SOROT: Film Berlatar Daerah Juga Bisa Laris, Kok

Sabtu, 03 Juni 2023 - 07:47 WIB
loading...
SOROT: Film Berlatar Daerah Juga Bisa Laris, Kok
Film Ngeri-Ngeri Sedap yang banyak memakai bahasa Batak berhasil menjual hampir tiga juta tiket bioskop.Foto/Imajinari Visionari Film Fund
A A A
JAKARTA - Hampir tujuh tahun silam, sejarah terukir dalam industri film Indonesia. Film Uang Panaiyang secara keseluruhan menggunakan pemain dan kru asli Makassar sanggup melawan dominasi film nasional.

Dirilis terbatas sejak 25 Agustus 2016, tak disangka film tersebut mendapatkan perhatian besar dan kelak menjadi film daerah terlaris hingga saat ini dengan perolehan penonton lebih dari 600 ribu orang.

Saya menyaksikan Uang Panaidi salah satu bioskop di Makassar ketika sedang mempersiapkan produksi film SILARIANG: Cinta Yang (Tak) Direstuiyang juga berlatar Bugis Makassar. Saya tak ingin membicarakan soal kualitas filmnya, tapi lebih tertarik pada bagaimana penonton merespons film tersebut, menganggapnya relevan dengannya, mempromosikannya ke sesama teman lainnya dan tahu-tahu hanya dalam waktu seminggu, Uang Panaisudah ditonton lebih dari 200 ribu orang.



Makassar sejak dulu memang menjadi salah satu parameter sukses film nasional. Saya mengawali karier sebagai promotor film pada awal tahun 2000-an dan membawa lebih dari 20 film nasional untuk dipromosikan dan diputar perdana di Makassar. Antusiasmenya memang selalu besar. Saya ingat betul ketika kami mempromosikan film Jakarta Undercover pada2006.

SOROT: Film Berlatar Daerah Juga Bisa Laris, Kok

SILARIANG: Cinta Yang (Tak) Direstui. Foto:Indonesia Sinema Persada

Ketika kami baru tiba di hotel di Makassar untuk check-in bersama Moammar Emka, Lukman Sardi, dan Fachri Albar, seorang pengunjung hotel yang melihat kami langsung berseru bahwa tiket pemutaran perdana Jakarta Undercoverdi Panakkukang 21 langsung ludes tak sampai sejam setelah loket dibuka. Makassar memang menjadi salah satu kota istimewa tempat kami bisa memutar film yang menampilkan Luna Maya sebagai penari seksi itu secara perdana dalam pertunjukan khusus tengah malam (midnight show).

Jadi ketika pada akhirnya film lokal direspons sangat meriah oleh publiknya sendiri, saya sama sekali tak heran. Setelah era Bombeyang menjebol jaringan bioskop besar pada 2014, saya tahu akan tiba waktunya film Makassar menjadi tuan rumah di daerahnya sendiri.

SILARIANG: Cinta Yang (Tak) Direstui” diproduksi dengan metode berbeda dari Uang Panai. Kami membawa sutradara, penulis skenario, produser hingga kru kunci bersama tiga pemain dari Jakarta untuk lantas berkolaborasi dengan pemain dan kru dari Makassar. Ada niat baik dari penerapan sistem kolaborasi ini yaitu agar terjadi transfer ilmu dalam praktik terutama kepada kru Makassar yang hampir seluruhnya belum pernah terlibat dalam produksi film nasional sehingga standardisasi metode produksi industri bisa dicapai.

Hasilnya meski tak selaris Uang Panai, SILARIANG: Cinta Yang (Tak) Direstui” dipujikan atas kualitas artistik dari keseluruhan filmnya. Yang tak kalah penting adalah memunculkan bintang-bintang baru dari Makassar yang kelak berkecimpung dalam beberapa judul film nasional.

Pada tahun rilis yang sama dengan SILARIANG: Cinta Yang (Tak) Direstui,muncul film Yo Wis Bendari duo sutradara Bayu Skak dan Fajar Nugros. Sebuah film yang secara keseluruhan berlokasi di Malang dan menggunakan bahasa Jawa Timuran khas Malang. Namun berbeda dari Uang Panaimaupun SILARIANG: Cinta Yang (Tak) Direstui, Yo Wis Bensesungguhnya adalah produksi film nasional yang diproduksi rumah produksi besar, Starvision Plus.

Begitupun dari penuturan Bayu di berbagai media, tak mudah bagi rumah produksi besar untuk menerima ide memproduksi film yang secara keseluruhan menggunakan bahasa lokal setempat. Namun pertaruhan Bayu dan Starvision berbuah manis, Yo Wis Benlaris ditonton hingga lebih dari 900 ribu orang. Yo Wis Benpun beranak pinak hingga melahirkan tiga judul lagi.

SOROT: Film Berlatar Daerah Juga Bisa Laris, Kok

Yo Wis Ben. Foto: Starvision Plus

Metode produksi yang sama dengan Yo Wis Benkembali diuji coba oleh film Ngeri-Ngeri Sedap. Setelah dipersiapkan selama delapan tahun dan ditolak banyak rumah produksi yang menilainya "terlalu segmented”, film yang berlatar Batak nan kental tersebut akhirnya diproduksi rumah produksi baru, Imajinari.

Dengan menyajikan persoalan yang relevan di semua golongan/suku dan digarap dengan serius, Ngeri-Ngeri Sedapmenjelma sebagai film keluarga yang menghangatkan hati penonton. Tanpa memasang bintang superpopuler dengan pengikut berjuta-juta, toh ternyata Ngeri-Ngeri Sedapbisa mendulang 2.886.121 penonton.

Seperti fenomena Uang Panai, tak satu pun dari kita yang menyangka bahwa film yang dianggap terlalu segmented itu justru bisa memenangkan hati jutaan penonton bioskop di seluruh Indonesia.

Mengapa film berlatar daerah seperti Uang Panai, Yo Wis Ben, dan Ngeri-Ngeri Sedap bisa diterima gegap gempita oleh publik? Bisa jadi karena penonton pun mulai bosan dengan cerita-cerita yang berkutat di seputaran Jakarta.

Dengan referensi tontonan yang semakin berlimpah, preferensi penonton bioskop pun rasanya semakin membaik. Indonesia yang begitu kaya dengan suku, adat, hingga tempat wisata dan kuliner punya berjuta cerita yang pantas untuk dikisahkan melalui film. Begitu banyak hal yang bisa dieksplorasi dari keragaman yang akan melahirkan cerita-cerita yang segar dan menarik dan relevan dengan masyarakat.

SOROT: Film Berlatar Daerah Juga Bisa Laris, Kok

Uang Panai. Foto:Finisia Production

Dalam waktu dekat, rumah produksi Visinema Pictures akan merilis film berlatar Minang yang kental. Berjudul Onde Mande!yang berkisah tentang kemenangan sayembara berhadiah dua miliar dari tetua desa Sagiran yang kelak menimbulkan konflik berlarut-larut.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2199 seconds (0.1#10.140)