Film Beyond The Lake Trunyan, Kapal yang Berlayar ke Negeri Kematian
Jum'at, 14 Januari 2022 - 15:27 WIB
JAKARTA - Pernahkah teman-teman secara sengaja mengambil waktu untuk membicarakan mengenai kematian dengan orang-orang terdekat yang dikasihi?
Apa yang akan mereka lakukan seandainya kita lebih dulu berpulang? Bagaimana prosesi kematian itu akan diurus? Ke mana nantinya roh kita akan pergi?
Topik itulah yang tengah dibicarakan oleh Yoga dan bapaknya saat mendayung perahu berdua menuju ke Trunyan, kampung halaman sang bapak. Seperti sudah diketahui oleh dunia internasional, desa yang terletak di kabupaten Bangli ini terkenal dengan prosesi kematian yang berbeda dengan di wilayah Bali lainnya.
Mengingat ibunya bukan orang Trunyan, Yoga pun lantas bertanya-tanya, adat manakah yang akan digunakan untuknya kelak seandainya ia berpulang. Dialog berbahasa daerah yang digunakan oleh keduanya saat berbincang membuat Beyond The Lake Trunyan yang tayang di GoPlay dan berdurasi hampir 15 menit ini terkesan lebih natural.
Foto: GoPlay
Bagi sebagian orang, pembicaraan mengenai kematian bisa membuat buku kuduk berdiri. Di sisi lain, ada pula yang beranggapan kalau topik percakapan ini adalah sesuatu yang tabu dan tidak patut dilakukan karena bisa mengundang terjadinya hal-hal buruk. Namun, tentunya tak seorang pun bisa memungkiri bahwa pada saatnya nanti kita semua pasti akan kembali menghadap Sang Pencipta.
Baca Juga: Film Pendek The Fiction Master: Jangan Asal Comot Kesempatan!
Pemilihan desa Trunyan sebagai latar film ini rasanya benar-benar pas. Posisinya yang terletak di seberang Danau Batur menjadi representasi yang tepat dan apik mengenai keberadaan Negeri di Seberang Lautan Kematian tersebut. Adegan Yoga mendayung perahu menuju ke Trunyan pun merupakan metafora yang menarik untuk menggambarkan manusia yang tengah menuju ke alam sana.
Film ini juga sekaligus mengungkap keistimewaan tata cara pemakaman di desa yang terletak di sisi timur Danau Batur tersebut. Berbeda dengan masyarakat Bali di wilayah lain yang melakukan Ngaben atau upacara pembakaran jenazah, warga Trunyan menerapkan tradisi Mepasah.
Foto: GoPlay
Mereka sengaja meletakkan jenazah di atas permukaan tanah dan hanya menutupinya dengan semacam sangkar di tengah udara terbuka. Suasana mistis yang tertangkap oleh kamera pun terasa sangat mendukung tema cerita.
Dalam film ini, adat istiadat, agama serta kepercayaan diibaratkan sebagai perahu yang siap mengantarkan roh manusia menyeberangi lautan kematian untuk menyatu dengan Sang Khalik. Pada praktiknya, kita semua tahu, bahwa ada berbagai macam perahu yang “bisa dipilih” untuk “berlayar ke seberang”.
Baca Juga: 7 Drama Korea Non-Romantis Paling Ditunggu pada 2022
Setiap perahu tentunya memiliki karakteristik yang berbeda. Setiap manusia pun umumnya memiliki preferensi yang berbeda pula. Tak jarang, hal ini menjadi sumber perdebatan antara satu sama lain.
Sama seperti usia, kehidupan sesudah kematian pun merupakan suatu misteri. Tak seorang pun di antara kita yang masih hidup yang bisa memastikan siapa yang akan berlayar lebih dulu. Sebaliknya, tak satu pun dari mereka yang telah lebih dulu berlayar bisa memberi tahu perahu mana yang bisa sampai lebih awal.
Hal-hal ini sepertinya mutlak merupakan kedaulatan Yang Maha Kuasa selaku sang Pemberi Kehidupan. Tugas kita sebagai manusia adalah menjalani hidup berdampingan dengan ikhlas sampai tiba waktunya untuk 'berlayar;.
Esy Kanastari
Penikmat film dari komunitas KamAksara
Lihat Juga: Sinopsis Film Korea Omniscient Reader's Viewpoint dan Daftar 8 Pemainnya, Bujet Rp354 Miliar
Apa yang akan mereka lakukan seandainya kita lebih dulu berpulang? Bagaimana prosesi kematian itu akan diurus? Ke mana nantinya roh kita akan pergi?
Topik itulah yang tengah dibicarakan oleh Yoga dan bapaknya saat mendayung perahu berdua menuju ke Trunyan, kampung halaman sang bapak. Seperti sudah diketahui oleh dunia internasional, desa yang terletak di kabupaten Bangli ini terkenal dengan prosesi kematian yang berbeda dengan di wilayah Bali lainnya.
Mengingat ibunya bukan orang Trunyan, Yoga pun lantas bertanya-tanya, adat manakah yang akan digunakan untuknya kelak seandainya ia berpulang. Dialog berbahasa daerah yang digunakan oleh keduanya saat berbincang membuat Beyond The Lake Trunyan yang tayang di GoPlay dan berdurasi hampir 15 menit ini terkesan lebih natural.
Foto: GoPlay
Bagi sebagian orang, pembicaraan mengenai kematian bisa membuat buku kuduk berdiri. Di sisi lain, ada pula yang beranggapan kalau topik percakapan ini adalah sesuatu yang tabu dan tidak patut dilakukan karena bisa mengundang terjadinya hal-hal buruk. Namun, tentunya tak seorang pun bisa memungkiri bahwa pada saatnya nanti kita semua pasti akan kembali menghadap Sang Pencipta.
Baca Juga: Film Pendek The Fiction Master: Jangan Asal Comot Kesempatan!
Pemilihan desa Trunyan sebagai latar film ini rasanya benar-benar pas. Posisinya yang terletak di seberang Danau Batur menjadi representasi yang tepat dan apik mengenai keberadaan Negeri di Seberang Lautan Kematian tersebut. Adegan Yoga mendayung perahu menuju ke Trunyan pun merupakan metafora yang menarik untuk menggambarkan manusia yang tengah menuju ke alam sana.
Film ini juga sekaligus mengungkap keistimewaan tata cara pemakaman di desa yang terletak di sisi timur Danau Batur tersebut. Berbeda dengan masyarakat Bali di wilayah lain yang melakukan Ngaben atau upacara pembakaran jenazah, warga Trunyan menerapkan tradisi Mepasah.
Foto: GoPlay
Mereka sengaja meletakkan jenazah di atas permukaan tanah dan hanya menutupinya dengan semacam sangkar di tengah udara terbuka. Suasana mistis yang tertangkap oleh kamera pun terasa sangat mendukung tema cerita.
Dalam film ini, adat istiadat, agama serta kepercayaan diibaratkan sebagai perahu yang siap mengantarkan roh manusia menyeberangi lautan kematian untuk menyatu dengan Sang Khalik. Pada praktiknya, kita semua tahu, bahwa ada berbagai macam perahu yang “bisa dipilih” untuk “berlayar ke seberang”.
Baca Juga: 7 Drama Korea Non-Romantis Paling Ditunggu pada 2022
Setiap perahu tentunya memiliki karakteristik yang berbeda. Setiap manusia pun umumnya memiliki preferensi yang berbeda pula. Tak jarang, hal ini menjadi sumber perdebatan antara satu sama lain.
Sama seperti usia, kehidupan sesudah kematian pun merupakan suatu misteri. Tak seorang pun di antara kita yang masih hidup yang bisa memastikan siapa yang akan berlayar lebih dulu. Sebaliknya, tak satu pun dari mereka yang telah lebih dulu berlayar bisa memberi tahu perahu mana yang bisa sampai lebih awal.
Hal-hal ini sepertinya mutlak merupakan kedaulatan Yang Maha Kuasa selaku sang Pemberi Kehidupan. Tugas kita sebagai manusia adalah menjalani hidup berdampingan dengan ikhlas sampai tiba waktunya untuk 'berlayar;.
Esy Kanastari
Penikmat film dari komunitas KamAksara
Lihat Juga: Sinopsis Film Korea Omniscient Reader's Viewpoint dan Daftar 8 Pemainnya, Bujet Rp354 Miliar
(ita)
tulis komentar anda