SOROT: Stop Bikin Film Horor Sampah!
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tanggal 5 Oktober 2001 selayaknya selalu dikenang oleh pencinta film horor Tanah Air. Pada tanggal tersebut, Jelangkung yang awalnya diproduksi untuk tayang di televisi dirilis di bioskop. Dan selebihnya adalah sejarah.
Film Jelangkung membuka kotak pandora soal kesukaan masyarakat Indonesia akan tema-tema supranatural. Dari situ meluncur ratusan judul film horor dalam beberapa tahun ke depan, sebagian besar di antaranya memang diposisikan hanya sebagai mesin pengeruk uang, sisanya berusaha membuat film horor sebagai karya artistik yang bisa dipertanggungjawabkan.
Periode 2001 – 2010 sejumlah film horor bermutu lahir dan kini menjadi klasik. Tahun 2004 Ody C Harahap merilis Bangsal 13 sebagai film panjang pertamanya dan memajang Luna Maya dalam peran utama pertamanya.
Dua tahun setelahnya, Rudi Soedjarwo membesut Pocong 2 yang meski berbiaya murah tapi masih bisa dieksekusi dengan baik. Masih pada tahun 2006, Rizal Mantovani melahirkan Kuntilanak yang memajang Julie Estelle dan kelak dilanjutkan 13 tahun kemudian oleh MVP Pictures.
Pada 2009, Monty Tiwa merilis Keramat dengan gaya penyutradaraan khas ala mockumentary. Film ini dianggap sebagai salah satu film horor Indonesia kontemporer terbaik.
Berkat antusiasme masyarakat terhadap film horor yang seperti tak berkurang, maka produser film mulai bersiasat menyodorkan tema baru: perkawinan silang antara horor dan seks. Dari sinilah bermula film horor berkualitas buruk menjajah dan menjelajah bioskop Tanah Air. Pada 2009, produser bahkan merasa perlu mengimpor bintang film dewasa asal Jepang, Rin Sakuragi, untuk bermain dalam Suster Keramas.
Alena Anak Ratu Iblis. Foto: Arjuna Mega Films
Setahun kemudian, bintang film dewasa dari negeri yang sama dan jauh lebih populer di sini, Miyabi, juga menyempatkan membintangi Hantu Tanah Kusir. Masih pada tahun yang sama, produser kembali mengimpor bintang film dewasa, kali ini dari Amerika Serikat bernama Tera Patrick untuk bermain dalam film Rintihan Kuntilanak Perawan.
Masih banyak film horor dengan judul-judul ajaib dan menghadirkan banyak adegan erotis di dalamnya. Misalnya saja Paku Kuntilanak(2009), Dendam Pocong Mupeng (2010) dan Diperkosa Setan (2010).
Gelombang baru film horor Indonesia ditandai oleh meledak hebatnya film KKN di Desa Penari pada 2022 yang mencetak jumlah penonton lebih dari 10 juta orang dan menobatkannya sebagai film Indonesia terlaris sepanjang masa. Dalam daftar 15 film Indonesia terlaris 2022, menariknya delapan judul di antaranya bergenre horor. Sekali lagi membangkitkan kembali tren film horor di bioskop.
Salah satu yang juga menarik dari bangkitnya kembali tren film horor tahun lalu adalah pencapaian dua film horor, Qodrat dari sutradara Charles Gozali dan Inang dari sutradara Fajar Nugros. Keduanya membuat standar baru dalam industri atas pencapaian artistik maupun isi filmnya.
Qodrat dianggap mendefinisikan ulang film horor dengan memberi tempat pada ustaz menjadi tokoh utama dan mendorong filmnya memaksimalkan unsur aksi, sehingga membuat Qodrat terasa menyegarkan. Sementara Inang yang mencampurkan horor dan thriller dianggap berhasil karena menyajikan komentar sosial secara menarik dalam sebuah film.
Hantu Tanah Kusir. Foto: Maxima Pictures
Sayangnya memang pencapaian kedua film di atas tak diikuti kebanyakan film horor lainnya yang rilis pada tahun ini. Setelahnya bermunculan puluhan judul film horor dengan kualitas buruk, bahkan sebagian di antaranya sesungguhnya tak layak tayang di bioskop.
Akun Twitter @kripikfilm memberi komentar atas film Alena Anak Ratu Iblis sebagai berikut: “Bagaikan mimpi buruk berlapis-lapis yang berisikan gado-gado adegan dan dialog-dialog rubbish, lalu terbungkus visual efek yang terlihat tak murahan, terutama CGI bagian opening sekaligus juga ending-nya yang TOP ABIEZ!!”
Dari Letterboxd yang berisi ulasan film dari seluruh dunia, meluncur komentar atas film Iblis dalam Darah dari akun ridhofkr: “film buatan mahasiswa masih lebih bagus dari film ini.”Sementara kanal YouTube Cine Crib yang cukup sering melontarkan kritik pedas untuk film berkualitas buruk memberi penilaian untuk Tulah 6/13 sebagai berikut: “Ingin tampil beda tapi cara menceritakannya ajaib banget. Tidak tahu cara menceritakannya dan malas menceritakannya. Yang penting ada setannya dan yang penting ada plot twist”.
Sebagai sesama pembuat film cukup membuat waswas melihat kualitas film horor yang beredar di bioskop belakangan ini. Dan pada akhirnya membuat genre horor kembali dicap buruk oleh masyarakat.
Padahal sesungguhnya genre tak pernah salah, yang patut disalahkan adalah pembuat filmnya yang tak bertanggung jawab untuk membuat film berkualitas baik. Padahal tahun ini sudah ada dua film horor berkualitas baik yang bahkan menjadi film terlaris nomor 1 dan 2 masing-masing Sewu Dino dari sutradara Kimo Stamboel dan Waktu Maghrib dari sutradara Sidharta Tata. Artinya masyarakat sesungguhnya mengapresiasi film berkualitas baik yang menjadikan kedua film tersebut beroleh jutaan penonton.
Iblis dalam Darah. Foto:Helroad Films
Yang selalu menjadi masalah di tengah tren adalah bermunculannya pedagang film berkedok produser film. Mereka yang sekadar menunggangi tren semata untuk kepentingan komersial, memproduksi film berkualitas buruk tanpa memikirkan keberlangsungan dan kepercayaan masyarakat terhadap film lokal.
Mereka yang memproduksi film berbiaya murah hanya untuk mengeruk puluhan hingga ratusan ribu penonton agar bisa balik modal. Akhirnya seperti lingkaran setan, produksi film horor sampah pun seakan tak berhenti karena ternyata masih ada saja penonton yang menyaksikannya di bioskop.
Tahun lalu film Indonesia sudah berhasil menjadi tuan rumah di bioskop dalam negeri dengan pencapaian 54 juta lembar tiket atau setara dengan total 61% dari keseluruhan tiket yang terjual. Dengan pencapaian sedemikian semestinya pembuat film melihat tanggung jawab besar untuk terus menyajikan karya-karya bermutu yang memang layak tayang di bioskop.
Jika kita memang pembuat film yang peduli dengan keberlangsungan film Indonesia di bioskop dalam jangka panjang, sudah saatnya untuk menyajikan karya-karya bermutu yang bisa dipertanggungjawabkan secara artistik. Dua film Indonesia terlaris tahun ini sudah membuktikan bahwa film horor bermutu justru bisa ditonton jutaan orang, tak sekadar dinikmati puluhan hingga ratusan ribu penonton saja.
Jika kita memang penonton film yang peduli dengan keberlangsungan film Indonesia di bioskop dalam jangka panjang, sudah saatnya untuk berhenti menonton film horor sampah. Waktu, energi, dan uang kita lebih layak untuk film Indonesia berkualitas baik.
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute, bisa dikontak via Instagram @ichwanpersada
Film Jelangkung membuka kotak pandora soal kesukaan masyarakat Indonesia akan tema-tema supranatural. Dari situ meluncur ratusan judul film horor dalam beberapa tahun ke depan, sebagian besar di antaranya memang diposisikan hanya sebagai mesin pengeruk uang, sisanya berusaha membuat film horor sebagai karya artistik yang bisa dipertanggungjawabkan.
Periode 2001 – 2010 sejumlah film horor bermutu lahir dan kini menjadi klasik. Tahun 2004 Ody C Harahap merilis Bangsal 13 sebagai film panjang pertamanya dan memajang Luna Maya dalam peran utama pertamanya.
Dua tahun setelahnya, Rudi Soedjarwo membesut Pocong 2 yang meski berbiaya murah tapi masih bisa dieksekusi dengan baik. Masih pada tahun 2006, Rizal Mantovani melahirkan Kuntilanak yang memajang Julie Estelle dan kelak dilanjutkan 13 tahun kemudian oleh MVP Pictures.
Pada 2009, Monty Tiwa merilis Keramat dengan gaya penyutradaraan khas ala mockumentary. Film ini dianggap sebagai salah satu film horor Indonesia kontemporer terbaik.
Berkat antusiasme masyarakat terhadap film horor yang seperti tak berkurang, maka produser film mulai bersiasat menyodorkan tema baru: perkawinan silang antara horor dan seks. Dari sinilah bermula film horor berkualitas buruk menjajah dan menjelajah bioskop Tanah Air. Pada 2009, produser bahkan merasa perlu mengimpor bintang film dewasa asal Jepang, Rin Sakuragi, untuk bermain dalam Suster Keramas.
Alena Anak Ratu Iblis. Foto: Arjuna Mega Films
Setahun kemudian, bintang film dewasa dari negeri yang sama dan jauh lebih populer di sini, Miyabi, juga menyempatkan membintangi Hantu Tanah Kusir. Masih pada tahun yang sama, produser kembali mengimpor bintang film dewasa, kali ini dari Amerika Serikat bernama Tera Patrick untuk bermain dalam film Rintihan Kuntilanak Perawan.
Masih banyak film horor dengan judul-judul ajaib dan menghadirkan banyak adegan erotis di dalamnya. Misalnya saja Paku Kuntilanak(2009), Dendam Pocong Mupeng (2010) dan Diperkosa Setan (2010).
Gelombang baru film horor Indonesia ditandai oleh meledak hebatnya film KKN di Desa Penari pada 2022 yang mencetak jumlah penonton lebih dari 10 juta orang dan menobatkannya sebagai film Indonesia terlaris sepanjang masa. Dalam daftar 15 film Indonesia terlaris 2022, menariknya delapan judul di antaranya bergenre horor. Sekali lagi membangkitkan kembali tren film horor di bioskop.
Salah satu yang juga menarik dari bangkitnya kembali tren film horor tahun lalu adalah pencapaian dua film horor, Qodrat dari sutradara Charles Gozali dan Inang dari sutradara Fajar Nugros. Keduanya membuat standar baru dalam industri atas pencapaian artistik maupun isi filmnya.
Qodrat dianggap mendefinisikan ulang film horor dengan memberi tempat pada ustaz menjadi tokoh utama dan mendorong filmnya memaksimalkan unsur aksi, sehingga membuat Qodrat terasa menyegarkan. Sementara Inang yang mencampurkan horor dan thriller dianggap berhasil karena menyajikan komentar sosial secara menarik dalam sebuah film.
Hantu Tanah Kusir. Foto: Maxima Pictures
Sayangnya memang pencapaian kedua film di atas tak diikuti kebanyakan film horor lainnya yang rilis pada tahun ini. Setelahnya bermunculan puluhan judul film horor dengan kualitas buruk, bahkan sebagian di antaranya sesungguhnya tak layak tayang di bioskop.
Akun Twitter @kripikfilm memberi komentar atas film Alena Anak Ratu Iblis sebagai berikut: “Bagaikan mimpi buruk berlapis-lapis yang berisikan gado-gado adegan dan dialog-dialog rubbish, lalu terbungkus visual efek yang terlihat tak murahan, terutama CGI bagian opening sekaligus juga ending-nya yang TOP ABIEZ!!”
Dari Letterboxd yang berisi ulasan film dari seluruh dunia, meluncur komentar atas film Iblis dalam Darah dari akun ridhofkr: “film buatan mahasiswa masih lebih bagus dari film ini.”Sementara kanal YouTube Cine Crib yang cukup sering melontarkan kritik pedas untuk film berkualitas buruk memberi penilaian untuk Tulah 6/13 sebagai berikut: “Ingin tampil beda tapi cara menceritakannya ajaib banget. Tidak tahu cara menceritakannya dan malas menceritakannya. Yang penting ada setannya dan yang penting ada plot twist”.
Sebagai sesama pembuat film cukup membuat waswas melihat kualitas film horor yang beredar di bioskop belakangan ini. Dan pada akhirnya membuat genre horor kembali dicap buruk oleh masyarakat.
Padahal sesungguhnya genre tak pernah salah, yang patut disalahkan adalah pembuat filmnya yang tak bertanggung jawab untuk membuat film berkualitas baik. Padahal tahun ini sudah ada dua film horor berkualitas baik yang bahkan menjadi film terlaris nomor 1 dan 2 masing-masing Sewu Dino dari sutradara Kimo Stamboel dan Waktu Maghrib dari sutradara Sidharta Tata. Artinya masyarakat sesungguhnya mengapresiasi film berkualitas baik yang menjadikan kedua film tersebut beroleh jutaan penonton.
Iblis dalam Darah. Foto:Helroad Films
Yang selalu menjadi masalah di tengah tren adalah bermunculannya pedagang film berkedok produser film. Mereka yang sekadar menunggangi tren semata untuk kepentingan komersial, memproduksi film berkualitas buruk tanpa memikirkan keberlangsungan dan kepercayaan masyarakat terhadap film lokal.
Mereka yang memproduksi film berbiaya murah hanya untuk mengeruk puluhan hingga ratusan ribu penonton agar bisa balik modal. Akhirnya seperti lingkaran setan, produksi film horor sampah pun seakan tak berhenti karena ternyata masih ada saja penonton yang menyaksikannya di bioskop.
Tahun lalu film Indonesia sudah berhasil menjadi tuan rumah di bioskop dalam negeri dengan pencapaian 54 juta lembar tiket atau setara dengan total 61% dari keseluruhan tiket yang terjual. Dengan pencapaian sedemikian semestinya pembuat film melihat tanggung jawab besar untuk terus menyajikan karya-karya bermutu yang memang layak tayang di bioskop.
Jika kita memang pembuat film yang peduli dengan keberlangsungan film Indonesia di bioskop dalam jangka panjang, sudah saatnya untuk menyajikan karya-karya bermutu yang bisa dipertanggungjawabkan secara artistik. Dua film Indonesia terlaris tahun ini sudah membuktikan bahwa film horor bermutu justru bisa ditonton jutaan orang, tak sekadar dinikmati puluhan hingga ratusan ribu penonton saja.
Jika kita memang penonton film yang peduli dengan keberlangsungan film Indonesia di bioskop dalam jangka panjang, sudah saatnya untuk berhenti menonton film horor sampah. Waktu, energi, dan uang kita lebih layak untuk film Indonesia berkualitas baik.
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute, bisa dikontak via Instagram @ichwanpersada
(ita)