CERMIN: Kisah Saeed yang Ingin Mati sebagai Martir
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tahun 2001. Saya masih berkutat dengan mata kuliah nan sulit di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin dan Kebo menghabiskan hidupnya dengan teler, bercinta dengan pelacur, dan membuat onar di sekitar pemukimannya.
Nama aslinya Ratno bin Karja. Entah mengapa berubah menjadi Kebo setibanya di ibu kota. Hidupnya luntang-lantung tak jelas dan lama-lama menjadi benalu bagi banyak orang.
Perilakunya yang petantang-petenteng tak disukai orang-orang di sekitarnya. Ditambah dengan hobinya mabuk-mabukan, mengencani sembarang perempuan di rumahnya, komplit sudah alasan untuk membenci Kebo.
Hingga akhirnya Kebo dibakar. Ia dikeroyok oleh sekitar 32 warga yang mungkin sudah tak tahan dengan ulahnya. Kedua tangan dan kakinya terikat erat oleh kawat. Ia tak bisa melawan amarah dari mereka yang merasa ditindas olehnya. Kebo yang dianggap sampah masyarakat harus dienyahkan dari muka bumi. Bila perlu dibakar sekalian!
Saya membaca kisah Kebo yang dituturkan secara luar biasa menarik oleh Linda Christanty di majalah Pantau. Pada saat yang nyaris bersamaan dengan peristiwa pembakaran Kebo, beribu-ribu kilometer jauhnya tepatnya di kota Mashhad, Iran, seorang laki-laki setengah baya bernama Saeed juga tengah membersihkan sampah masyarakat.
Foto: Klik Film
Ia mengincar pelacur yang beroperasi di jalanan, dibawanya ke rumahnya untuk dihabisi nyawanya secara keji. Saeed melakukan kekejaman itu kepada 16 perempuan selama kurun waktu tahun 2000-2001. Ia merasa melakukan jihad untuk membersihkan kota dari sampah seperti para pelacur itu.
Tapi seperti halnya Kebo, pelacur itu juga punya nama. Mereka berada di jalan dalam keadaan putus asa. Tak ada lagi yang bisa dilakukan demi bisa menghidupi diri dan anak mereka kecuali menjual tubuh mereka. Salah satunya adalah Somayeh.
Baca Juga: CERMIN: Otto yang Menari di Atas Luka-Luka
Berbeda dengan Kebo, Somayeh tak menjadi benalu bagi masyarakat di sekitarnya. Ia mencari penghasilan dalam diam dengan caranya sendiri. Ia tak mencari perhatian dalam bentuk apa pun.
Namun ketika Saeed mengeksekusinya, ia tetap hanya menjadi korban tak bernama. Tak ada yang peduli jika ada seorang ayah yang menangisi kematiannya dan seorang anak perempuan berkerudung yang tersedu-sedu mendengar sang kakek membicarakan kematian ibunya.
Foto: Klik Film
Kisah dalam film Holy Spideryang bisa ditonton di Klik Film adalah sebuah tragedi. Sebuah tragedi yang bisa terjadi di manapun, tak hanya di Mashhad, juga di Jakarta.
Ketika malam semakin larut, perempuan-perempuan ini keluar dan berkeliaran menjajakan diri demi uang yang tak seberapa. Yang mungkin hanya cukup untuk makan hari ini. Tapi mereka menempuh risiko berbahaya agar bisa hidup.
Ali Abbasi sebagai sutradara memutuskan mengambil sudut pandang seorang jurnalis perempuan, Rahimi. Seorang perempuan pemberani dengan prinsipnya sendiri. Seorang pemberontak yang membahayakan nyawanya hanya untuk mengekspos si pembunuh berjuluk Spider Killer. Ia adalah seorang pahlawan karena berhasil membuat Saeed tertangkap.
Tapi Saeed juga dianggap sebagai martir oleh pendukungnya. Ia dianggap melakukan pekerjaan suci. Saeed yang selalu merasa hidupnya sia-sia karena ia tak mati di medan perang akhirnya mendapatkan jalur peperangannya sendiri. Ia merasa berada di jalur suci, sebuah jalan menuju surga.
Foto: Klik Film
Lantas siapa sesungguhnya yang bersalah dalam pembunuhan metodis yang mengirim nyawa 16 perempuan tak bersalah ke akhirat? Apakah Saeed yang menghabisi mereka dengan tangan kosong? Ataukah pemerintah yang membiarkan warganya hidup dalam kemiskinan hingga menempuh segala cara untuk hidup?
Baca Juga: 9 Film Horor Paling Ditunggu di 2023, Bikin Bulu Kaki Merinding
Saya pun merenung. Saya menangis ketika menyaksikan adegan anak Somayeh yang tersedu-sedu mendengar sang kakek membicarakan kematian ibunya dengan Rahimi. Saeed tak tahu bahwa sampah masyarakat seperti Somayeh juga punya anak. Somayeh rupanya ikut membesarkan masa depan Mashhad kelak.
Saya kembali mengingat Kebo. Juga mengingat Somayeh. Bahwa meski dianggap sampah oleh masyarakat, mereka punya nama. Dan tak seorang pun berhak untuk membasmi mereka. Tidak oleh 32 warga di belakang Tower Mal Anggrek, Slipi, Jakarta. Juga tidak oleh warga Mashhad di Iran.
HOLY SPIDER
Produser: Ali Abbasi, Sol Bondy, Jacob Jarek
Sutradara: Ali Abbasi
Penulis Skenario: Ali Abbasi, Afshin Kamran Bahrami
Pemain: Mehdi Bajestami, Zar Amir-Ebrahimi, Forouzan Jamshidnejad
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute
Nama aslinya Ratno bin Karja. Entah mengapa berubah menjadi Kebo setibanya di ibu kota. Hidupnya luntang-lantung tak jelas dan lama-lama menjadi benalu bagi banyak orang.
Perilakunya yang petantang-petenteng tak disukai orang-orang di sekitarnya. Ditambah dengan hobinya mabuk-mabukan, mengencani sembarang perempuan di rumahnya, komplit sudah alasan untuk membenci Kebo.
Hingga akhirnya Kebo dibakar. Ia dikeroyok oleh sekitar 32 warga yang mungkin sudah tak tahan dengan ulahnya. Kedua tangan dan kakinya terikat erat oleh kawat. Ia tak bisa melawan amarah dari mereka yang merasa ditindas olehnya. Kebo yang dianggap sampah masyarakat harus dienyahkan dari muka bumi. Bila perlu dibakar sekalian!
Saya membaca kisah Kebo yang dituturkan secara luar biasa menarik oleh Linda Christanty di majalah Pantau. Pada saat yang nyaris bersamaan dengan peristiwa pembakaran Kebo, beribu-ribu kilometer jauhnya tepatnya di kota Mashhad, Iran, seorang laki-laki setengah baya bernama Saeed juga tengah membersihkan sampah masyarakat.
Foto: Klik Film
Ia mengincar pelacur yang beroperasi di jalanan, dibawanya ke rumahnya untuk dihabisi nyawanya secara keji. Saeed melakukan kekejaman itu kepada 16 perempuan selama kurun waktu tahun 2000-2001. Ia merasa melakukan jihad untuk membersihkan kota dari sampah seperti para pelacur itu.
Tapi seperti halnya Kebo, pelacur itu juga punya nama. Mereka berada di jalan dalam keadaan putus asa. Tak ada lagi yang bisa dilakukan demi bisa menghidupi diri dan anak mereka kecuali menjual tubuh mereka. Salah satunya adalah Somayeh.
Baca Juga: CERMIN: Otto yang Menari di Atas Luka-Luka
Berbeda dengan Kebo, Somayeh tak menjadi benalu bagi masyarakat di sekitarnya. Ia mencari penghasilan dalam diam dengan caranya sendiri. Ia tak mencari perhatian dalam bentuk apa pun.
Namun ketika Saeed mengeksekusinya, ia tetap hanya menjadi korban tak bernama. Tak ada yang peduli jika ada seorang ayah yang menangisi kematiannya dan seorang anak perempuan berkerudung yang tersedu-sedu mendengar sang kakek membicarakan kematian ibunya.
Foto: Klik Film
Kisah dalam film Holy Spideryang bisa ditonton di Klik Film adalah sebuah tragedi. Sebuah tragedi yang bisa terjadi di manapun, tak hanya di Mashhad, juga di Jakarta.
Ketika malam semakin larut, perempuan-perempuan ini keluar dan berkeliaran menjajakan diri demi uang yang tak seberapa. Yang mungkin hanya cukup untuk makan hari ini. Tapi mereka menempuh risiko berbahaya agar bisa hidup.
Ali Abbasi sebagai sutradara memutuskan mengambil sudut pandang seorang jurnalis perempuan, Rahimi. Seorang perempuan pemberani dengan prinsipnya sendiri. Seorang pemberontak yang membahayakan nyawanya hanya untuk mengekspos si pembunuh berjuluk Spider Killer. Ia adalah seorang pahlawan karena berhasil membuat Saeed tertangkap.
Tapi Saeed juga dianggap sebagai martir oleh pendukungnya. Ia dianggap melakukan pekerjaan suci. Saeed yang selalu merasa hidupnya sia-sia karena ia tak mati di medan perang akhirnya mendapatkan jalur peperangannya sendiri. Ia merasa berada di jalur suci, sebuah jalan menuju surga.
Foto: Klik Film
Lantas siapa sesungguhnya yang bersalah dalam pembunuhan metodis yang mengirim nyawa 16 perempuan tak bersalah ke akhirat? Apakah Saeed yang menghabisi mereka dengan tangan kosong? Ataukah pemerintah yang membiarkan warganya hidup dalam kemiskinan hingga menempuh segala cara untuk hidup?
Baca Juga: 9 Film Horor Paling Ditunggu di 2023, Bikin Bulu Kaki Merinding
Saya pun merenung. Saya menangis ketika menyaksikan adegan anak Somayeh yang tersedu-sedu mendengar sang kakek membicarakan kematian ibunya dengan Rahimi. Saeed tak tahu bahwa sampah masyarakat seperti Somayeh juga punya anak. Somayeh rupanya ikut membesarkan masa depan Mashhad kelak.
Saya kembali mengingat Kebo. Juga mengingat Somayeh. Bahwa meski dianggap sampah oleh masyarakat, mereka punya nama. Dan tak seorang pun berhak untuk membasmi mereka. Tidak oleh 32 warga di belakang Tower Mal Anggrek, Slipi, Jakarta. Juga tidak oleh warga Mashhad di Iran.
HOLY SPIDER
Produser: Ali Abbasi, Sol Bondy, Jacob Jarek
Sutradara: Ali Abbasi
Penulis Skenario: Ali Abbasi, Afshin Kamran Bahrami
Pemain: Mehdi Bajestami, Zar Amir-Ebrahimi, Forouzan Jamshidnejad
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute
(ita)