CERMIN: Mandala, Puisi, Teka-Teki, dan Narasi yang Tak Perlu
Rabu, 02 Agustus 2023 - 14:19 WIB
JAKARTA - Tahun 1928. Psikoanalis, Carl Jung, memperkenalkan mandala ke dunia Barat. Sebuah simbol yang dianggap berguna bagi mereka yang sedang merasakan kehilangan.
Mandala dalam bahasa Sansekerta berarti lingkaran, dan melambangkan bola, lingkungan, serta komunitas. Dalam Buddhisme, mandala digunakan untuk bermeditasi dan merenungkan ketidakkekalan kehidupan. Mandala sekaligus merupakan ringkasan dari manifestasi spasial, gambaran dunia, dan representasi kekuatan ilahi.
Mandala menjadi titik tolak bercerita dari film terbaru garapan Umay Shahab, film Ketika Berhenti di Sini. Digambarkan dengan empat arah mata angin sebagai simbol dan dijadikan pintu masuk bagi Umay untuk bercerita.
Pemilihan mandala sebagai simbol sesungguhnya brilian, sayangnya mandala hanya berhenti sebagai teks, tak dieksplorasi lebih jauh sebagai subteks. Kita hanya melihat mandala sekilas, dalam beberapa gambar dan terutama dalam narasi yang dilontarkan tokoh utama, Dita, yang tak sepenuhnya efektif. Padahal jika bisa diakulturasikan dengan asyik ke dalam cerita, maka memaknai kehilangan, kematian, dan keikhlasan setelahnya bisa jadi akan lebih terasa.
Foto: Sinemaku Pictures
Karena keliru memilih pijakan dan terlalu terpaku pada narasi yang terasa berpanjang-panjang, maka Ketika Berhenti di Sinijuga terasa salah dalam memulai ceritanya. Saya membayangkan memulai cerita yang sesungguhnya segar ini dengan cara berbeda. Dita yang baru saja ditinggal ayahnya (bukan 8 tahun sebagaimana dalam film) tak perlu lama bersedih hati. Selain punya tiga sahabat yang sudah bersamanya sejak SMA, ia juga kini punya Ed. seseorang yang hadir tanpa sengaja dalam hidupnya.
Tapi mungkin memang tak ada ketaksengajaan dalam hidup. Ed mungkin memang dihadirkan oleh Tuhan untuk menemani Dita dalam hari-hari terburuknya. Saya membayangkan adegan film dalam lima menit pertama lebih menggambarkan bagaimana kedekatan Dita dan ayahnya dan bagaimana ayahnya mengenalkan simbol mandala yang menjadi filosofi penting dalam hidup mereka setelahnya.
Ketimbang sekadar mendongengkan filosofi mandala, penonton perlu diperlihatkan bahwa sejak kecil mandala telah hadir dan penting dalam hidup Dita. Ia bukan sekadar simbol, tapi juga menjadi penanda beberapa titik penting dalam hidupnya.
Karena itulahketika Ed juga pergi secara mendadak sebagaimana sang ayah, Dita hancur berkeping-keping. Kita pun ikut merasakan kehancuran itu. Kita tak perlu melihat Dita yang menangis meraung-raung. Mungkin kita hanya perlu melihat Dita yang menangis diam-diam dalam gelap dalam banyak kesempatan.
Foto: Sinemaku Pictures
Saya pernah dua kali merasakan kehilangan setara yang dialami Dita. Ketika kelas 1 SMA, saya kehilangan ibu saya karena kecelakaan mobil dan pada usia 30 ketika adik saya meninggal karena AIDS. Tapi karena momentum 'merasakan kehilangan' ini tak diberi waktu dalam Ketika Berhenti Di Sini, jadinya sayatak ikut menangis bersama Dita.
Ketika Ed pergi pun, saya tak merasakah kehilangan semata karena skenario yang ditulis bersama Alim Sudio dan Umay itu tak memberi ruang lebih banyak bagi Dita dan Ed mengeksplorasi momen-momen intim, bukan sekadar mesra. Momen-momen keduanya mencoba saling menyempurnakan, momen-momen keduanya berbicara dari hati ke hati tentang banyak hal, termasuk soal kehilangan, kematian dan juga masa depan.
Selain narasi yang tak efektif, puisi dan teka-teki yang sekali lagi sesungguhnya potensial dieksplorasi, hanya menjadi teks dan tak kunjung menjadi subteks yang menggigit. Tak pernah ada introduksi soal kecintaan Dita pada puisi dan teka-teki, hal yang terakhir yang membuatnya tertarik pada Ed (selain karena Ed berpenampilan ganteng dan charming tentunya).
Padahal puisi dan teka-teki ini juga sangat bisa efektif ketika ia hadir dari masa lalu Dita bersama ayahnya dan memori itu dibangkitkan lagi tanpa sengaja oleh Ed. Sekali lagi sesungguhnya tak ada ketidaksengajaan dalam hidup ini. Bisa jadi Ed memang dihadirkan oleh Tuhan untuk mengingatkan Dita pada hal-hal kecil yang perlu disyukurinya dalam hidup.
Foto: Sinemaku Pictures
Mandala dalam bahasa Sansekerta berarti lingkaran, dan melambangkan bola, lingkungan, serta komunitas. Dalam Buddhisme, mandala digunakan untuk bermeditasi dan merenungkan ketidakkekalan kehidupan. Mandala sekaligus merupakan ringkasan dari manifestasi spasial, gambaran dunia, dan representasi kekuatan ilahi.
Mandala menjadi titik tolak bercerita dari film terbaru garapan Umay Shahab, film Ketika Berhenti di Sini. Digambarkan dengan empat arah mata angin sebagai simbol dan dijadikan pintu masuk bagi Umay untuk bercerita.
Pemilihan mandala sebagai simbol sesungguhnya brilian, sayangnya mandala hanya berhenti sebagai teks, tak dieksplorasi lebih jauh sebagai subteks. Kita hanya melihat mandala sekilas, dalam beberapa gambar dan terutama dalam narasi yang dilontarkan tokoh utama, Dita, yang tak sepenuhnya efektif. Padahal jika bisa diakulturasikan dengan asyik ke dalam cerita, maka memaknai kehilangan, kematian, dan keikhlasan setelahnya bisa jadi akan lebih terasa.
Foto: Sinemaku Pictures
Karena keliru memilih pijakan dan terlalu terpaku pada narasi yang terasa berpanjang-panjang, maka Ketika Berhenti di Sinijuga terasa salah dalam memulai ceritanya. Saya membayangkan memulai cerita yang sesungguhnya segar ini dengan cara berbeda. Dita yang baru saja ditinggal ayahnya (bukan 8 tahun sebagaimana dalam film) tak perlu lama bersedih hati. Selain punya tiga sahabat yang sudah bersamanya sejak SMA, ia juga kini punya Ed. seseorang yang hadir tanpa sengaja dalam hidupnya.
Tapi mungkin memang tak ada ketaksengajaan dalam hidup. Ed mungkin memang dihadirkan oleh Tuhan untuk menemani Dita dalam hari-hari terburuknya. Saya membayangkan adegan film dalam lima menit pertama lebih menggambarkan bagaimana kedekatan Dita dan ayahnya dan bagaimana ayahnya mengenalkan simbol mandala yang menjadi filosofi penting dalam hidup mereka setelahnya.
Ketimbang sekadar mendongengkan filosofi mandala, penonton perlu diperlihatkan bahwa sejak kecil mandala telah hadir dan penting dalam hidup Dita. Ia bukan sekadar simbol, tapi juga menjadi penanda beberapa titik penting dalam hidupnya.
Karena itulahketika Ed juga pergi secara mendadak sebagaimana sang ayah, Dita hancur berkeping-keping. Kita pun ikut merasakan kehancuran itu. Kita tak perlu melihat Dita yang menangis meraung-raung. Mungkin kita hanya perlu melihat Dita yang menangis diam-diam dalam gelap dalam banyak kesempatan.
Foto: Sinemaku Pictures
Saya pernah dua kali merasakan kehilangan setara yang dialami Dita. Ketika kelas 1 SMA, saya kehilangan ibu saya karena kecelakaan mobil dan pada usia 30 ketika adik saya meninggal karena AIDS. Tapi karena momentum 'merasakan kehilangan' ini tak diberi waktu dalam Ketika Berhenti Di Sini, jadinya sayatak ikut menangis bersama Dita.
Ketika Ed pergi pun, saya tak merasakah kehilangan semata karena skenario yang ditulis bersama Alim Sudio dan Umay itu tak memberi ruang lebih banyak bagi Dita dan Ed mengeksplorasi momen-momen intim, bukan sekadar mesra. Momen-momen keduanya mencoba saling menyempurnakan, momen-momen keduanya berbicara dari hati ke hati tentang banyak hal, termasuk soal kehilangan, kematian dan juga masa depan.
Selain narasi yang tak efektif, puisi dan teka-teki yang sekali lagi sesungguhnya potensial dieksplorasi, hanya menjadi teks dan tak kunjung menjadi subteks yang menggigit. Tak pernah ada introduksi soal kecintaan Dita pada puisi dan teka-teki, hal yang terakhir yang membuatnya tertarik pada Ed (selain karena Ed berpenampilan ganteng dan charming tentunya).
Padahal puisi dan teka-teki ini juga sangat bisa efektif ketika ia hadir dari masa lalu Dita bersama ayahnya dan memori itu dibangkitkan lagi tanpa sengaja oleh Ed. Sekali lagi sesungguhnya tak ada ketidaksengajaan dalam hidup ini. Bisa jadi Ed memang dihadirkan oleh Tuhan untuk mengingatkan Dita pada hal-hal kecil yang perlu disyukurinya dalam hidup.
Foto: Sinemaku Pictures
Lihat Juga :
tulis komentar anda