CERMIN: Kisah Pemusnahan Yahudi di Tengah Pemusnahan Bangsa Palestina oleh Israel
Jum'at, 08 Maret 2024 - 08:40 WIB
JAKARTA - Dear Sinefil, seperti kalian, saya juga adalah bagian dari sekian banyak orang yang sungguh ingin menyaksikan The Zone of Interest di bioskop. Film-film sejenis ini menjadi pengalaman langka menyaksikannya di layar lebar.
Ketertarikan kita semua tentu saja semakin besar setelah film besutan Jonathan Glazer ini juga mampu menjebol daftar nomine Best Picture dalam Academy Awards tahun ini.
Saya datang menonton di Plaza Indonesia Film Festival 2024 sekitar dua minggu lalu, dan itu mungkin dengan ekspektasi berlebihan. Sebelum menyaksikan The Zone Interest, di festival yang sama saya menyaksikan Four Daughters, sebuah film dokumenter dengan pendekatan segar dan menarik. Oleh karena itu saya berharap The Zone of Interest bisa jauh lebih mencengangkan dibanding Four Daughters.
Ketika filmnya dimulai dengan layar hitam yang tak bergerak cukup lama dan perlahan kita mendengar sayup-sayup suara-suara yang sesungguhnya tak terdengar jelas, dalam hati alter-ego saya sebagai film-snob pun muncul.
“Wah, sebuah pendekatan yang cemerlang. Membiarkan layar hitam selama beberapa menit sebagai metafora atas kegelapan yang bakal kita lihat sepanjang film”. Saya antusias menyambut “kegeniusan” Jonathan Glazer sejak dari film dibuka.
Foto: A24
Namunperlahan yang kita lihat adalah sebuah kisah riang, penuh kehangatan, dan juga bahagia dari keluarga kecil yang dinakhodai seorang perwira Jerman bernama Rudolf Hoss (Christian Friedel). Mereka menempati sebuah rumah yang sekilas tak mewah, tapi seiring durasi film kita tahu bahwa sebuah surga dibangun oleh Rudolf untuk keluarganya di sana.
Selain bangunan rumah yang bisa jadi tak seberapa besar, juga ada kebun yang cukup luas untuk bisa bertanam apa pun. Ada juga kolam renang yang bisa digunakan segenap anggota keluarga kapan saja.
Kita melihat dinamika hubungan Rudolf dan istrinya, Hedwig (diperankan dengan cemerlang oleh Sandra Huller, yang tahun ini masuk daftar nomine Best Actress Academy Awards melalui Anatomy of a Fall). Kita melihat bagaimana keluarga kecil ini menjalankan hidupnya dengan ketat dan bahagia dan tak punya kekurangan apa pun.
Kita tak melihat ada yang salah dengan Rudolf yang tampak tak pernah menampakkan kebengisan di depan keluarganya. Yang pernah kita lihat hanyalah Hedwig yang memaki-maki pelayannya, seorang Yahudi, hanya karena persoalan sepele.
Mungkin alter-ego saya adalah seorang film-snob tapi saya juga adalah seorang pembuat film yang sudah melahirkan puluhan karya, baik sebagai produser maupun sebagai sutradara. Bagi saya, film adalah “story told by picture”.
Foto: A24
Karena itulah jika sinefil merasakan kengerian ataupun teror sepanjang film hanya karena mendengar suara-suara teriakan dari kamp pembasmian Yahudi yang terletak tepat di samping rumah keluarga Hoss, saya justru hampir tak merasakan apa pun.
Jadinya mungkin saya tak se-sinefil yang saya duga karena rupanya saya tak bisa ikut larut dalam kengerian dan teror itu. Saya tak merasakan ap apun.
Apakah saya sudah mati rasa atau sesederhana karena saya tak punya kedekatan emosional dengan pembasmian Yahudi di Jerman pada masa Perang Dunia II? Saya hanya tahu sekilas tentang secuplik kisah-kisah sejenis hanya dari sejumlah film utamanya Schlinder’s List yang teramat menggetarkan itu.
Namun ketika saya tak melihat adegan apa pun yang menggambarkan “pembasmian” itu, maka saya merasakan diri saya susah sekali diteror atau bahkan merasa sedikit ngeri.
Ketertarikan kita semua tentu saja semakin besar setelah film besutan Jonathan Glazer ini juga mampu menjebol daftar nomine Best Picture dalam Academy Awards tahun ini.
Saya datang menonton di Plaza Indonesia Film Festival 2024 sekitar dua minggu lalu, dan itu mungkin dengan ekspektasi berlebihan. Sebelum menyaksikan The Zone Interest, di festival yang sama saya menyaksikan Four Daughters, sebuah film dokumenter dengan pendekatan segar dan menarik. Oleh karena itu saya berharap The Zone of Interest bisa jauh lebih mencengangkan dibanding Four Daughters.
Ketika filmnya dimulai dengan layar hitam yang tak bergerak cukup lama dan perlahan kita mendengar sayup-sayup suara-suara yang sesungguhnya tak terdengar jelas, dalam hati alter-ego saya sebagai film-snob pun muncul.
“Wah, sebuah pendekatan yang cemerlang. Membiarkan layar hitam selama beberapa menit sebagai metafora atas kegelapan yang bakal kita lihat sepanjang film”. Saya antusias menyambut “kegeniusan” Jonathan Glazer sejak dari film dibuka.
Foto: A24
Namunperlahan yang kita lihat adalah sebuah kisah riang, penuh kehangatan, dan juga bahagia dari keluarga kecil yang dinakhodai seorang perwira Jerman bernama Rudolf Hoss (Christian Friedel). Mereka menempati sebuah rumah yang sekilas tak mewah, tapi seiring durasi film kita tahu bahwa sebuah surga dibangun oleh Rudolf untuk keluarganya di sana.
Selain bangunan rumah yang bisa jadi tak seberapa besar, juga ada kebun yang cukup luas untuk bisa bertanam apa pun. Ada juga kolam renang yang bisa digunakan segenap anggota keluarga kapan saja.
Kita melihat dinamika hubungan Rudolf dan istrinya, Hedwig (diperankan dengan cemerlang oleh Sandra Huller, yang tahun ini masuk daftar nomine Best Actress Academy Awards melalui Anatomy of a Fall). Kita melihat bagaimana keluarga kecil ini menjalankan hidupnya dengan ketat dan bahagia dan tak punya kekurangan apa pun.
Kita tak melihat ada yang salah dengan Rudolf yang tampak tak pernah menampakkan kebengisan di depan keluarganya. Yang pernah kita lihat hanyalah Hedwig yang memaki-maki pelayannya, seorang Yahudi, hanya karena persoalan sepele.
Mungkin alter-ego saya adalah seorang film-snob tapi saya juga adalah seorang pembuat film yang sudah melahirkan puluhan karya, baik sebagai produser maupun sebagai sutradara. Bagi saya, film adalah “story told by picture”.
Foto: A24
Karena itulah jika sinefil merasakan kengerian ataupun teror sepanjang film hanya karena mendengar suara-suara teriakan dari kamp pembasmian Yahudi yang terletak tepat di samping rumah keluarga Hoss, saya justru hampir tak merasakan apa pun.
Jadinya mungkin saya tak se-sinefil yang saya duga karena rupanya saya tak bisa ikut larut dalam kengerian dan teror itu. Saya tak merasakan ap apun.
Apakah saya sudah mati rasa atau sesederhana karena saya tak punya kedekatan emosional dengan pembasmian Yahudi di Jerman pada masa Perang Dunia II? Saya hanya tahu sekilas tentang secuplik kisah-kisah sejenis hanya dari sejumlah film utamanya Schlinder’s List yang teramat menggetarkan itu.
Namun ketika saya tak melihat adegan apa pun yang menggambarkan “pembasmian” itu, maka saya merasakan diri saya susah sekali diteror atau bahkan merasa sedikit ngeri.
tulis komentar anda