10 Adaptasi Live-Action Anime Paling Jelek Sepanjang Masa
Minggu, 31 Juli 2022 - 07:17 WIB
Para kreatornya memangkas asal usul Goku. Mereka juga tidak memasukkan busur bagaimana dia mendapatkan kemampuannya dan menjadi seorang Saiyan. Selain itu, franchise Dragon Ball sudah ada sebelum Big Three. Ini lebih lanjut meningkatkan kemarahan atas film itu.
Foto: Amino Apps
Serial klasik modern ini menghadapi tema rumit seperti perang, politik dan moral. Menjustifikasi sebuah anime dengan ide luas seperti itu adalah tugas yang sulit meng-casting aktor Jepang untuk film tentang Jerman adalah masalah adaptasi film live-action Attack on Titan.
Film live-action ini meremehkan sifat rumit karakternya. Film ini menggambarkan mereka sebagai remaja dangkal dan egois. Sementara CGI-nya lumayan bagus, penggemar merasa film ini agak terlalu bergantung pada efek khusus, terutama untuk Titan-nya, yang tidak terlihat menakutkan seperti di anime.
Foto: ComicBook.com
Adaptasi live action ini ke mana-mana. Ber-setting pada 2000-an, alih-alih abad 20, film ini mengacaukan sejumlah poin plot utama dan deskripsi karakternya. Ciel Phantomhive menjadi Ciel Genpo, seorang cewek muda, bukan cowok muda. Iblis karismatik Sebastian menjadi orang bodoh yang tidak sepadang dengan garamnya.
Di film ini, Sebastian juga mengabaikan kesepakatan Faustian yang dibuat Ciel dengannya. Alih-alih melahap jiwa Ciel, Sebastian malah jatuh cinta padanya. Sekuat apa pun ikatan Ciel dan Sebastian di anime, perubahan di adaptasi live-action ini sama sekali tidak bisa diterima.
Foto: Moria Reviews
Anime ini dikenal sebagai serial body horror-thriller-sci-fi. Sayang, film live-action-nya punya CGI terburuk. Selain dari efek khusus yang dipertanyakan, film ini gagal menangkap inti sesungguhnya serial ini. Karakternya, dalam desain dan kepribadian, berbeda dari materi sumbernya.
Pertarungan antara manusia dan alien-nya sangat mengecewakan. Rangkaian action koreografinya yang jelak dan respons tidak terdengar dari pihak yang terlibat pertarungan sangat mengecewakan penggemar. Meski film ini bukanlah yang terjelek dari yang terjelek, film live-action ini jeblok.
Foto: ComicBook.com
Seperti sebagian adaptasi live-action anime, film live-action ini juga jeblok. Sejumlah anime tampil lebih baik sebagai serial anime dan kreator seharusnya, dengan cara apa pun, menghindari mengadaptasi mereka ke film atau anime live-action. Serial ini adalah salah satu dari banyak anime yang seharusnya tidak diadaptasi sebagai live-action.
Film ini berusaha memenuhi 20 episode dalam 105 menit. Ini membuat film ini jadi punya penceritaan yang terburu-buru, karakter yang tidak berkembang dan dangkal. Di bagian aktor, film ini juga terlalu banyak kompensasi.
Foto: Inverse
Film live-action di Netflix ini adalah kekecewaan bagi semua penggemar serial ini secara global. Satu-satunya yang bagus dari film ini adalah casting Willem Dafoe seabgai Ryuk. Sisanya, jeblok. Kreatornya bahkan mengubah lokasinya dari kawasan Kanto di Jepang ke Seattle, Washington.
6. Attack on Titan
Foto: Amino Apps
Serial klasik modern ini menghadapi tema rumit seperti perang, politik dan moral. Menjustifikasi sebuah anime dengan ide luas seperti itu adalah tugas yang sulit meng-casting aktor Jepang untuk film tentang Jerman adalah masalah adaptasi film live-action Attack on Titan.
Film live-action ini meremehkan sifat rumit karakternya. Film ini menggambarkan mereka sebagai remaja dangkal dan egois. Sementara CGI-nya lumayan bagus, penggemar merasa film ini agak terlalu bergantung pada efek khusus, terutama untuk Titan-nya, yang tidak terlihat menakutkan seperti di anime.
5. Black Butler
Foto: ComicBook.com
Adaptasi live action ini ke mana-mana. Ber-setting pada 2000-an, alih-alih abad 20, film ini mengacaukan sejumlah poin plot utama dan deskripsi karakternya. Ciel Phantomhive menjadi Ciel Genpo, seorang cewek muda, bukan cowok muda. Iblis karismatik Sebastian menjadi orang bodoh yang tidak sepadang dengan garamnya.
Di film ini, Sebastian juga mengabaikan kesepakatan Faustian yang dibuat Ciel dengannya. Alih-alih melahap jiwa Ciel, Sebastian malah jatuh cinta padanya. Sekuat apa pun ikatan Ciel dan Sebastian di anime, perubahan di adaptasi live-action ini sama sekali tidak bisa diterima.
4. Parasyte
Foto: Moria Reviews
Anime ini dikenal sebagai serial body horror-thriller-sci-fi. Sayang, film live-action-nya punya CGI terburuk. Selain dari efek khusus yang dipertanyakan, film ini gagal menangkap inti sesungguhnya serial ini. Karakternya, dalam desain dan kepribadian, berbeda dari materi sumbernya.
Pertarungan antara manusia dan alien-nya sangat mengecewakan. Rangkaian action koreografinya yang jelak dan respons tidak terdengar dari pihak yang terlibat pertarungan sangat mengecewakan penggemar. Meski film ini bukanlah yang terjelek dari yang terjelek, film live-action ini jeblok.
3. Ouran High School Host Club
Foto: ComicBook.com
Seperti sebagian adaptasi live-action anime, film live-action ini juga jeblok. Sejumlah anime tampil lebih baik sebagai serial anime dan kreator seharusnya, dengan cara apa pun, menghindari mengadaptasi mereka ke film atau anime live-action. Serial ini adalah salah satu dari banyak anime yang seharusnya tidak diadaptasi sebagai live-action.
Film ini berusaha memenuhi 20 episode dalam 105 menit. Ini membuat film ini jadi punya penceritaan yang terburu-buru, karakter yang tidak berkembang dan dangkal. Di bagian aktor, film ini juga terlalu banyak kompensasi.
2. Death Note
Foto: Inverse
Film live-action di Netflix ini adalah kekecewaan bagi semua penggemar serial ini secara global. Satu-satunya yang bagus dari film ini adalah casting Willem Dafoe seabgai Ryuk. Sisanya, jeblok. Kreatornya bahkan mengubah lokasinya dari kawasan Kanto di Jepang ke Seattle, Washington.
tulis komentar anda