CERMIN: Cerita dari Sekolah Paling Terpencil di Dunia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tahun 2011. Saya mendapat kesempatan emas. Memproduseri film dokumenter panjang tentang seorang guru yang bergulat soal pendidikan untuk anak-anak di salah satu perbatasan terluar negeri ini.
Film itu berjudul Cerita Dari Tapal Batasyang kelak masuk sebagai nomine Film Dokumenter Terbaik Festival Film Indonesia 2012 dan membawa kami berpetualang hingga ke Qatar untuk Aljazeera International Documentary Film Festival. Kisah Bu Martini yang mengajar seorang diri di dusun Badat Baru, salah satu dusun terluar di perbatasan Indonesia – Malaysia, menyentuh hati banyak orang hingga hari ini.
Ingatan tentang produksi film itu kembali berlompatan dari benak saya ketika menyimak Lunana: A Yak in the Classroomdi Klik Film yang diputar sebagai bagian dari World Cinema Week 2022. Sebuah film sederhana dengan kekuatan pesan yang luar biasa dari sebuah negara kecil bernama Bhutan.
Bhutan dikenal di seluruh dunia karena prinsipnya yang unik. Negara dengan jumlah penduduk bahkan tak sampai satu juta jiwa ini mengusung prinsip Gross National Happiness, alih-alih mempraktikkan prinsip yang digunakan hampir seluruh negeri di dunia yaitu Gross Domestic Product. Negeri kecil ini tak bermimpi menjadi negeri yang kaya tapi mereka ingin menjadi negara paling berbahagia di seluruh dunia. Namun betulkah warganya merasa demikian?
Foto: Klik Film
Mari berkenalan dengan Ugyen Dorji, pemuda yang bermimpi menjadi penyanyi profesional. Sebagaimana umumnya generasi milenial, Ugyen merasa terperangkap dalam hidupnya. Ia merasa tak menemukan jati dirinya, bahkan yang paling miris, ia mungkin tak merasa bahagia. Tapi negara mewajibkannya mengabdi dan ia harus menyelesaikannya setahun lagi.
Maka dikirimlah Ugyen ke Lunana, sebuah desa di puncak gunung dengan ketinggian lebih dari 11 ribu kaki dari permukaan laut. Kita bisa menebak apa yang terjadi dengan pemuda berusia 20-an ini. Sepanjang perjalanan berjalan kaki yang memakan waktu berhari-hari, ia terus menerus mengeluh.
Ia dongkol setengah mati ketika tiba di desa Lunana yang minim segalanya. Mulai dari sekolah tempatnya mengajar, rumah tempatnya berdiam hingga soal listrik yang byar-pet.
Baca Juga: CERMIN: Berlindung dari Godaan Sihir Iblis lewat Ustaz Qodrat
Apa yang dialami Ugyen juga kami alami selama proses syuting Cerita Dari Tapal Batas. Kami berhadapan dengan sebuah situasi di luar dugaan. Kami harus naik sampan yang lantas dilanjutkan berjalan kaki berjam-jam untuk tiba di Badat Baru yang masuk dalam wilayah Entikong, Kalimantan Barat.
Kami berhadapan dengan tak adanya listrik dan sinyal telepon yang byar-pet,terutama pertama kalinya kami bertemu dengan sekolah dasar dengan bangunan nyaris tak terurus. Juga rumah dinas guru yang reyot dan Bu Martini yang mesti seorang diri merangkap sebagai kepala sekolah, guru, hingga juru kunci.
Foto: Klik Film
Frustasi kami tak ada apa-apanya dengan yang dirasakan Ugyen. Ia bahkan sejak awal tak tertarik untuk mengajar dan memutuskan untuk kembali ke kotanya. Tapi semesta bekerja dengan caranya yang ajaib. Diawali dengan pertemuannya dengan sang ketua kelas, gadis cilik bernama Pem Zam, Ugyen perlahan mulai jatuh cinta dengan Lunana.
Saya kira, kita semua, para penonton, juga jatuh cinta dengan film ini. Hati kita terpaut oleh kesederhanaannya, oleh masalah-masalah nyata yang dialami karakter-karakternya, oleh lagu-lagu tradisional yang dilantunkan sepanjang film. Kita tahu bahwa Lunana: A Yak in the Classroom adalah sebuah film ajaib yang lahir dari negara kecil dan bisa menembus menjadi nomine Oscar tahun ini.
Ketika segala unsur bertemu dalam campurannya yang tepat, film akan memperlihatkan keajaibannya. Dan keajaiban itu akan terasa meloncat dari layar, keluar dari mata, telinga dan hati kita, dan bertemu dengan penontonnya dengan cara yang paling spesial.
Ketika mempersiapkan produksi sebuah film, semua hal sebelumnya adalah misteri. Kita tak pernah tahu segala unsur akan bekerja dengan cara yang seperti kita inginkan. Saya pun tak pernah menyangka Cerita Dari Tapal Batas, film kecil kami yang dipersiapkan selama tiga bulan, bisa menyentuh hati banyak orang.
Foto: Klik Film
Mungkin sama saja dengan yang dirasakan sutradara, Pawo Choyning Dorji. Ia membutuhkan waktu hingga 1,5 tahun untuk mewujudkan film impiannya itu yang mungkin juga tak pernah diimpikannya bisa dikenal publik internasional.
Cerita Dari Tapal Batasfokus bicara soal pendidikan maka, sedangkan Lunana: A Yak in the Classroomjustru mempertanyakan soal kebahagiaan itu. Sebuah hal yang sering kali luput dari perhatian kita.
Seseorang hampir selalu akan menanyakan soal kesehatan kita, tapi nyaris tak pernah bertanya apakah kita bahagia. Ada satu dialog yang teringat betul dan seperti menampar kedua pipi saya. “Jika Bhutan adalah negara paling bahagia di dunia, mengapa Tuan Guru justru ingin mencari kebahagiaan di negeri lain?”
Film itu berjudul Cerita Dari Tapal Batasyang kelak masuk sebagai nomine Film Dokumenter Terbaik Festival Film Indonesia 2012 dan membawa kami berpetualang hingga ke Qatar untuk Aljazeera International Documentary Film Festival. Kisah Bu Martini yang mengajar seorang diri di dusun Badat Baru, salah satu dusun terluar di perbatasan Indonesia – Malaysia, menyentuh hati banyak orang hingga hari ini.
Ingatan tentang produksi film itu kembali berlompatan dari benak saya ketika menyimak Lunana: A Yak in the Classroomdi Klik Film yang diputar sebagai bagian dari World Cinema Week 2022. Sebuah film sederhana dengan kekuatan pesan yang luar biasa dari sebuah negara kecil bernama Bhutan.
Bhutan dikenal di seluruh dunia karena prinsipnya yang unik. Negara dengan jumlah penduduk bahkan tak sampai satu juta jiwa ini mengusung prinsip Gross National Happiness, alih-alih mempraktikkan prinsip yang digunakan hampir seluruh negeri di dunia yaitu Gross Domestic Product. Negeri kecil ini tak bermimpi menjadi negeri yang kaya tapi mereka ingin menjadi negara paling berbahagia di seluruh dunia. Namun betulkah warganya merasa demikian?
Foto: Klik Film
Mari berkenalan dengan Ugyen Dorji, pemuda yang bermimpi menjadi penyanyi profesional. Sebagaimana umumnya generasi milenial, Ugyen merasa terperangkap dalam hidupnya. Ia merasa tak menemukan jati dirinya, bahkan yang paling miris, ia mungkin tak merasa bahagia. Tapi negara mewajibkannya mengabdi dan ia harus menyelesaikannya setahun lagi.
Maka dikirimlah Ugyen ke Lunana, sebuah desa di puncak gunung dengan ketinggian lebih dari 11 ribu kaki dari permukaan laut. Kita bisa menebak apa yang terjadi dengan pemuda berusia 20-an ini. Sepanjang perjalanan berjalan kaki yang memakan waktu berhari-hari, ia terus menerus mengeluh.
Ia dongkol setengah mati ketika tiba di desa Lunana yang minim segalanya. Mulai dari sekolah tempatnya mengajar, rumah tempatnya berdiam hingga soal listrik yang byar-pet.
Baca Juga: CERMIN: Berlindung dari Godaan Sihir Iblis lewat Ustaz Qodrat
Apa yang dialami Ugyen juga kami alami selama proses syuting Cerita Dari Tapal Batas. Kami berhadapan dengan sebuah situasi di luar dugaan. Kami harus naik sampan yang lantas dilanjutkan berjalan kaki berjam-jam untuk tiba di Badat Baru yang masuk dalam wilayah Entikong, Kalimantan Barat.
Kami berhadapan dengan tak adanya listrik dan sinyal telepon yang byar-pet,terutama pertama kalinya kami bertemu dengan sekolah dasar dengan bangunan nyaris tak terurus. Juga rumah dinas guru yang reyot dan Bu Martini yang mesti seorang diri merangkap sebagai kepala sekolah, guru, hingga juru kunci.
Foto: Klik Film
Frustasi kami tak ada apa-apanya dengan yang dirasakan Ugyen. Ia bahkan sejak awal tak tertarik untuk mengajar dan memutuskan untuk kembali ke kotanya. Tapi semesta bekerja dengan caranya yang ajaib. Diawali dengan pertemuannya dengan sang ketua kelas, gadis cilik bernama Pem Zam, Ugyen perlahan mulai jatuh cinta dengan Lunana.
Saya kira, kita semua, para penonton, juga jatuh cinta dengan film ini. Hati kita terpaut oleh kesederhanaannya, oleh masalah-masalah nyata yang dialami karakter-karakternya, oleh lagu-lagu tradisional yang dilantunkan sepanjang film. Kita tahu bahwa Lunana: A Yak in the Classroom adalah sebuah film ajaib yang lahir dari negara kecil dan bisa menembus menjadi nomine Oscar tahun ini.
Ketika segala unsur bertemu dalam campurannya yang tepat, film akan memperlihatkan keajaibannya. Dan keajaiban itu akan terasa meloncat dari layar, keluar dari mata, telinga dan hati kita, dan bertemu dengan penontonnya dengan cara yang paling spesial.
Ketika mempersiapkan produksi sebuah film, semua hal sebelumnya adalah misteri. Kita tak pernah tahu segala unsur akan bekerja dengan cara yang seperti kita inginkan. Saya pun tak pernah menyangka Cerita Dari Tapal Batas, film kecil kami yang dipersiapkan selama tiga bulan, bisa menyentuh hati banyak orang.
Foto: Klik Film
Mungkin sama saja dengan yang dirasakan sutradara, Pawo Choyning Dorji. Ia membutuhkan waktu hingga 1,5 tahun untuk mewujudkan film impiannya itu yang mungkin juga tak pernah diimpikannya bisa dikenal publik internasional.
Cerita Dari Tapal Batasfokus bicara soal pendidikan maka, sedangkan Lunana: A Yak in the Classroomjustru mempertanyakan soal kebahagiaan itu. Sebuah hal yang sering kali luput dari perhatian kita.
Seseorang hampir selalu akan menanyakan soal kesehatan kita, tapi nyaris tak pernah bertanya apakah kita bahagia. Ada satu dialog yang teringat betul dan seperti menampar kedua pipi saya. “Jika Bhutan adalah negara paling bahagia di dunia, mengapa Tuan Guru justru ingin mencari kebahagiaan di negeri lain?”