Film Melaung: Sudah Jadi Korban Perkosaan, Masih juga Disalahkan
Jum'at, 12 November 2021 - 15:11 WIB
Anggapan bahwa korban pemerkosaan pastilah melakukan sesuatu yang “mengundang” pemerkosa juga tergambarkan di sini. Bukankah kita sering melihat atau mendengar ada yang memaklumi suatu tindakan pemerkosaan jika sang korban adalah perempuan yang muda, cantik, seksi, atau pakai baju seronok? Seakan-akan, karena kelakukan korban itulah yang membuat pemerkosaan terjadi. Padahal, nafsu, ya, nafsu saja. Kenapa malah menyalahkan korban?
Nah, di sinilah biasanya terjadi Viktimisasi Sekunder, terutama jika kasus mencuat ke khalayak umum. Setelah seseorang menjadi korban (Viktimisasi primer), mereka bisa menjadi korban lagi akibat perbuatan seseorang atau institusi yang berbeda, tapi sama-sama memberikan kerugian pada korban.
Contoh Viktimisasi Sekunder adalah saat media massa bukannya melindungi identitas korban kejahatan, tetapi malah menyebarkan segala sesuatu tentang korban ke masyarakat umum, termasuk hal-hal yang tidak berkaitan sama sekali dengan korban dan kejahatan.
Misalnya saja, korban pemerkosaan malah diberitakan kehidupan sehari-harinya, pernah pacaran dengan siapa, gaya hidup seperti apa, dan lain sebagainya. Semua itu bisa jadi membuat masyarakat membenarkan alasan korban diperkosa.
Korban yang seharusnya dilindungi, malah dijadikan obyek dan mengalami penderitaan sosial (social injuries). Sayangnya, hal ini kerap terjadi bukan hanya dari media massa. Para aparat penegak hukum juga seringkali melakukan Viktimisasi Sekunder ini.
Kurangnya rasa empati terhadap korban dan juga sikap “hanya mengerjakan kewajiban” tanpa ada rasa pengabdian pada masyarakat yang seharusnya dilindungi, seringkali membuat korban kejahatan merasa tidak ada gunanya melapor pada aparat berwajib karena tidak akan ditanggapi. Buruk-buruknya, malah dianggap melaporkan kejadian fiktif.
“Maksud Ibu, saya bohong, gitu?"
“Semua yang kamu bilang, cuma bisa saya catat. Dan itu pun enggak cukup kuat untuk membuktikan bahwa kamu adalah korban.”
Foto: Go Play
Selain mengusung isu penghakiman korban, film ini juga menyelipkan bias gender di dalamnya. Lelaki selalu dianggap lebih kuat daripada perempuan. Saat ada lelaki yang melapor dirinya diperkosa oleh perempuan, maka reaksi pertama adalah sangsi hal itu bisa terjadi. Toh, lelaki memiliki tenaga yang lebih besar. Kenapa bisa ditundukkan oleh perempuan? Selain itu, bukti apa yang bisa dibawa oleh lelaki yang diperkosa?
Saya masih ingat, dulu sempat ada rekan yang bercanda bahwa lelaki tidak mungkin bisa diperkosa karena lelaki sangat mudah terangsang. Saat badan sudah menunjukkan reaksi, maka itu bukanlah perkosaan melainkan hubungan suka sama suka.
Ini juga yang dialami Gilang. Polwan Ida berulang kali menanyakan apakah dia menikmati hubungan itu atau mengapa tidak melawan. Lama-kelamaan, tentu saja ini membuat Gilang berang.
Dia sudah datang dalam kondisi babak belur dan hendak melaporkan tindak kejahatan, malah terkesan dirinya yang membuat fitnah menuduh orang lain. Twist di akhir cerita juga benar-benar membuat Gilang kembali menjadi korban yang sangat malang.
Baca Juga: 9 Komentar Savage BTS ke Media dan Netizen, RM dan V Paling Sadis!
Bagi saya, film pendek ini benar-benar sarat dengan pesan moral dan juga sindirian pada struktur perlindungan korban, terutama korban pelecehan dan kekerasan seksual, di negeri kita.
Seorang korban pastilah mengalami kerugian. Kita seharusnya membantu dan melindungi mereka, bukannya malah memberinya kerugian lebih banyak lagi. Semoga saja, kita bisa lebih baik lagi ke depannya dalam melindungi para korban kejahatan.
Pesan terakhir di end scene: Terdapat 3.566 kasus pelecehan dan kekerasan seksual terhadap perempuan yang tercatat pada tahun 2018. Banyak yang mengaku tidak mau melapor karena takut dianggap kotor.
Fayye Arsyana
Penikmat film dari komunitas KamAksara
Nah, di sinilah biasanya terjadi Viktimisasi Sekunder, terutama jika kasus mencuat ke khalayak umum. Setelah seseorang menjadi korban (Viktimisasi primer), mereka bisa menjadi korban lagi akibat perbuatan seseorang atau institusi yang berbeda, tapi sama-sama memberikan kerugian pada korban.
Contoh Viktimisasi Sekunder adalah saat media massa bukannya melindungi identitas korban kejahatan, tetapi malah menyebarkan segala sesuatu tentang korban ke masyarakat umum, termasuk hal-hal yang tidak berkaitan sama sekali dengan korban dan kejahatan.
Misalnya saja, korban pemerkosaan malah diberitakan kehidupan sehari-harinya, pernah pacaran dengan siapa, gaya hidup seperti apa, dan lain sebagainya. Semua itu bisa jadi membuat masyarakat membenarkan alasan korban diperkosa.
Korban yang seharusnya dilindungi, malah dijadikan obyek dan mengalami penderitaan sosial (social injuries). Sayangnya, hal ini kerap terjadi bukan hanya dari media massa. Para aparat penegak hukum juga seringkali melakukan Viktimisasi Sekunder ini.
Kurangnya rasa empati terhadap korban dan juga sikap “hanya mengerjakan kewajiban” tanpa ada rasa pengabdian pada masyarakat yang seharusnya dilindungi, seringkali membuat korban kejahatan merasa tidak ada gunanya melapor pada aparat berwajib karena tidak akan ditanggapi. Buruk-buruknya, malah dianggap melaporkan kejadian fiktif.
“Maksud Ibu, saya bohong, gitu?"
“Semua yang kamu bilang, cuma bisa saya catat. Dan itu pun enggak cukup kuat untuk membuktikan bahwa kamu adalah korban.”
Foto: Go Play
Selain mengusung isu penghakiman korban, film ini juga menyelipkan bias gender di dalamnya. Lelaki selalu dianggap lebih kuat daripada perempuan. Saat ada lelaki yang melapor dirinya diperkosa oleh perempuan, maka reaksi pertama adalah sangsi hal itu bisa terjadi. Toh, lelaki memiliki tenaga yang lebih besar. Kenapa bisa ditundukkan oleh perempuan? Selain itu, bukti apa yang bisa dibawa oleh lelaki yang diperkosa?
Saya masih ingat, dulu sempat ada rekan yang bercanda bahwa lelaki tidak mungkin bisa diperkosa karena lelaki sangat mudah terangsang. Saat badan sudah menunjukkan reaksi, maka itu bukanlah perkosaan melainkan hubungan suka sama suka.
Ini juga yang dialami Gilang. Polwan Ida berulang kali menanyakan apakah dia menikmati hubungan itu atau mengapa tidak melawan. Lama-kelamaan, tentu saja ini membuat Gilang berang.
Dia sudah datang dalam kondisi babak belur dan hendak melaporkan tindak kejahatan, malah terkesan dirinya yang membuat fitnah menuduh orang lain. Twist di akhir cerita juga benar-benar membuat Gilang kembali menjadi korban yang sangat malang.
Baca Juga: 9 Komentar Savage BTS ke Media dan Netizen, RM dan V Paling Sadis!
Bagi saya, film pendek ini benar-benar sarat dengan pesan moral dan juga sindirian pada struktur perlindungan korban, terutama korban pelecehan dan kekerasan seksual, di negeri kita.
Seorang korban pastilah mengalami kerugian. Kita seharusnya membantu dan melindungi mereka, bukannya malah memberinya kerugian lebih banyak lagi. Semoga saja, kita bisa lebih baik lagi ke depannya dalam melindungi para korban kejahatan.
Pesan terakhir di end scene: Terdapat 3.566 kasus pelecehan dan kekerasan seksual terhadap perempuan yang tercatat pada tahun 2018. Banyak yang mengaku tidak mau melapor karena takut dianggap kotor.
Fayye Arsyana
Penikmat film dari komunitas KamAksara
tulis komentar anda