CERMIN: Bisakah Kita Menonton Film Tanpa Pretensi, Teori, dan Referensi?
Sabtu, 21 Januari 2023 - 13:27 WIB
JAKARTA - Tahun 2000. Saya diminta membantu mengorganisir Jakarta International Film Festival (JIFFest) Traveling di Makassar dan mulai berkenalan dengan film-film berkualitas dari seluruh dunia.
Tahun itu saya merasa seperti jatuh cinta untuk kedua kalinya dengan film . Dalam periode awal tahun 2000-an, saya mengonsumsi puluhan film kelas festival mulai dari City of God-nya Fernando Meirelles, Quitting-nya Zhang Yang hingga Divine Intervention-nya Elia Suleiman. Waktu itu saya masih berkuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin dan tak pernah terpikirkan sama sekali bahwa suatu saat saya akan berkarier secara profesional dalam industri film.
Setelah JIFFest Travelling, saya terperosok lebih dalam ke dunia film. Secara positif tentunya. Sebagai pekerja film yang tak pernah merasakan pendidikan formal dalam bidang film, salah satu cara saya belajar adalah dengan menonton sebanyak mungkin film bagus.
Selain menonton, saya juga banyak membaca buku tentang film. Saya melahap The Definitive Guide to Screenwriting-nya Syd Field, On Directing Film-nya David Mamet hingga Painting With Light-nya John Alton. Tapi selain belajar, saya juga tetap menjadi penonton film seperti lainnya.
Foto: Kaninga Pictures
Saya meletakkan segala teori yang saya baca dan pelajari di depan pintu masuk studio bioskop sebelum menikmati sebuah film. Saya juga termasuk jenis penonton yang enggan membaca director’s statement sebelum menonton sebuah film. Dan saya, terutama, adalah jenis penonton yang sering menonton film tanpa perlu tahu tentang sinopsis hingga review atas film tersebut.
Saya mencoba menonton Autobiography padaKamis malam atau hari pertama perilisannya di bioskop, di Blok M Square, dengan membuang segala pretensi, teori dan referensi. Tapi apakah bisa saya melakukannya?
Sebelum beredar di bioskop, Autobiographysudah mendapat beragam review dari media film terkemuka dunia. Jessica Kiang dari Variety menulis seperti ini, “But in large part, Autobiography is an auspicious, atmospheric first feature that knows how to co-opt generic conventions and a richly cinematic style, in order to illuminate some of the the darkest recesses of Indonesia’s recent history. Without laboring the allegory overmuch, Mubarak, working from his own nicely pared-back screenplay, builds up a convincing if despairing vision of the legacy of atrocity, in which the children of the Indonesian dictatorship era can only fully reckon with their nation’s violent past by taking on some of its attributes themselves, at significant cost to their souls.”
Baca Juga: CERMIN: Kisah Saeed yang Ingin Mati sebagai Martir
Allan Hunter menulis di Screen Daily sebagai berikut, “Proximity to power threatens to taint the soul in the debut feature of critic-turned-filmmaker Makbul Mubarak, a taut, brooding thriller based around the dynamics between a naive young housekeeper and a retired general. As the personal and the political blend, Mubarak reflects the much wider issue of corruption’s spell over Indonesia and beyond. A gripping tale that marks Mubarak as a powerful new voice, it should find ample interest from arthouse distributors and streamers following festival screenings in Venice, Toronto and Busan.”
Foto: Kaninga Pictures
Damon Wise menulis di Deadline seperti ini, “Forget the overly poetic title, Makbul Mubarak’s terrific Indonesian thriller Autobiography— which premieres in the Venice Film Festival’s Horizonssection — is a genuine discovery here, a taut and elegantly staged two-hander that transcends regional politics to make a profound comment on the state of the world today. American arthouse audiences should be especially receptive to its riveting portrayal of a charismatic candidate running for mayoral office whose populist image masks a very fragile ego and a desire to maintain absolute power at any cost.”
Maka sekali lagi saya menjadi penonton biasa. Saya tak mempedulikan review-review tersebut. Dan yang saya saksikan adalah sebuah cerita tentang seorang pensiunan jenderal yang ingin menjadi bupati dengan menggunakan segala cara yang dipahaminya.
Di tengah-tengah ambisi ini ada seorang anak muda yang lugu yang berusaha menjadi pesuruh yang patuh tapi pada saat bersamaan akhirnya menyadari ada sesuatu yang tak beres dengan si jenderal. Saya mencoba menikmati Autobiographydari kaca mata ini. Sekali lagi, tanpa embel-embel pretensi, teori, dan referensi.
Sebagai penonton biasa, yang terpenting buat saya ketika menonton film adalah saya terkoneksi dengan cerita maupun karakter-karakternya. Mungkin saya pernah berada di dunia mereka, mungkin saya pernah mengalami situasi yang dialami karakter-karakternya. Juga apakah saya merasakan kebimbangan hingga kegelisahan yang dialami karakter-karakternya.
Foto: Kaninga Pictures
Tahun itu saya merasa seperti jatuh cinta untuk kedua kalinya dengan film . Dalam periode awal tahun 2000-an, saya mengonsumsi puluhan film kelas festival mulai dari City of God-nya Fernando Meirelles, Quitting-nya Zhang Yang hingga Divine Intervention-nya Elia Suleiman. Waktu itu saya masih berkuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin dan tak pernah terpikirkan sama sekali bahwa suatu saat saya akan berkarier secara profesional dalam industri film.
Setelah JIFFest Travelling, saya terperosok lebih dalam ke dunia film. Secara positif tentunya. Sebagai pekerja film yang tak pernah merasakan pendidikan formal dalam bidang film, salah satu cara saya belajar adalah dengan menonton sebanyak mungkin film bagus.
Selain menonton, saya juga banyak membaca buku tentang film. Saya melahap The Definitive Guide to Screenwriting-nya Syd Field, On Directing Film-nya David Mamet hingga Painting With Light-nya John Alton. Tapi selain belajar, saya juga tetap menjadi penonton film seperti lainnya.
Foto: Kaninga Pictures
Saya meletakkan segala teori yang saya baca dan pelajari di depan pintu masuk studio bioskop sebelum menikmati sebuah film. Saya juga termasuk jenis penonton yang enggan membaca director’s statement sebelum menonton sebuah film. Dan saya, terutama, adalah jenis penonton yang sering menonton film tanpa perlu tahu tentang sinopsis hingga review atas film tersebut.
Saya mencoba menonton Autobiography padaKamis malam atau hari pertama perilisannya di bioskop, di Blok M Square, dengan membuang segala pretensi, teori dan referensi. Tapi apakah bisa saya melakukannya?
Sebelum beredar di bioskop, Autobiographysudah mendapat beragam review dari media film terkemuka dunia. Jessica Kiang dari Variety menulis seperti ini, “But in large part, Autobiography is an auspicious, atmospheric first feature that knows how to co-opt generic conventions and a richly cinematic style, in order to illuminate some of the the darkest recesses of Indonesia’s recent history. Without laboring the allegory overmuch, Mubarak, working from his own nicely pared-back screenplay, builds up a convincing if despairing vision of the legacy of atrocity, in which the children of the Indonesian dictatorship era can only fully reckon with their nation’s violent past by taking on some of its attributes themselves, at significant cost to their souls.”
Baca Juga: CERMIN: Kisah Saeed yang Ingin Mati sebagai Martir
Allan Hunter menulis di Screen Daily sebagai berikut, “Proximity to power threatens to taint the soul in the debut feature of critic-turned-filmmaker Makbul Mubarak, a taut, brooding thriller based around the dynamics between a naive young housekeeper and a retired general. As the personal and the political blend, Mubarak reflects the much wider issue of corruption’s spell over Indonesia and beyond. A gripping tale that marks Mubarak as a powerful new voice, it should find ample interest from arthouse distributors and streamers following festival screenings in Venice, Toronto and Busan.”
Foto: Kaninga Pictures
Damon Wise menulis di Deadline seperti ini, “Forget the overly poetic title, Makbul Mubarak’s terrific Indonesian thriller Autobiography— which premieres in the Venice Film Festival’s Horizonssection — is a genuine discovery here, a taut and elegantly staged two-hander that transcends regional politics to make a profound comment on the state of the world today. American arthouse audiences should be especially receptive to its riveting portrayal of a charismatic candidate running for mayoral office whose populist image masks a very fragile ego and a desire to maintain absolute power at any cost.”
Maka sekali lagi saya menjadi penonton biasa. Saya tak mempedulikan review-review tersebut. Dan yang saya saksikan adalah sebuah cerita tentang seorang pensiunan jenderal yang ingin menjadi bupati dengan menggunakan segala cara yang dipahaminya.
Di tengah-tengah ambisi ini ada seorang anak muda yang lugu yang berusaha menjadi pesuruh yang patuh tapi pada saat bersamaan akhirnya menyadari ada sesuatu yang tak beres dengan si jenderal. Saya mencoba menikmati Autobiographydari kaca mata ini. Sekali lagi, tanpa embel-embel pretensi, teori, dan referensi.
Sebagai penonton biasa, yang terpenting buat saya ketika menonton film adalah saya terkoneksi dengan cerita maupun karakter-karakternya. Mungkin saya pernah berada di dunia mereka, mungkin saya pernah mengalami situasi yang dialami karakter-karakternya. Juga apakah saya merasakan kebimbangan hingga kegelisahan yang dialami karakter-karakternya.
Foto: Kaninga Pictures
Lihat Juga :
tulis komentar anda