Review Film Prenjak: Gadis Korek Api, Kelaminnya, dan Sensor Kita
Rabu, 13 Maret 2024 - 15:28 WIB
JAKARTA - Wajah Diah tampak kusut. Perempuan berambut pendek itu langsung mengeluarkan keluh kesahnya ke Jarwo.
Keduanya bekerja di kedai piza. Diah bilang, ia butuh uang segera. Jarwo bilang bahwa ia tak punya uang. Diah mungkin sudah mengantisipasi jawaban Jarwo itu. Di bawah tatapan Jarwo yang kebingungan, Diah membereskan sebuah meja dan menaruh taplak sebagai pengalasnya.
“Ini korek api, sebatang aku jual 10 ribu,“ ujar Diah ke Jarwo dalam bahasa Jawa.
Penonton, seperti halnya Jarwo, mungkin kebingungan. Tapi sebagai penonton, kita berdebar. Apa yang sesungguhnya akan terjadi?
Diah menaruh sekotak korek api di atas meja. Ia menawarkan ke Jarwo untuk melihat alat kelaminnya di bawah meja dengan menggunakan korek api tersebut. Jika nyala sebatang korek mati, maka Jarwo harus membelinya lagi jika masih ingin melihat kelamin Diah. Tapi Diah punya syarat: boleh dilihat tapi tak boleh disentuh.
Sebagai penonton, saya makin berdebar menyaksikan film Prenjak (in the Year of Monkey) yang beroleh penghargaan Discovery Award di La Semaine de la Critique, Cannes 2016, itu. Dalam durasinya yang hanya sekitar 12 menit itu, Wregas Bhanuteja mencampurbaurkan beragam rasa ke indera penonton.
Sekilas, film ini memang boleh saya sebut sebagai salah satu film Indonesia paling berani yang pernah saya tonton. Namun semakin melihat lebih dalam, semakin kita menemukan bahwa film ini lebih dari sekadar bermain-main dengan kelamin.
Film ini mempersilakan kita melihat ironi yang sesungguhnya ada di sekeliling kita. Bedanya dalam film ini, ironi itu disajikan secara telanjang.
Terasa nyata tanpa kosmetik. Kadang nakal, kadang miris. Mengagetkan tapi pada saat bersamaan juga menggelisahkan.
Foto: Studio Batu
Diah yang kepepet oleh persoalan ekonomi masih punya kuasa penuh atas tubuhnya. Sebuah isu yang sedang banyak dibicarakan saat ini sehingga terasa relevan.
Yang dikemukakan Wregas di sini sesungguhnya bukan barang baru. Lebih 20 tahun silam, tepatnya pada 1997, Garin Nugroho sudah memotret fenomena itu dalam film Daun di Atas Bantal. Adegan itu terasa membekas di benak penonton, juga Garin, sehingga sutradara kawakan itu kembali melakukan rekonstruksi atas adegan yang sama dalam film Aach, Aku Jatuh Cinta.
Dikisahkan, Rumi kecil mencoba mengintip rok perempuan di bawah meja dengan menggunakan korek api. Dalam sebuah wawancaranya di media, Wregas berujar bahwa idenya tersebut didapatkannya dari seorang teman.
Teman itu menceritakan pengalamannya bertahun silam kala ditawari oleh seorang penjual wedang rondhe di alun-alun diYogya. Sang pedagangmenawari melihat kelaminnya di bawah meja dengan menggunakan korek api.
Meski temanya tak baru, tapi isu yang disampaikan maupun cara pengemasannya menjadi krusial. Dan itulah yang menjadi kekuatan dari Prenjak (in the Year of Monkey).
Wregas mendorongnya ke titik yang lebih jauh. Ia memainkan isu lokal untuk bisa berbicara di tataran global. Ia mengangkat isu yang begitu purba di bumi ini sekaligus paling sensitif di Indonesia yaitu soal seks, untuk berkelindan dengan otoritas perempuan atas tubuhnya.
Juga bagaimana perempuan berkelit dari kesulitan ekonomi yang mengungkungnya. Jika dalam film-film sebelumnya perempuan menjadi obyek, di sini perempuan tampil di depan sebagai subyeknya.
Keduanya bekerja di kedai piza. Diah bilang, ia butuh uang segera. Jarwo bilang bahwa ia tak punya uang. Diah mungkin sudah mengantisipasi jawaban Jarwo itu. Di bawah tatapan Jarwo yang kebingungan, Diah membereskan sebuah meja dan menaruh taplak sebagai pengalasnya.
“Ini korek api, sebatang aku jual 10 ribu,“ ujar Diah ke Jarwo dalam bahasa Jawa.
Penonton, seperti halnya Jarwo, mungkin kebingungan. Tapi sebagai penonton, kita berdebar. Apa yang sesungguhnya akan terjadi?
Baca Juga
Diah menaruh sekotak korek api di atas meja. Ia menawarkan ke Jarwo untuk melihat alat kelaminnya di bawah meja dengan menggunakan korek api tersebut. Jika nyala sebatang korek mati, maka Jarwo harus membelinya lagi jika masih ingin melihat kelamin Diah. Tapi Diah punya syarat: boleh dilihat tapi tak boleh disentuh.
Sebagai penonton, saya makin berdebar menyaksikan film Prenjak (in the Year of Monkey) yang beroleh penghargaan Discovery Award di La Semaine de la Critique, Cannes 2016, itu. Dalam durasinya yang hanya sekitar 12 menit itu, Wregas Bhanuteja mencampurbaurkan beragam rasa ke indera penonton.
Sekilas, film ini memang boleh saya sebut sebagai salah satu film Indonesia paling berani yang pernah saya tonton. Namun semakin melihat lebih dalam, semakin kita menemukan bahwa film ini lebih dari sekadar bermain-main dengan kelamin.
Film ini mempersilakan kita melihat ironi yang sesungguhnya ada di sekeliling kita. Bedanya dalam film ini, ironi itu disajikan secara telanjang.
Terasa nyata tanpa kosmetik. Kadang nakal, kadang miris. Mengagetkan tapi pada saat bersamaan juga menggelisahkan.
Foto: Studio Batu
Diah yang kepepet oleh persoalan ekonomi masih punya kuasa penuh atas tubuhnya. Sebuah isu yang sedang banyak dibicarakan saat ini sehingga terasa relevan.
Yang dikemukakan Wregas di sini sesungguhnya bukan barang baru. Lebih 20 tahun silam, tepatnya pada 1997, Garin Nugroho sudah memotret fenomena itu dalam film Daun di Atas Bantal. Adegan itu terasa membekas di benak penonton, juga Garin, sehingga sutradara kawakan itu kembali melakukan rekonstruksi atas adegan yang sama dalam film Aach, Aku Jatuh Cinta.
Dikisahkan, Rumi kecil mencoba mengintip rok perempuan di bawah meja dengan menggunakan korek api. Dalam sebuah wawancaranya di media, Wregas berujar bahwa idenya tersebut didapatkannya dari seorang teman.
Teman itu menceritakan pengalamannya bertahun silam kala ditawari oleh seorang penjual wedang rondhe di alun-alun diYogya. Sang pedagangmenawari melihat kelaminnya di bawah meja dengan menggunakan korek api.
Meski temanya tak baru, tapi isu yang disampaikan maupun cara pengemasannya menjadi krusial. Dan itulah yang menjadi kekuatan dari Prenjak (in the Year of Monkey).
Wregas mendorongnya ke titik yang lebih jauh. Ia memainkan isu lokal untuk bisa berbicara di tataran global. Ia mengangkat isu yang begitu purba di bumi ini sekaligus paling sensitif di Indonesia yaitu soal seks, untuk berkelindan dengan otoritas perempuan atas tubuhnya.
Juga bagaimana perempuan berkelit dari kesulitan ekonomi yang mengungkungnya. Jika dalam film-film sebelumnya perempuan menjadi obyek, di sini perempuan tampil di depan sebagai subyeknya.
tulis komentar anda