CERMIN: Billy Elliott, Anthony Madu, dan Anak-Anak yang Memperjuangkan Mimpi Mereka
Sabtu, 30 Maret 2024 - 09:20 WIB
Foto: Disney+
Gangguan yang dialami salah satu mata Anthony juga digunakan oleh Charlie untuk menggambarkan bagaimana Anthony melihat dunia yang baru dan masih terasa asing baginya itu.
Yang awalnya serba kabur, tak fokus, dengan warna-warni lembut, untuk lantas berubah menjadi lebih tegas, lebih terkendali. Ini menandakan bahwa Anthony tak akan membiarkan gangguan itu membuyarkan hal yang sudah dicita-citakannya sejak lama itu.
Anthony mungkin sedikit lebih beruntung dari Billy. Ia lahir di tengah keluarga yang mendukung, yang menganggap perbedaannya adalah karunia dari Tuhan yang perlu terus menerus disyukuri. Dari keluarga semendukung ini meski di negara dunia ketiga sekalipun seperti Nigeria, para bintang bisa lahir karena mereka dibuat percaya diri untuk berpegang pada mimpi-mimpi mereka.
Setidaknya sebagai film dokumenter, Madu membuat kita percaya bahwa selayaknya orang tua perlu mendukung mimpi anak-anaknya. Kita tak ingin menjadi orang tua seperti yang disebut oleh sutradara, Spike Lee, “parents kill more dreams than anybody”.
Madu menunjukkan bahwa anak-anak akan punya jalannya masing-masing dan kita sebagai orang tua perlu menuntun dan membimbing mereka menuju jalan itu demi mencapai yang mereka inginkan.
Setelah Billy Elliot, Anthony Madu, mungkin kelak ada anak laki-laki dari pelosok Indonesia Timur yang juga bermimpi menjadi penari balet profesional di tengah masyarakat yang masih memelihara kultur toksis maskulinitas. Kita perlu menjadi orang tua yang menjaga mimpi-mimpi mereka dengan sekuat tenaga.
Madu
Sutradara: Matthew Ogens, Joel Kachi Benson
Pemain: Anthony Madu
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute, bisa dikontak via Instagram @ichwanpersada
Gangguan yang dialami salah satu mata Anthony juga digunakan oleh Charlie untuk menggambarkan bagaimana Anthony melihat dunia yang baru dan masih terasa asing baginya itu.
Yang awalnya serba kabur, tak fokus, dengan warna-warni lembut, untuk lantas berubah menjadi lebih tegas, lebih terkendali. Ini menandakan bahwa Anthony tak akan membiarkan gangguan itu membuyarkan hal yang sudah dicita-citakannya sejak lama itu.
Anthony mungkin sedikit lebih beruntung dari Billy. Ia lahir di tengah keluarga yang mendukung, yang menganggap perbedaannya adalah karunia dari Tuhan yang perlu terus menerus disyukuri. Dari keluarga semendukung ini meski di negara dunia ketiga sekalipun seperti Nigeria, para bintang bisa lahir karena mereka dibuat percaya diri untuk berpegang pada mimpi-mimpi mereka.
Setidaknya sebagai film dokumenter, Madu membuat kita percaya bahwa selayaknya orang tua perlu mendukung mimpi anak-anaknya. Kita tak ingin menjadi orang tua seperti yang disebut oleh sutradara, Spike Lee, “parents kill more dreams than anybody”.
Madu menunjukkan bahwa anak-anak akan punya jalannya masing-masing dan kita sebagai orang tua perlu menuntun dan membimbing mereka menuju jalan itu demi mencapai yang mereka inginkan.
Setelah Billy Elliot, Anthony Madu, mungkin kelak ada anak laki-laki dari pelosok Indonesia Timur yang juga bermimpi menjadi penari balet profesional di tengah masyarakat yang masih memelihara kultur toksis maskulinitas. Kita perlu menjadi orang tua yang menjaga mimpi-mimpi mereka dengan sekuat tenaga.
Madu
Sutradara: Matthew Ogens, Joel Kachi Benson
Pemain: Anthony Madu
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute, bisa dikontak via Instagram @ichwanpersada
(ita)
tulis komentar anda