CERMIN: Glenn Fredly the Movie, Begini Seharusnya Film Biopik (Lokal) Dibuat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tahun 2023. Christopher Nolan meluncurkan film Oppenheimer dan menjadi contoh sempurna bagaimana seharusnya film biopik dibuat.
Sebelum dinobatkan menjadi Film Terbaik dalam Academy Awards 2023 Maret lalu, saya memuji Oppenheimer karena beberapa alasan. Salah satunya karena Oppenheimer menjadi contoh sempurna bagaimana seharusnya film biopik dibuat.
Pertama, ia memperlihatkan karakter utama dengan segala ketidaksempurnaan dan kegundahannya. Kedua, ia memperlihatkan karakter utama dalam peristiwa puncak yang berkesan dalam hidupnya.
Entah kebetulan atau tidak, entah Lukman Sardi menyaksikan Oppenheimer terlebih dahulu atau tidak, tapi Glenn Fredly the Movie melakukan kedua hal di atas dengan baik.
Kali ini Lukman tak berada di depan kamera, ia berada sepenuhnya di belakang kamera dan menjadi sutradara untuk proyek biopik ini.
Foto: Time International Films
Ia mencoba memperkenalkan kita kembali dengan siapa sebenarnya Glenn Fredly, apakah ia sekadar seorang penyanyi, seorang aktivis, atau seorang manusia dengan segala kepedulian yang dipunyainya? Dalam durasi 109 menit, skenario membuka siapa sebenarnya sosok yang banyak dipuja itu.
Di balik segala label yang dilekatkan kepada dirinya, Glenn adalah seorang yang naif. Dan itu tak malu-malu diperlihatkan oleh skenario kepada penonton.
Ia punya misinya sendiri, ingin hadir dan memanfaatkan sebaik-baiknya talenta yang diberikan Tuhan kepadanya. Namun Glenn selalu lupa bahwa segalanya butuh uang untuk mewujudkannya.
Glenn ingin menjadi sinar bagi sekelilingnya, tapi seperti kata Felix, manajernya, sinarnya sering kali membakar orang-orang di sekelilingnya.
Glenn ingin menjadi simbol dari banyak hal. Ia berjuang mati-matian memperlihatkan bahwa musik bisa hadir sebagai pemersatu. Di tengah-tengah kerusuhan Ambon, Glenn hadir dengan konser perdamaian.
Seperti Bob Marley yang ditampilkan dalam biopik One Love, Glenn juga tak hirau dengan keamanan dirinya. Ia ingin membuktikan bahwa musik bisa dengan ajaib menyatukan dua kubu yang bermusuhan dalam sekejap.
Foto:Time International Films
Kali lain Glenn ingin pernikahan beda agama yang dilakukannya menginspirasi banyak orang, agar tak menjadikan perbedaan sebagai hambatan.
NamunGlenn lupa bahwa perdamaian pun belum terjadi di rumahnya sendiri. Ayahnya masih memendam luka dalam akibat perbuatan kakeknya, dan Glenn menjadi korban karenanya.
Hubungan ayah dan anak pun memburuk, dan ternyata musik yang mengalir dalam darah keduanya tak bisa menyatukan hati mereka. Berbagai isu ringan hingga berat dalam Glenn Fredly the Movie berkelindan dengan asyik berkat racikan penulis skenario Raditya.
Di tangannya kita melihat sosok Glenn dengan masa lalu, luka lama, dan mimpi-mimpi besar terpancar di layar dengan menarik. Jarang sekali kita menyaksikan film biopik lokal yang berani membongkar karakter utamanya setajam dan sedalam ini.
Biasanya film biopik lokal cenderung membuat karakter utamanya menjadi pahlawan tanpa luka-luka masa lalu yang sering kali menyakitkan, kadang kala memalukan. Glenn hadir menjadi manusia seutuhnya: seorang anak yang mencoba memutus rantai dari apa yang menjadikan ayahnya sebagai sosok yang dibencinya.
Juga seorang penyanyi yang berkarya dari lubuk hati terdalam. Seorang aktivis yang mencoba peduli dengan isu-isu yang tak sekadar dekat dengan dirinya, tapi dirasakannya darurat untuk disuarakan. Pun seorang suami serta ayah yang mencoba menciptakan kedamaian di dalam rumahnya sendiri.
Bisa jadi memanusiakan karakter utama menjadi kekuatan terkuat yang diperlihatkan Lukman ketika bekerja sebagai sutradara. Selain itu sebagai aktor, Lukman paham betul soal cara membuat aktor-aktornya tak sekadar berakting tapi menjadi karakter yang diperankannya.
Foto: Time International Films
Oleh karena itu, Marthino Lio mengubah tone suaranya menjadi mirip almarhum Glenn, berjalan dan bersikap sebagaimana Glenn, juga menyuarakan kegelisahannya seperti Glenn. Ia berhasil. Bisa jadi Marthino membawa pulang piala Citra-nya yang ketiga tahun ini berkat totalitasnya menjadi Glenn.
Berkat skenario yang matang, kita juga melihat kejutan dari segi pemeranan. Bucek yang selama ini jarang sekali beroleh peran menarik dan multidimensional, kali ini mendapatkan kesempatannya.
Sebagai Hengky, ayah Glenn, dengan segala ketidaksempurnaannya, Bucek tak sekadar meyakinkan dengan dialek Ambon yang enak didengar, tapi juga cara ia menampilkan level keaktorannya dalam tahapan paling tulus.
Kita merasakan bagaimana ketegangan hubungannya dengan sang anak, bagaimana ia mengeras seperti batu untuk kemudian lumer seperti lilin atas nama sebuah permintaan maaf.
Glenn Fredly memang adalah sosok one of a kind dalam industri musik Indonesia. Aktifvtas-aktivitasnya dalam 10 tahun terakhir hidupnya membuatnya beroleh status lebih dari sekadar penyanyi atau selebritis.
Ia menjelma sebagai pahlawan kemanusiaan yang memperjuangkan yang diyakininya meski dengan kacamata seorang naif. Dan Glenn Fredly the Movie berhasil memotretnya dengan baik tanpa perlu menjadikan Glenn sebagai sosok heroik.
Semoga setelah Glenn Fredly the Movie, semakin banyak film biopik lokal yang tak lagi ragu-ragu memperlihatkan karakter utamanya sebagai seorang manusia biasa dengan segala ketidaksempurnaannya, bukan sosok malaikat tak bersayap tanpa cela dosa sedikit pun.
Justru dengan penggambaran ketidaksempurnaan itulah kita belajar darinya untuk menjadi manusia lebih baik, seperti yang kita lakukan dari hari ke hari.
Glenn Fredly the Movie
Produser: Daniel Mananta, Robert Ronny
Penulis Skenario: Raditya
Sutradara: Lukman Sardi
Pemain: Marthino Lio, Bucek, Sonia Alyssa
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute, bisa dikontak via Instagram @ichwanpersada
Sebelum dinobatkan menjadi Film Terbaik dalam Academy Awards 2023 Maret lalu, saya memuji Oppenheimer karena beberapa alasan. Salah satunya karena Oppenheimer menjadi contoh sempurna bagaimana seharusnya film biopik dibuat.
Pertama, ia memperlihatkan karakter utama dengan segala ketidaksempurnaan dan kegundahannya. Kedua, ia memperlihatkan karakter utama dalam peristiwa puncak yang berkesan dalam hidupnya.
Entah kebetulan atau tidak, entah Lukman Sardi menyaksikan Oppenheimer terlebih dahulu atau tidak, tapi Glenn Fredly the Movie melakukan kedua hal di atas dengan baik.
Kali ini Lukman tak berada di depan kamera, ia berada sepenuhnya di belakang kamera dan menjadi sutradara untuk proyek biopik ini.
Foto: Time International Films
Ia mencoba memperkenalkan kita kembali dengan siapa sebenarnya Glenn Fredly, apakah ia sekadar seorang penyanyi, seorang aktivis, atau seorang manusia dengan segala kepedulian yang dipunyainya? Dalam durasi 109 menit, skenario membuka siapa sebenarnya sosok yang banyak dipuja itu.
Di balik segala label yang dilekatkan kepada dirinya, Glenn adalah seorang yang naif. Dan itu tak malu-malu diperlihatkan oleh skenario kepada penonton.
Ia punya misinya sendiri, ingin hadir dan memanfaatkan sebaik-baiknya talenta yang diberikan Tuhan kepadanya. Namun Glenn selalu lupa bahwa segalanya butuh uang untuk mewujudkannya.
Glenn ingin menjadi sinar bagi sekelilingnya, tapi seperti kata Felix, manajernya, sinarnya sering kali membakar orang-orang di sekelilingnya.
Glenn ingin menjadi simbol dari banyak hal. Ia berjuang mati-matian memperlihatkan bahwa musik bisa hadir sebagai pemersatu. Di tengah-tengah kerusuhan Ambon, Glenn hadir dengan konser perdamaian.
Seperti Bob Marley yang ditampilkan dalam biopik One Love, Glenn juga tak hirau dengan keamanan dirinya. Ia ingin membuktikan bahwa musik bisa dengan ajaib menyatukan dua kubu yang bermusuhan dalam sekejap.
Foto:Time International Films
Kali lain Glenn ingin pernikahan beda agama yang dilakukannya menginspirasi banyak orang, agar tak menjadikan perbedaan sebagai hambatan.
NamunGlenn lupa bahwa perdamaian pun belum terjadi di rumahnya sendiri. Ayahnya masih memendam luka dalam akibat perbuatan kakeknya, dan Glenn menjadi korban karenanya.
Hubungan ayah dan anak pun memburuk, dan ternyata musik yang mengalir dalam darah keduanya tak bisa menyatukan hati mereka. Berbagai isu ringan hingga berat dalam Glenn Fredly the Movie berkelindan dengan asyik berkat racikan penulis skenario Raditya.
Di tangannya kita melihat sosok Glenn dengan masa lalu, luka lama, dan mimpi-mimpi besar terpancar di layar dengan menarik. Jarang sekali kita menyaksikan film biopik lokal yang berani membongkar karakter utamanya setajam dan sedalam ini.
Biasanya film biopik lokal cenderung membuat karakter utamanya menjadi pahlawan tanpa luka-luka masa lalu yang sering kali menyakitkan, kadang kala memalukan. Glenn hadir menjadi manusia seutuhnya: seorang anak yang mencoba memutus rantai dari apa yang menjadikan ayahnya sebagai sosok yang dibencinya.
Juga seorang penyanyi yang berkarya dari lubuk hati terdalam. Seorang aktivis yang mencoba peduli dengan isu-isu yang tak sekadar dekat dengan dirinya, tapi dirasakannya darurat untuk disuarakan. Pun seorang suami serta ayah yang mencoba menciptakan kedamaian di dalam rumahnya sendiri.
Bisa jadi memanusiakan karakter utama menjadi kekuatan terkuat yang diperlihatkan Lukman ketika bekerja sebagai sutradara. Selain itu sebagai aktor, Lukman paham betul soal cara membuat aktor-aktornya tak sekadar berakting tapi menjadi karakter yang diperankannya.
Foto: Time International Films
Oleh karena itu, Marthino Lio mengubah tone suaranya menjadi mirip almarhum Glenn, berjalan dan bersikap sebagaimana Glenn, juga menyuarakan kegelisahannya seperti Glenn. Ia berhasil. Bisa jadi Marthino membawa pulang piala Citra-nya yang ketiga tahun ini berkat totalitasnya menjadi Glenn.
Berkat skenario yang matang, kita juga melihat kejutan dari segi pemeranan. Bucek yang selama ini jarang sekali beroleh peran menarik dan multidimensional, kali ini mendapatkan kesempatannya.
Sebagai Hengky, ayah Glenn, dengan segala ketidaksempurnaannya, Bucek tak sekadar meyakinkan dengan dialek Ambon yang enak didengar, tapi juga cara ia menampilkan level keaktorannya dalam tahapan paling tulus.
Kita merasakan bagaimana ketegangan hubungannya dengan sang anak, bagaimana ia mengeras seperti batu untuk kemudian lumer seperti lilin atas nama sebuah permintaan maaf.
Glenn Fredly memang adalah sosok one of a kind dalam industri musik Indonesia. Aktifvtas-aktivitasnya dalam 10 tahun terakhir hidupnya membuatnya beroleh status lebih dari sekadar penyanyi atau selebritis.
Ia menjelma sebagai pahlawan kemanusiaan yang memperjuangkan yang diyakininya meski dengan kacamata seorang naif. Dan Glenn Fredly the Movie berhasil memotretnya dengan baik tanpa perlu menjadikan Glenn sebagai sosok heroik.
Semoga setelah Glenn Fredly the Movie, semakin banyak film biopik lokal yang tak lagi ragu-ragu memperlihatkan karakter utamanya sebagai seorang manusia biasa dengan segala ketidaksempurnaannya, bukan sosok malaikat tak bersayap tanpa cela dosa sedikit pun.
Justru dengan penggambaran ketidaksempurnaan itulah kita belajar darinya untuk menjadi manusia lebih baik, seperti yang kita lakukan dari hari ke hari.
Glenn Fredly the Movie
Produser: Daniel Mananta, Robert Ronny
Penulis Skenario: Raditya
Sutradara: Lukman Sardi
Pemain: Marthino Lio, Bucek, Sonia Alyssa
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute, bisa dikontak via Instagram @ichwanpersada
(ita)