CERMIN: Bertemu Mustakim, Mengingat Ajo Kawir
Sabtu, 02 Juli 2022 - 07:55 WIB
JAKARTA - Tahun 2007. Saya membantu menyiapkan tiga proyek film digital bersama Angga Sasongko dan diberi misi untuk bertemu dengan penulis skenario Musfar Yasin.
Saya kemudian bertemu Bang Musfar, demikian saya memanggilnya, di Senayan City. Dengan dandanan yang sangat sederhana untuk penulis skenario sekaliber dirinya, tahulah saya betapa laki-laki ini adalah sosok yang tak neko-neko. Sebuah skenario diberikan kepada saya, judulnya Tanpa Efek Sampingdan saya terperangah.
Sejak itu saya menjadi penggemar beliau. Saya menyaksikan film Madu Murnidengan alasan jelas: ingin melihat apalagi yang akan dibahas oleh Bang Musfar dalam karya terbarunya. Ciri khas beliau yang selalu tercermin dalam karya-karyanya adalah kritik sosial yang tajam, sesekali satir, tapi menghindar dari keinginan untuk menceramahi penonton. Itu yang membuat saya dan juga banyak dari kita memuja tulisan dari peraih tiga Piala Citra itu.
Madu Murniadalah skenario dengan level berbeda dari Musfar. Jika biasanya ia mengobrolkan kritik sosial dalam lingkup yang lebih luas, kini ia berbicara dalam lingkup paling kecil: rumah tangga. Kita akan bertemu dengan Mustakim, mantan guru ngaji dengan wajah ganteng, bertubuh tinggi besar dengan rambut ala punk dan berprofesi sebagai penagih utang.
Foto: Starvision Plus
Dari awal, profesi masa lalu dan masa kini Mustakim sengaja dibenturkan Musfar. Profesi masa kini yang dijalaninya juga dibenturkan dengan prinsip yang dimiliki istrinya, Murni.
Murni adalah sosok perempuan langka yang sudah sulit ditemui dalam situasi dunia yang semakin materialistis, yaittu ketika media lebih menyukai mengangkat cerita tentang figur publik yang memamerkan kekayaannya, dibanding ilmuwan yang bekerja diam-diam di luar negeri menemukan solusi untuk sebuah masalah sistemik.
Juga ketika media sosial kita lebih banyak berisi pameran kemewahan dan narsisisme dalam tingkat yang mengkhawatirkan dibanding berbagi informasi yang lebih bermanfaat bagi sesama. Meski mengabdi sepenuh hati pada suaminya, Murni adalah sosok perempuan mandiri.
Baca Juga: CERMIN: Barry adalah Kita
Murni mengelola warung kecil di rumahnya yang membuatnya tak bergantung soal uang belanja dari suaminya. Ia berkeras hati tak ingin mencicipi uang yang diperoleh Mustakim dari menagih utang dan (mungkin) dengan mengintimidasi orang lain.
Musfar langsung bicara soal harga diri laki-laki, sesuatu yang sebenarnya tak bermasalah sama sekali bagi Murni. Ya, ia memang tak ingin menerima nafkah dari suaminya, tapi tak lantas membuatnya menjadi istri yang durhaka.
Foto: Starvision Plus
Segala kebutuhan suami tetap dipenuhinya dengan baik. Namun Mustakim yang tergores tak terima dan mengambil keputusan drastis: mencari cinta lain yang mungkin bisa menghargai dirinya sebagai laki-laki.
Tapi soal harga diri memang tak pernah sesederhana itu. Mustakim akhirnya menikah lagi dengan Yati dan membuat Murni hancur berantakan. Harga diri itu tetap tak bisa digenggam oleh Mustakim karena masalah baru: Badrun yang tak bisa “berdiri”.
Mustakim memberi kelaminnya nama, “Badrun”. Kita tahu sejak awal, alat kelamin itu akan menjadi masalah baru. Sebuah studi mengungkapkan laki-laki yang memberi nama alat kelaminnya kemungkinan terindikasi memang memiliki masalah seputar seksualitas. Badrun menjadi awal dari tornado yang akan menggulung kehidupan Mustakim, meski efeknya mungkin tak semerusak yang dialami Ajo Kawir.
Ajo Kawir dalam novel Eka Kurniawan, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, juga mengalami masalah yang sama dengan Mustakim. Dan membuatnya menjadi tornado tak cuma dalam hidupnya sendiri, tapi juga bagi lingkungan sekitarnya.
Saya kemudian bertemu Bang Musfar, demikian saya memanggilnya, di Senayan City. Dengan dandanan yang sangat sederhana untuk penulis skenario sekaliber dirinya, tahulah saya betapa laki-laki ini adalah sosok yang tak neko-neko. Sebuah skenario diberikan kepada saya, judulnya Tanpa Efek Sampingdan saya terperangah.
Sejak itu saya menjadi penggemar beliau. Saya menyaksikan film Madu Murnidengan alasan jelas: ingin melihat apalagi yang akan dibahas oleh Bang Musfar dalam karya terbarunya. Ciri khas beliau yang selalu tercermin dalam karya-karyanya adalah kritik sosial yang tajam, sesekali satir, tapi menghindar dari keinginan untuk menceramahi penonton. Itu yang membuat saya dan juga banyak dari kita memuja tulisan dari peraih tiga Piala Citra itu.
Madu Murniadalah skenario dengan level berbeda dari Musfar. Jika biasanya ia mengobrolkan kritik sosial dalam lingkup yang lebih luas, kini ia berbicara dalam lingkup paling kecil: rumah tangga. Kita akan bertemu dengan Mustakim, mantan guru ngaji dengan wajah ganteng, bertubuh tinggi besar dengan rambut ala punk dan berprofesi sebagai penagih utang.
Foto: Starvision Plus
Dari awal, profesi masa lalu dan masa kini Mustakim sengaja dibenturkan Musfar. Profesi masa kini yang dijalaninya juga dibenturkan dengan prinsip yang dimiliki istrinya, Murni.
Murni adalah sosok perempuan langka yang sudah sulit ditemui dalam situasi dunia yang semakin materialistis, yaittu ketika media lebih menyukai mengangkat cerita tentang figur publik yang memamerkan kekayaannya, dibanding ilmuwan yang bekerja diam-diam di luar negeri menemukan solusi untuk sebuah masalah sistemik.
Juga ketika media sosial kita lebih banyak berisi pameran kemewahan dan narsisisme dalam tingkat yang mengkhawatirkan dibanding berbagi informasi yang lebih bermanfaat bagi sesama. Meski mengabdi sepenuh hati pada suaminya, Murni adalah sosok perempuan mandiri.
Baca Juga: CERMIN: Barry adalah Kita
Murni mengelola warung kecil di rumahnya yang membuatnya tak bergantung soal uang belanja dari suaminya. Ia berkeras hati tak ingin mencicipi uang yang diperoleh Mustakim dari menagih utang dan (mungkin) dengan mengintimidasi orang lain.
Musfar langsung bicara soal harga diri laki-laki, sesuatu yang sebenarnya tak bermasalah sama sekali bagi Murni. Ya, ia memang tak ingin menerima nafkah dari suaminya, tapi tak lantas membuatnya menjadi istri yang durhaka.
Foto: Starvision Plus
Segala kebutuhan suami tetap dipenuhinya dengan baik. Namun Mustakim yang tergores tak terima dan mengambil keputusan drastis: mencari cinta lain yang mungkin bisa menghargai dirinya sebagai laki-laki.
Tapi soal harga diri memang tak pernah sesederhana itu. Mustakim akhirnya menikah lagi dengan Yati dan membuat Murni hancur berantakan. Harga diri itu tetap tak bisa digenggam oleh Mustakim karena masalah baru: Badrun yang tak bisa “berdiri”.
Mustakim memberi kelaminnya nama, “Badrun”. Kita tahu sejak awal, alat kelamin itu akan menjadi masalah baru. Sebuah studi mengungkapkan laki-laki yang memberi nama alat kelaminnya kemungkinan terindikasi memang memiliki masalah seputar seksualitas. Badrun menjadi awal dari tornado yang akan menggulung kehidupan Mustakim, meski efeknya mungkin tak semerusak yang dialami Ajo Kawir.
Ajo Kawir dalam novel Eka Kurniawan, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, juga mengalami masalah yang sama dengan Mustakim. Dan membuatnya menjadi tornado tak cuma dalam hidupnya sendiri, tapi juga bagi lingkungan sekitarnya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda