CERMIN: Glenn Fredly the Movie, Begini Seharusnya Film Biopik (Lokal) Dibuat
Jum'at, 26 April 2024 - 13:45 WIB
Di tangannya kita melihat sosok Glenn dengan masa lalu, luka lama, dan mimpi-mimpi besar terpancar di layar dengan menarik. Jarang sekali kita menyaksikan film biopik lokal yang berani membongkar karakter utamanya setajam dan sedalam ini.
Biasanya film biopik lokal cenderung membuat karakter utamanya menjadi pahlawan tanpa luka-luka masa lalu yang sering kali menyakitkan, kadang kala memalukan. Glenn hadir menjadi manusia seutuhnya: seorang anak yang mencoba memutus rantai dari apa yang menjadikan ayahnya sebagai sosok yang dibencinya.
Juga seorang penyanyi yang berkarya dari lubuk hati terdalam. Seorang aktivis yang mencoba peduli dengan isu-isu yang tak sekadar dekat dengan dirinya, tapi dirasakannya darurat untuk disuarakan. Pun seorang suami serta ayah yang mencoba menciptakan kedamaian di dalam rumahnya sendiri.
Bisa jadi memanusiakan karakter utama menjadi kekuatan terkuat yang diperlihatkan Lukman ketika bekerja sebagai sutradara. Selain itu sebagai aktor, Lukman paham betul soal cara membuat aktor-aktornya tak sekadar berakting tapi menjadi karakter yang diperankannya.
Foto: Time International Films
Oleh karena itu, Marthino Lio mengubah tone suaranya menjadi mirip almarhum Glenn, berjalan dan bersikap sebagaimana Glenn, juga menyuarakan kegelisahannya seperti Glenn. Ia berhasil. Bisa jadi Marthino membawa pulang piala Citra-nya yang ketiga tahun ini berkat totalitasnya menjadi Glenn.
Berkat skenario yang matang, kita juga melihat kejutan dari segi pemeranan. Bucek yang selama ini jarang sekali beroleh peran menarik dan multidimensional, kali ini mendapatkan kesempatannya.
Sebagai Hengky, ayah Glenn, dengan segala ketidaksempurnaannya, Bucek tak sekadar meyakinkan dengan dialek Ambon yang enak didengar, tapi juga cara ia menampilkan level keaktorannya dalam tahapan paling tulus.
Kita merasakan bagaimana ketegangan hubungannya dengan sang anak, bagaimana ia mengeras seperti batu untuk kemudian lumer seperti lilin atas nama sebuah permintaan maaf.
Glenn Fredly memang adalah sosok one of a kind dalam industri musik Indonesia. Aktifvtas-aktivitasnya dalam 10 tahun terakhir hidupnya membuatnya beroleh status lebih dari sekadar penyanyi atau selebritis.
Ia menjelma sebagai pahlawan kemanusiaan yang memperjuangkan yang diyakininya meski dengan kacamata seorang naif. Dan Glenn Fredly the Movie berhasil memotretnya dengan baik tanpa perlu menjadikan Glenn sebagai sosok heroik.
Semoga setelah Glenn Fredly the Movie, semakin banyak film biopik lokal yang tak lagi ragu-ragu memperlihatkan karakter utamanya sebagai seorang manusia biasa dengan segala ketidaksempurnaannya, bukan sosok malaikat tak bersayap tanpa cela dosa sedikit pun.
Justru dengan penggambaran ketidaksempurnaan itulah kita belajar darinya untuk menjadi manusia lebih baik, seperti yang kita lakukan dari hari ke hari.
Glenn Fredly the Movie
Produser: Daniel Mananta, Robert Ronny
Penulis Skenario: Raditya
Sutradara: Lukman Sardi
Pemain: Marthino Lio, Bucek, Sonia Alyssa
Biasanya film biopik lokal cenderung membuat karakter utamanya menjadi pahlawan tanpa luka-luka masa lalu yang sering kali menyakitkan, kadang kala memalukan. Glenn hadir menjadi manusia seutuhnya: seorang anak yang mencoba memutus rantai dari apa yang menjadikan ayahnya sebagai sosok yang dibencinya.
Juga seorang penyanyi yang berkarya dari lubuk hati terdalam. Seorang aktivis yang mencoba peduli dengan isu-isu yang tak sekadar dekat dengan dirinya, tapi dirasakannya darurat untuk disuarakan. Pun seorang suami serta ayah yang mencoba menciptakan kedamaian di dalam rumahnya sendiri.
Bisa jadi memanusiakan karakter utama menjadi kekuatan terkuat yang diperlihatkan Lukman ketika bekerja sebagai sutradara. Selain itu sebagai aktor, Lukman paham betul soal cara membuat aktor-aktornya tak sekadar berakting tapi menjadi karakter yang diperankannya.
Foto: Time International Films
Oleh karena itu, Marthino Lio mengubah tone suaranya menjadi mirip almarhum Glenn, berjalan dan bersikap sebagaimana Glenn, juga menyuarakan kegelisahannya seperti Glenn. Ia berhasil. Bisa jadi Marthino membawa pulang piala Citra-nya yang ketiga tahun ini berkat totalitasnya menjadi Glenn.
Berkat skenario yang matang, kita juga melihat kejutan dari segi pemeranan. Bucek yang selama ini jarang sekali beroleh peran menarik dan multidimensional, kali ini mendapatkan kesempatannya.
Sebagai Hengky, ayah Glenn, dengan segala ketidaksempurnaannya, Bucek tak sekadar meyakinkan dengan dialek Ambon yang enak didengar, tapi juga cara ia menampilkan level keaktorannya dalam tahapan paling tulus.
Kita merasakan bagaimana ketegangan hubungannya dengan sang anak, bagaimana ia mengeras seperti batu untuk kemudian lumer seperti lilin atas nama sebuah permintaan maaf.
Glenn Fredly memang adalah sosok one of a kind dalam industri musik Indonesia. Aktifvtas-aktivitasnya dalam 10 tahun terakhir hidupnya membuatnya beroleh status lebih dari sekadar penyanyi atau selebritis.
Ia menjelma sebagai pahlawan kemanusiaan yang memperjuangkan yang diyakininya meski dengan kacamata seorang naif. Dan Glenn Fredly the Movie berhasil memotretnya dengan baik tanpa perlu menjadikan Glenn sebagai sosok heroik.
Semoga setelah Glenn Fredly the Movie, semakin banyak film biopik lokal yang tak lagi ragu-ragu memperlihatkan karakter utamanya sebagai seorang manusia biasa dengan segala ketidaksempurnaannya, bukan sosok malaikat tak bersayap tanpa cela dosa sedikit pun.
Justru dengan penggambaran ketidaksempurnaan itulah kita belajar darinya untuk menjadi manusia lebih baik, seperti yang kita lakukan dari hari ke hari.
Glenn Fredly the Movie
Produser: Daniel Mananta, Robert Ronny
Penulis Skenario: Raditya
Sutradara: Lukman Sardi
Pemain: Marthino Lio, Bucek, Sonia Alyssa
tulis komentar anda