itulah pencapaian tertingginya sebagai seorang aktor. Membuat penonton merasakan apa yang dirasakan oleh karakter yang dimainkannya, membuatnya bersimpati dengan segala tindakan-tindakan salah yang dilakukannya dan membuat penonton tahu betapa sulit ia mengendalikan urgensi untuk membalaskan dendamnya hanya untuk merasakan hidupnya kembali tenang.
Berkat Berbalas Kejam, kelak penonton juga akan menyadari bahwa Baim Wong adalah seorang aktor brilian sebagaimana Reza.
Foto: Falcon Pictures
Tak ada film Indonesia yang terasa sangat relevan dengan saya tahun ini selain Kembang Apigarapan sutradara Herwin Novianto. Saya mengalami apa yang dialami ketiga tokoh utamanya. Namun menariknya pendekatan sutradara dan skenario adaptasi dari Alim Sudio tak membuat film ini over-sentimental dan over-dramatic dan membuatnya justru lebih terasa mengena di hati.
“Urip iku urup”. Hidup harus menyala. Kalimat pendek dan filosofis berbahasa Jawa kuno ini ditulis di bola kembang api raksasa oleh Fahmi ketika dirinya, Raga, Sukma, dan Anggun justru ingin mematikan cahaya itu. Mereka ingin berpisah dengan hidup untuk selama-lamanya.
Filosofi ini menjadi pengingat sekaligus kutukan bagi keempatnya. Dari awalnya bersemangat menyala untuk mati tapi terus ditaklukkan oleh sebuah keanehan bahwa rencana mereka terus menerus gagal. Hidup seperti tak membiarkan mereka untuk mati. Hidup terasa memberi mereka kesempatan kedua untuk kembali menyala.
Kembang Apiadalah surat penuh cinta untuk para penyintas bunuh diri. Bahwa berani untuk kembali menatap hidup adalah sebuah keberanian. Bahwa berani untuk bangkit kembali adalah sebuah kekuatan. Bahwa nyala api dalam diri kita masih tetap berkobar untuk juga menyalakan api-api kehidupan di sekitar kita.
Foto: Falcon Pictures
Skenario yang disusun Alim Sudio dan Cassandra Massardi memang sengaja dibuat sebagai pemahaman bahwa kita tahu sosok Buya Hamka seperti apa. Pengenalan karakternya tipis-tipis saja. Untungnya memang di tangan Vino yang membawa beban besar di pundaknya, kita bisa mengenal Buya lebih jauh dan lantas dibuat kagum karenanya.
Dalam adegan pembuka yang mengesankan, Vino memberi tahu kita betapa sosok Buya berhati lembut, begitu mencintai istrinya, pekerjaannya, dan bagaimana ia mencoba memperjuangkan pemikiran-pemikirannya. Vino mendapat lawan main sepadan, Laudya Chintya Bella, juga dalam peran terbaiknya, sebagai sang istri Siti Raham. Vino dan Bella menghilang ke dalam tubuh Hamka dan Raham dan kita melihatnya sebagai sepasang suami istri yang tak hanya saling mencintai tapi juga saling mendukung.
Dengan penuturan yang loncat-loncat dan bisa membuat penonton dengan mudah kehilangan arah, terutama untuk mereka yang tak pernah tahu bagaimana sosok Buya Hamka sesungguhnya, kemudi film berada sepenuhnya di tangan dua pemain utama tersebut. Terutama Vino yang menjalankan tanggung jawab berat memainkan peran Buya Hamka dalam rentang waktu yang panjang.
Dari menjadi pemuda dengan keingintahuan besar dan keinginan menjelajah dunia, menjadi suami yang menekuni dunia menulis dengan serius hingga menjadi ulama yang memilih cara tak populer agar penjajah tak perlu menginjak-injak Islam di negerinya sendiri. Buya Hamka adalah sejatinya manusia biasa dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Buya Hamkaadalah sebuah perjalanan heroik dari Falcon Pictures untuk memperkenalkan kembali sosok Buya Hamka ke masyarakat. Kini kita tahu Buya Hamka bukan sekadar penulis dua roman yang difilmkan berkali-kali, ia juga seorang pemikir cemerlang dan pendakwah yang gigih.
Setelah film usai dan kita bisa menyesapi peran demi peran dari Buya Hamka tersebut, kita tahu Vino G Bastian telah menjalankan tugasnya dengan baik dalam perannya yang paling menantang sepanjang kariernya.
Foto:Visinema Pictures
Onde Mandedatang dengan premis menarik. Salah satu warga yang dituakan di desa Sigiran, Angku Wan, menang sayembara berhadiah uang Rp2 miliar. Angku Wan adalah seseorang yang sangat mencintai desanya. Ia bahkan menolak merantau ke Jakarta dan membiarkan istri dan anaknya berangkat sendirian.
Sebelum menang sayembara, Angku Wan sudah punya banyak rencana untuk membangun desanya. Tapi sayang, sebelum rencananya terlaksana dan sebelum menerima hadiah uang itu, Angku Wan dipanggil Yang Maha Kuasa.
Skenario yang ditulis cemerlang oleh Paul bekerja efektif dan membuat Onde Mandetak pernah kehilangan momentum. Sebagai penonton yang bukan orang Minang, saya memahami apa yang ingin disampaikan oleh Paul.
Bahwa keluarga bukan saja soal mereka yang bertalian darah tapi namun juga tentang mereka yang pernah membantu kita di masa-masa sulit, tentang mereka yang selalu ada saat dibutuhkan. Sebagai sesama pembuat film, saya tahu betul bagaimana film ini dibuat dengan hati besar, sebuah persembahan tulus untuk sebuah tempat dari mana kita berasal.
Onde Mandejuga bekerja efektif karena Paul cermat memilih aktor-aktrisnya. Roda film diserahkan pada duet aktor kawakan, Jose Rizal Manua dan Jajang C Noer. Jose yang dibesarkan di teater mungkin terbilang baru dalam film, tapi jelas sekali ia tak gagap berduet dengan Jajang.
Berkat Berbalas Kejam, kelak penonton juga akan menyadari bahwa Baim Wong adalah seorang aktor brilian sebagaimana Reza.
4. Kembang Api (Herwin Novianto)
Foto: Falcon Pictures
Tak ada film Indonesia yang terasa sangat relevan dengan saya tahun ini selain Kembang Apigarapan sutradara Herwin Novianto. Saya mengalami apa yang dialami ketiga tokoh utamanya. Namun menariknya pendekatan sutradara dan skenario adaptasi dari Alim Sudio tak membuat film ini over-sentimental dan over-dramatic dan membuatnya justru lebih terasa mengena di hati.
“Urip iku urup”. Hidup harus menyala. Kalimat pendek dan filosofis berbahasa Jawa kuno ini ditulis di bola kembang api raksasa oleh Fahmi ketika dirinya, Raga, Sukma, dan Anggun justru ingin mematikan cahaya itu. Mereka ingin berpisah dengan hidup untuk selama-lamanya.
Filosofi ini menjadi pengingat sekaligus kutukan bagi keempatnya. Dari awalnya bersemangat menyala untuk mati tapi terus ditaklukkan oleh sebuah keanehan bahwa rencana mereka terus menerus gagal. Hidup seperti tak membiarkan mereka untuk mati. Hidup terasa memberi mereka kesempatan kedua untuk kembali menyala.
Kembang Apiadalah surat penuh cinta untuk para penyintas bunuh diri. Bahwa berani untuk kembali menatap hidup adalah sebuah keberanian. Bahwa berani untuk bangkit kembali adalah sebuah kekuatan. Bahwa nyala api dalam diri kita masih tetap berkobar untuk juga menyalakan api-api kehidupan di sekitar kita.
5. Buya Hamka (Fajar Bustomi)
Foto: Falcon Pictures
Skenario yang disusun Alim Sudio dan Cassandra Massardi memang sengaja dibuat sebagai pemahaman bahwa kita tahu sosok Buya Hamka seperti apa. Pengenalan karakternya tipis-tipis saja. Untungnya memang di tangan Vino yang membawa beban besar di pundaknya, kita bisa mengenal Buya lebih jauh dan lantas dibuat kagum karenanya.
Dalam adegan pembuka yang mengesankan, Vino memberi tahu kita betapa sosok Buya berhati lembut, begitu mencintai istrinya, pekerjaannya, dan bagaimana ia mencoba memperjuangkan pemikiran-pemikirannya. Vino mendapat lawan main sepadan, Laudya Chintya Bella, juga dalam peran terbaiknya, sebagai sang istri Siti Raham. Vino dan Bella menghilang ke dalam tubuh Hamka dan Raham dan kita melihatnya sebagai sepasang suami istri yang tak hanya saling mencintai tapi juga saling mendukung.
Dengan penuturan yang loncat-loncat dan bisa membuat penonton dengan mudah kehilangan arah, terutama untuk mereka yang tak pernah tahu bagaimana sosok Buya Hamka sesungguhnya, kemudi film berada sepenuhnya di tangan dua pemain utama tersebut. Terutama Vino yang menjalankan tanggung jawab berat memainkan peran Buya Hamka dalam rentang waktu yang panjang.
Dari menjadi pemuda dengan keingintahuan besar dan keinginan menjelajah dunia, menjadi suami yang menekuni dunia menulis dengan serius hingga menjadi ulama yang memilih cara tak populer agar penjajah tak perlu menginjak-injak Islam di negerinya sendiri. Buya Hamka adalah sejatinya manusia biasa dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Buya Hamkaadalah sebuah perjalanan heroik dari Falcon Pictures untuk memperkenalkan kembali sosok Buya Hamka ke masyarakat. Kini kita tahu Buya Hamka bukan sekadar penulis dua roman yang difilmkan berkali-kali, ia juga seorang pemikir cemerlang dan pendakwah yang gigih.
Setelah film usai dan kita bisa menyesapi peran demi peran dari Buya Hamka tersebut, kita tahu Vino G Bastian telah menjalankan tugasnya dengan baik dalam perannya yang paling menantang sepanjang kariernya.
6. Onde Mande (Paul Agusta)
Foto:Visinema Pictures
Onde Mandedatang dengan premis menarik. Salah satu warga yang dituakan di desa Sigiran, Angku Wan, menang sayembara berhadiah uang Rp2 miliar. Angku Wan adalah seseorang yang sangat mencintai desanya. Ia bahkan menolak merantau ke Jakarta dan membiarkan istri dan anaknya berangkat sendirian.
Sebelum menang sayembara, Angku Wan sudah punya banyak rencana untuk membangun desanya. Tapi sayang, sebelum rencananya terlaksana dan sebelum menerima hadiah uang itu, Angku Wan dipanggil Yang Maha Kuasa.
Skenario yang ditulis cemerlang oleh Paul bekerja efektif dan membuat Onde Mandetak pernah kehilangan momentum. Sebagai penonton yang bukan orang Minang, saya memahami apa yang ingin disampaikan oleh Paul.
Bahwa keluarga bukan saja soal mereka yang bertalian darah tapi namun juga tentang mereka yang pernah membantu kita di masa-masa sulit, tentang mereka yang selalu ada saat dibutuhkan. Sebagai sesama pembuat film, saya tahu betul bagaimana film ini dibuat dengan hati besar, sebuah persembahan tulus untuk sebuah tempat dari mana kita berasal.
Onde Mandejuga bekerja efektif karena Paul cermat memilih aktor-aktrisnya. Roda film diserahkan pada duet aktor kawakan, Jose Rizal Manua dan Jajang C Noer. Jose yang dibesarkan di teater mungkin terbilang baru dalam film, tapi jelas sekali ia tak gagap berduet dengan Jajang.