CERMIN: Apa yang Terjadi dengan Henrietta dan Junior pada 2065?
Jum'at, 19 Januari 2024 - 13:19 WIB
JAKARTA - Tahun 2065. Terjadi kekurangan pangan dan air, migrasi massal, perang sumber daya, bencana besar plus kerusuhan politik dan ekonomi berskala besar.
Setidaknya itu yang dibayangkan kandidat PhD, Gioia Barnbook, ketika menulis esai tentang yang akan terjadi pada tahun 2065. Sebuah esai yang menjadi salah satu pemenang dalam kompetisi penulisan yang diselenggarakan Economic and Social Research’s Council pada 2015.
Setidaknya pula ada gambaran yang mirip dari yang dibayangkan Gioia dan yang diimajinasikan novelis Iain Reid ketika menulis Foe. Akan terjadi kekurangan air di Bumi yang akan membuat manusia melakukan migrasi ke Bulan maupun Mars dan meninggalkan Bumi yang sekarat begitu saja.
Tapi Foe versi novelnya tak bercerita sesederhana sebuah upaya mencari kehidupan yang lebih baik di luar angkasa 40 tahun dari sekarang. Bahkan soal luar angkasa lebih tepat jika disebut sebagai metafora. Iain ingin bercerita lebih subtil soal perasaan terisolasi dan manusia-manusia yang terjebak di dalamnya.
Ia mengajak kita berkenalan dengan dua karakter utamanya, Henrietta dan Junior. Pasangan muda Hen (panggilan Henrietta) dan Junior sesungguhnya tak kekurangan apa pun. Keduanya dalam usia emas dan produktif, juga dibekali tampilan fisik yang sama-sama rupawan.
Foto: See-Saw Films
Foe versi novel begitu lancar mengupas lapis demi lapis bagaimana isolasi memerangkap pasangan ini. Sedangkan yang terjadi dalam film justru sebaliknya. Kita tahu ada masalah di antara keduanya, tapi hingga film berakhir tak pernah jelas penyebabnya, mengapa masalah tersebut tak bisa mereka selesaikan, dan mengapa pula pernikahan mereka memerlukan intervensi berupa rencana perjalanan Junior ke luar angkasa.
Novel dan film adalah dua medium yang berbeda. Pakem ini seharusnya memang perlu disadari sepenuhnya oleh Garth Davis yang menyutradarai sekaligus menulis skenario filmnya bersama Iain.
Ia gagal mentransfer benang merah utama cerita soal isolasi. Film hanya memperlihatkan kedua karakter tinggal di sebuah lokasi terpencil, tanpa tetangga dan tanpa seorang pun yang berada dalam radius yang dekat dengan mereka.
Jarak di antara mereka berdua pun tak pernah benar-benar bisa kita mengerti karena Garth tak pernah menjelaskan dengan gamblang apa yang sesungguhnya terjadi di antara mereka. Membahas soal isolasi di sebuah ruang visual memang sesuatu yang menantang, tapi seharusnya sedari awal ketika memutuskan mengadaptasi materi ini.
Foto: See-Saw Films
Garth perlu menyusuri kemungkinan-kemungkinan yang bisa dilakukan untuk bisa “memperlihatkan” soal isolasi ini kepada penonton.
Akibatnya sepanjang film kita begitu mudah bosan menyaksikan hubungan cinta-benci Hen dan Junir meskipun dimainkan dengan asyik oleh sesama nomine Oscar, Saoirse Ronan dan Paul Mescal. Kita susah untuk bersimpati pada mereka, pada salah satu atau keduanya, juga pada masalah yang mereka alami karena kita tak pernah benar-benar diberi pemahaman yang cukup tentang yang sesungguhnya menimpa hubungan mereka.
Begitu juga ketika babak baru cerita dimulai dengan kedatangan seorang asing yang mengajak (atau memaksa?) Junior untuk ikut dalam sebuah misi percobaan ke luar angkasa, mencari hunian baru untuk manusia. Terrance, orang asing itu, diplot menjadi benalu dalam pernikahan Hen dan Junior, yang memang telah bermasalah sejak awal.
Namun tak pernah benar-benar diperlihatkan bahwa ia membuat pernikahan dua karakter utama semakin bermasalah. Metafora tentang luar angkasa yang ditulis dengan indah dalam novelnya menjadi sangat kabur ketika ditransformasikan ke dalam skenario film.
Setidaknya itu yang dibayangkan kandidat PhD, Gioia Barnbook, ketika menulis esai tentang yang akan terjadi pada tahun 2065. Sebuah esai yang menjadi salah satu pemenang dalam kompetisi penulisan yang diselenggarakan Economic and Social Research’s Council pada 2015.
Setidaknya pula ada gambaran yang mirip dari yang dibayangkan Gioia dan yang diimajinasikan novelis Iain Reid ketika menulis Foe. Akan terjadi kekurangan air di Bumi yang akan membuat manusia melakukan migrasi ke Bulan maupun Mars dan meninggalkan Bumi yang sekarat begitu saja.
Tapi Foe versi novelnya tak bercerita sesederhana sebuah upaya mencari kehidupan yang lebih baik di luar angkasa 40 tahun dari sekarang. Bahkan soal luar angkasa lebih tepat jika disebut sebagai metafora. Iain ingin bercerita lebih subtil soal perasaan terisolasi dan manusia-manusia yang terjebak di dalamnya.
Ia mengajak kita berkenalan dengan dua karakter utamanya, Henrietta dan Junior. Pasangan muda Hen (panggilan Henrietta) dan Junior sesungguhnya tak kekurangan apa pun. Keduanya dalam usia emas dan produktif, juga dibekali tampilan fisik yang sama-sama rupawan.
Foto: See-Saw Films
Foe versi novel begitu lancar mengupas lapis demi lapis bagaimana isolasi memerangkap pasangan ini. Sedangkan yang terjadi dalam film justru sebaliknya. Kita tahu ada masalah di antara keduanya, tapi hingga film berakhir tak pernah jelas penyebabnya, mengapa masalah tersebut tak bisa mereka selesaikan, dan mengapa pula pernikahan mereka memerlukan intervensi berupa rencana perjalanan Junior ke luar angkasa.
Novel dan film adalah dua medium yang berbeda. Pakem ini seharusnya memang perlu disadari sepenuhnya oleh Garth Davis yang menyutradarai sekaligus menulis skenario filmnya bersama Iain.
Ia gagal mentransfer benang merah utama cerita soal isolasi. Film hanya memperlihatkan kedua karakter tinggal di sebuah lokasi terpencil, tanpa tetangga dan tanpa seorang pun yang berada dalam radius yang dekat dengan mereka.
Jarak di antara mereka berdua pun tak pernah benar-benar bisa kita mengerti karena Garth tak pernah menjelaskan dengan gamblang apa yang sesungguhnya terjadi di antara mereka. Membahas soal isolasi di sebuah ruang visual memang sesuatu yang menantang, tapi seharusnya sedari awal ketika memutuskan mengadaptasi materi ini.
Foto: See-Saw Films
Garth perlu menyusuri kemungkinan-kemungkinan yang bisa dilakukan untuk bisa “memperlihatkan” soal isolasi ini kepada penonton.
Akibatnya sepanjang film kita begitu mudah bosan menyaksikan hubungan cinta-benci Hen dan Junir meskipun dimainkan dengan asyik oleh sesama nomine Oscar, Saoirse Ronan dan Paul Mescal. Kita susah untuk bersimpati pada mereka, pada salah satu atau keduanya, juga pada masalah yang mereka alami karena kita tak pernah benar-benar diberi pemahaman yang cukup tentang yang sesungguhnya menimpa hubungan mereka.
Begitu juga ketika babak baru cerita dimulai dengan kedatangan seorang asing yang mengajak (atau memaksa?) Junior untuk ikut dalam sebuah misi percobaan ke luar angkasa, mencari hunian baru untuk manusia. Terrance, orang asing itu, diplot menjadi benalu dalam pernikahan Hen dan Junior, yang memang telah bermasalah sejak awal.
Namun tak pernah benar-benar diperlihatkan bahwa ia membuat pernikahan dua karakter utama semakin bermasalah. Metafora tentang luar angkasa yang ditulis dengan indah dalam novelnya menjadi sangat kabur ketika ditransformasikan ke dalam skenario film.
tulis komentar anda