Review Film Kelas Malam: saat Film Horor Memenuhi Hakikat Sejatinya
Rabu, 04 Oktober 2023 - 13:06 WIB
Tren dan Fitrah Film Horor
Saat ini, film-film horor internasional mulai memasuki fase kemasan cerita yang dibuat tidak mengandalkan ketakutan dan adegan kejut semata. Dengan istilah elevated horror,film-film jenis ini juga menyajikan cerita lebih mendalam dari sekadar hantu penasaran yang membalas dendam dan tak diterima bumi. Film-film seperti Babadook, Midsommar, Us, It Follows, hingga yang rilis baru-baru ini, Talk To Me termasuk dalam kategori ini.
Selain membungkus kisah depresi hingga trauma menjadi momok horor, elevated horror juga seakan menaikkan kelas film horor yang biasanya dipandang sebelah mata menjadi sajian artistik yang multi-dimensional. Tapi, tak semua orang senang dijejali horor artistik semacam ini.
Terkadang penonton juga butuh hiburan ringan yang seru untuk sekadar melepas penat, bukan? Yang tanpa tedeng aling-aling langsung ke inti adegan seramnya tanpa membebani otak untuk berpikir habis-habisan.
Membahas film horor non-elevatedmenarik karena dianggap sebagai genre yang aman untuk mendulang penonton. Film-film seperti ini pada umumnya memiliki misi utama tak lebih untuk menakut-takuti penontonnya tanpa ampun. Semakin mengejutkan dan kreatif adegan yang dimunculkan, niscaya penikmat horor makin mengapresiasi film horor tersebut.
Cukup menarik karena banyak orang yang senang untuk ditakut-takuti. Pasalnya, saat kondisi manusia dalam keadaan ketakutan, hormon adrenalin mengalir deras ke tubuh memberikan sensasi ke sekujur raga.
Secara ilmiah, sebuah penelitian di University of Denmark memang menguatkan hal tersebut melalui riset mereka. Dari hasil eksperimen, didapatkan hasil bahwa saat menonton film horor, tubuh dan otak merespons hal tersebut sebagai ancaman atau bahaya yang seakan-akan sungguh terjadi.
Hal ini merangsang beberapa bagian otak, seperti amygdala dan insula untuk merespons dan melepas adrenalin ke sekujur tubuh, memberikan sensasi yang menaikkan semangat selepas dari rasa ketakutan tadi. Hal inilah yang dirasakan banyak penikmat film-film seram sehingga mereka merasa puas dan bergairah pasca ditakut-takuti sedemikian rupa.
Foto: Dok. Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Ciputra Surabaya
Kisah urban di sekolah yang menjadi latarnya juga menjadi hal yang dekat bagi penonton kebanyakan, karena di tiap sekolah pasti ada legenda urbannya masing-masing. Contohnya di sekolah saya dulu memiliki kisah seram toilet yang ditutup karena kabar angin soal tragedi seorang siswa yang kerap mengalami perundungan.
Saat perundungannya terjadi tepat sebelum libur panjang sekolah, siswa malang ini dikunci di toilet belakang yang letaknya jauh dari gedung utama sekolah oleh para perundungnya. Ia tak terlacak hingga libur usai dan jenazahnya ditemukan berminggu-minggu kemudian dalam kondisi mengenaskan karena kelaparan. Hal ini memaksa pihak sekolah untuk menutup toilet itu hingga bertahun-tahun kemudian.
Konon kabarnya arwah siswa malang ini kerap berkeliaran di sekitar toilet dan terkadang terdengar garukan-garukan jarinya di pintu WC celaka tersebut. Legenda urban ini yang bisa jadi cuma karangan cocoklogi dengan toilet yang kemungkinan sudah rusak sehingga ditutup dan terbengkalai, tapi tetap menarik perhatian siswa-siswi yang masuk silih berganti untuk menceritakannya dari satu angkatan ke angkatan berikutnya.
Kedekatan cerita legenda urban dengan masyarakat pula yang membuat legenda urban terus menerus didaur ulang, dijadikan sumber mata air tak berkesudahan bagi banyak film horor nasional. Kisah Si Manis, kuntilanak merah, suster ngesot, nenek gayung, sampai pastor tak berkepala di pemakaman Jeruk Purut umumnya laris manis memancing penonton karena unsur lokal yang terasa lebih mengena ketimbang setan-setan luar yang meskipun tak kalah seram, tapi terasa jauh dan sangat kecil kemungkinannya melihat vampir atau zombi berkeliaran di negara kita.
Dengan racikan formula yang masih klise, untungnya Kelas Malam terbilang cukup sukses memenuhi fitrah utamanya sebagai film horor, yaitu membawa penontonnya pada kondisi menakutkan dengan logika yang masih bisa dimaklumi. Penutupnya yang juga khas ditemui dalam kebanyakan film sejenis pun masih bisa diterima.
Ini karena secara keseluruhan Kelas Malam masih menghibur dan menyenangkan dengan adegan-adegan efektif yang tidak memberikan ruang untuk tenang kala teror sang suster setan datang menggempur tanpa henti.
M Tegar Pratama Putra
Pencinta dan penikmat film
Saat ini, film-film horor internasional mulai memasuki fase kemasan cerita yang dibuat tidak mengandalkan ketakutan dan adegan kejut semata. Dengan istilah elevated horror,film-film jenis ini juga menyajikan cerita lebih mendalam dari sekadar hantu penasaran yang membalas dendam dan tak diterima bumi. Film-film seperti Babadook, Midsommar, Us, It Follows, hingga yang rilis baru-baru ini, Talk To Me termasuk dalam kategori ini.
Selain membungkus kisah depresi hingga trauma menjadi momok horor, elevated horror juga seakan menaikkan kelas film horor yang biasanya dipandang sebelah mata menjadi sajian artistik yang multi-dimensional. Tapi, tak semua orang senang dijejali horor artistik semacam ini.
Terkadang penonton juga butuh hiburan ringan yang seru untuk sekadar melepas penat, bukan? Yang tanpa tedeng aling-aling langsung ke inti adegan seramnya tanpa membebani otak untuk berpikir habis-habisan.
Membahas film horor non-elevatedmenarik karena dianggap sebagai genre yang aman untuk mendulang penonton. Film-film seperti ini pada umumnya memiliki misi utama tak lebih untuk menakut-takuti penontonnya tanpa ampun. Semakin mengejutkan dan kreatif adegan yang dimunculkan, niscaya penikmat horor makin mengapresiasi film horor tersebut.
Cukup menarik karena banyak orang yang senang untuk ditakut-takuti. Pasalnya, saat kondisi manusia dalam keadaan ketakutan, hormon adrenalin mengalir deras ke tubuh memberikan sensasi ke sekujur raga.
Secara ilmiah, sebuah penelitian di University of Denmark memang menguatkan hal tersebut melalui riset mereka. Dari hasil eksperimen, didapatkan hasil bahwa saat menonton film horor, tubuh dan otak merespons hal tersebut sebagai ancaman atau bahaya yang seakan-akan sungguh terjadi.
Hal ini merangsang beberapa bagian otak, seperti amygdala dan insula untuk merespons dan melepas adrenalin ke sekujur tubuh, memberikan sensasi yang menaikkan semangat selepas dari rasa ketakutan tadi. Hal inilah yang dirasakan banyak penikmat film-film seram sehingga mereka merasa puas dan bergairah pasca ditakut-takuti sedemikian rupa.
Foto: Dok. Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Ciputra Surabaya
Kisah urban di sekolah yang menjadi latarnya juga menjadi hal yang dekat bagi penonton kebanyakan, karena di tiap sekolah pasti ada legenda urbannya masing-masing. Contohnya di sekolah saya dulu memiliki kisah seram toilet yang ditutup karena kabar angin soal tragedi seorang siswa yang kerap mengalami perundungan.
Saat perundungannya terjadi tepat sebelum libur panjang sekolah, siswa malang ini dikunci di toilet belakang yang letaknya jauh dari gedung utama sekolah oleh para perundungnya. Ia tak terlacak hingga libur usai dan jenazahnya ditemukan berminggu-minggu kemudian dalam kondisi mengenaskan karena kelaparan. Hal ini memaksa pihak sekolah untuk menutup toilet itu hingga bertahun-tahun kemudian.
Konon kabarnya arwah siswa malang ini kerap berkeliaran di sekitar toilet dan terkadang terdengar garukan-garukan jarinya di pintu WC celaka tersebut. Legenda urban ini yang bisa jadi cuma karangan cocoklogi dengan toilet yang kemungkinan sudah rusak sehingga ditutup dan terbengkalai, tapi tetap menarik perhatian siswa-siswi yang masuk silih berganti untuk menceritakannya dari satu angkatan ke angkatan berikutnya.
Kedekatan cerita legenda urban dengan masyarakat pula yang membuat legenda urban terus menerus didaur ulang, dijadikan sumber mata air tak berkesudahan bagi banyak film horor nasional. Kisah Si Manis, kuntilanak merah, suster ngesot, nenek gayung, sampai pastor tak berkepala di pemakaman Jeruk Purut umumnya laris manis memancing penonton karena unsur lokal yang terasa lebih mengena ketimbang setan-setan luar yang meskipun tak kalah seram, tapi terasa jauh dan sangat kecil kemungkinannya melihat vampir atau zombi berkeliaran di negara kita.
Dengan racikan formula yang masih klise, untungnya Kelas Malam terbilang cukup sukses memenuhi fitrah utamanya sebagai film horor, yaitu membawa penontonnya pada kondisi menakutkan dengan logika yang masih bisa dimaklumi. Penutupnya yang juga khas ditemui dalam kebanyakan film sejenis pun masih bisa diterima.
Ini karena secara keseluruhan Kelas Malam masih menghibur dan menyenangkan dengan adegan-adegan efektif yang tidak memberikan ruang untuk tenang kala teror sang suster setan datang menggempur tanpa henti.
M Tegar Pratama Putra
Pencinta dan penikmat film
(ita)
tulis komentar anda