CERMIN: Pulang adalah Perkara Rindu
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tahun 2005. Diam-diam saya memutuskan hijrah ke Jakarta. Diam-diam saya memutuskan membuka lembaran baru hidup saya di ibu kota. Dan diam-diam ayah saya selalu merindukan kepulangan saya.
Ada saat dalam hidup ketika kita memutuskan untuk pergi. Mencoba mengadu nasib. Mencoba berjudi dengan takdir. Dan mencoba menguatkan hati untuk bisa mengalahkan masa depan.
Tapi kita tahu pergi berarti akan selau merindukan kepulangan. Untuk kembali bertemu hal-hal yang tertinggal dan ditinggalkan. Untuk kembali menyelesaikan hal-hal yang belum selesai.
Kita tahu bahwa perjuangan baru saja dimulai. Kita paham bahwa saatnya kita untuk mengecap dunia yang sesungguhnya. Tak ada lagi rumah yang nyaman yang selalu terbuka untuk kita. Tak ada lagi teman-teman lama yang selau menghibur kala susah. Dan kita kehilangan kasih sayang keluarga yang selalu akan menerima kita pada saat paling berat sekali pun.
Foto: KlikFilm
Saya belum pernah menjalani hidup seperti Haris dan Maya dalam film Cross the Lineyang tayang di KlikFilm. Saya belum pernah menjalani hidup sebagai anak buah kapal, yang mesti menyogok sekian puluh juta untuk bisa bekerja dan menghabiskan sebagian besar waktu untuk bergulat dengan pekerjaan dan dosa-dosa.
Saya belum pernah menjalani hidup sebagai petugas kebersihan di kapal yang juga menyambi sebagai pelayan restoran demi mengumpulkan uang untuk membayar utang dan denda yang menggunung. Tapi saya tahu rasanya bekerja sedemikian kerasnya sehingga pulang terasa seperti ilusi.
Cross the Lineadalah sebuah upaya menarik dari Razka Robby Ertanto untuk menyajikan cerita berbeda dari kebanyakan film Indonesia. Sebuah inisiatif yang perlu diapresiasi untuk menyajikan kehidupan kelas pekerja yang sebagian besar dari kita tak tahu seperti apa.
Kita sudah bosan menyaksikan cerita cinta yang begitu-begitu saja di bioskop. Kita jenuh menonton kisah anak-anak SMA yang semakin lama terasa semakin mudah ditebak di layanan streaming.Kita perlu memuaskan dahaga akan cerita-cerita yang segar dan menarik.
Foto: KlikFilm
Sebagian besar dari kita digerakkan oleh impian dan harapan untuk mengubah hidup lebih baik. Terkadang dengan menempuh risiko apa pun. Terkadang dengan melanggar banyak rambu, melakukan sekian dosa, bisa saja karena seseorang tak punya pilihan lain.
Saya membayangkan diri saya sebagai Haris yang trenyuh dengan sang kekasih yang butuh uang Rp35 juta agar bisa bebas dari pekerjaan yang dilakoninya. Saya membayangkan diri saya sebagai Haris yang tak punya waktu untuk berdialog dengan dirinya sendiri sebelum melakukan dosa. Tapi saya tahu dan bisa membayangkan bahwa Haris masih punya hati nurani.
Menjadi Maya pun sama sulitnya. Seorang perempuan muda dan cantik yang rela bekerja kasar di kapal. Rela menggosok toilet penuh karat berulang-ulang hingga bersih.
Baca Juga: 6 Film Korea dengan Rating Tertinggi Sepanjang Masa di MyDramaList
Hingga tiba saat ia tak punya pilihan untuk keluar dari batasan yang dijaganya secara sakral. Maya berkompromi dengan hidupnya, hanya untuk satu alasan: agar bisa pulang.
Karena pulang bisa jadi adalah perkara rindu. Saya pernah di posisi Maya ketika diberitahu adik saya sedang sakit keras dan tiket pesawat ke Makassar tak terjangkau. Perih rasanya ketika berada jauh di seberang lautan dari seseorang yang kita sayangi. Dan saya ikut menangis bersama Maya yang hanya bisa menahan kerinduannya diam-diam.
Foto: KlikFilm
Bagi Maya dan Haris, pulang tak lagi sederhana. Kadang seseorang memilih tak pulang karena merasa belum menggapai mimpi dan harapannya. Belum ada sesuatu yang bisa dibanggakannya ketika kembali ke rumah.
Pulang memang bisa mengobati rasa rindu, tapi ada yang lebih penting dari itu semua: keinginan untuk mewujudkan hidup yang lebih layak.
Maya dan Haris mengalahkan banyak hal dalam diri mereka. Dan kita memahami pilihan-pilihan yang mereka buat. Kita tak menghakimi tindakan-tindakan yang harus mereka lakukan. Mungkin kita juga akan seperti Maya dan Haris jika dihadapkan pada situasi yang sama.
Ada saat dalam hidup ketika kita memutuskan untuk pergi. Mencoba mengadu nasib. Mencoba berjudi dengan takdir. Dan mencoba menguatkan hati untuk bisa mengalahkan masa depan.
Tapi kita tahu pergi berarti akan selau merindukan kepulangan. Untuk kembali bertemu hal-hal yang tertinggal dan ditinggalkan. Untuk kembali menyelesaikan hal-hal yang belum selesai.
Kita tahu bahwa perjuangan baru saja dimulai. Kita paham bahwa saatnya kita untuk mengecap dunia yang sesungguhnya. Tak ada lagi rumah yang nyaman yang selalu terbuka untuk kita. Tak ada lagi teman-teman lama yang selau menghibur kala susah. Dan kita kehilangan kasih sayang keluarga yang selalu akan menerima kita pada saat paling berat sekali pun.
Foto: KlikFilm
Saya belum pernah menjalani hidup seperti Haris dan Maya dalam film Cross the Lineyang tayang di KlikFilm. Saya belum pernah menjalani hidup sebagai anak buah kapal, yang mesti menyogok sekian puluh juta untuk bisa bekerja dan menghabiskan sebagian besar waktu untuk bergulat dengan pekerjaan dan dosa-dosa.
Saya belum pernah menjalani hidup sebagai petugas kebersihan di kapal yang juga menyambi sebagai pelayan restoran demi mengumpulkan uang untuk membayar utang dan denda yang menggunung. Tapi saya tahu rasanya bekerja sedemikian kerasnya sehingga pulang terasa seperti ilusi.
Cross the Lineadalah sebuah upaya menarik dari Razka Robby Ertanto untuk menyajikan cerita berbeda dari kebanyakan film Indonesia. Sebuah inisiatif yang perlu diapresiasi untuk menyajikan kehidupan kelas pekerja yang sebagian besar dari kita tak tahu seperti apa.
Kita sudah bosan menyaksikan cerita cinta yang begitu-begitu saja di bioskop. Kita jenuh menonton kisah anak-anak SMA yang semakin lama terasa semakin mudah ditebak di layanan streaming.Kita perlu memuaskan dahaga akan cerita-cerita yang segar dan menarik.
Foto: KlikFilm
Sebagian besar dari kita digerakkan oleh impian dan harapan untuk mengubah hidup lebih baik. Terkadang dengan menempuh risiko apa pun. Terkadang dengan melanggar banyak rambu, melakukan sekian dosa, bisa saja karena seseorang tak punya pilihan lain.
Saya membayangkan diri saya sebagai Haris yang trenyuh dengan sang kekasih yang butuh uang Rp35 juta agar bisa bebas dari pekerjaan yang dilakoninya. Saya membayangkan diri saya sebagai Haris yang tak punya waktu untuk berdialog dengan dirinya sendiri sebelum melakukan dosa. Tapi saya tahu dan bisa membayangkan bahwa Haris masih punya hati nurani.
Menjadi Maya pun sama sulitnya. Seorang perempuan muda dan cantik yang rela bekerja kasar di kapal. Rela menggosok toilet penuh karat berulang-ulang hingga bersih.
Baca Juga: 6 Film Korea dengan Rating Tertinggi Sepanjang Masa di MyDramaList
Hingga tiba saat ia tak punya pilihan untuk keluar dari batasan yang dijaganya secara sakral. Maya berkompromi dengan hidupnya, hanya untuk satu alasan: agar bisa pulang.
Karena pulang bisa jadi adalah perkara rindu. Saya pernah di posisi Maya ketika diberitahu adik saya sedang sakit keras dan tiket pesawat ke Makassar tak terjangkau. Perih rasanya ketika berada jauh di seberang lautan dari seseorang yang kita sayangi. Dan saya ikut menangis bersama Maya yang hanya bisa menahan kerinduannya diam-diam.
Foto: KlikFilm
Bagi Maya dan Haris, pulang tak lagi sederhana. Kadang seseorang memilih tak pulang karena merasa belum menggapai mimpi dan harapannya. Belum ada sesuatu yang bisa dibanggakannya ketika kembali ke rumah.
Pulang memang bisa mengobati rasa rindu, tapi ada yang lebih penting dari itu semua: keinginan untuk mewujudkan hidup yang lebih layak.
Maya dan Haris mengalahkan banyak hal dalam diri mereka. Dan kita memahami pilihan-pilihan yang mereka buat. Kita tak menghakimi tindakan-tindakan yang harus mereka lakukan. Mungkin kita juga akan seperti Maya dan Haris jika dihadapkan pada situasi yang sama.