CERMIN: Nanti Kita Cerita tentang Pernikahan Ini
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tahun 1974. Ingmar Bergman datang dengan sebuah serial yang sublim yang kemudian kelak melahirkan banyak epigon, Scenes from a Marriage.
Serial ini mengupas hal-hal yang membuat pernikahan luka, berdarah, bernanah, dan terkadang sulit untuk disembuhkan lagi. Kedua orang dalam pernikahan ditelanjangi untuk mencari tahu sebenarnya dan apa fungsi institusi pernikahan bagi sebagian orang.
Scenes from a Marriage bagi sebagian orang akhirnya menimbulkan trauma karena mengorek luka, sebagian lagi melihatnya sebagai cara untuk sembuh. Bagi pembuat film, pernikahan menjadi tak sesederhana lagi seperti yang terlihat di permukaan.
Salah satu epigon yang berhasil adalah Marriage Story dari Noah Baumbach. Sebenarnya mungkin tak tepat disebut epigon karena Marriage Storymembiarkan kita menghirup napas baru dari pendekatan berbeda yang dilakukan Baumbach. Tapi kita tahu betapa terinspirasinya Baumbach dengan karya brilian Bergman.
Kita pun tak bisa menutup mata dan telinga ketika menyaksikan film Noktah Merah Perkawinandan menyadari betapa pengaruh kedua film sebegitu kuatnya.
Foto: Rapi Films
Noktah Merah Perkawinanadalah remake (ulang buat) yang berhasil dari sinetron fenomenal pada tahun 1990-an. Dengan jargon “Tampar Aku, Mas!”, kita selalu ingat betapa dramatiknya kehidupan Ambar dan Gilang dan membuat keduanya seperti hidup di neraka.
Di tangan Sabrina Rochelle, semuanya dibuat lebih membumi, pendekatannya mirip Bergman yang membuat situasinya terasa lebih realistis. Bagi yang pernah mengalami kegagalan seperti saya, menonton Noktah Merah Pernikahanibarat membiarkan luka yang belum sembuh betul kembali berdarah.
Pernikahan sangat jauh berbeda dengan pacaran, bahkan dengan tinggal serumah tanpa menikah sekalipun. Pernikahan adalah sebuah tanggung jawab besar, apalagi ketika sudah ada anak-anak di dalamnya.
Ke-aku-an hendaknya disingkirkan jauh-jauh karena ada anak-anak yang potensial menjadi korban keegoisan orang tuanya. Tapi jika pernikahan memang sudah tak bisa diperbaiki dan dua orang di dalamnya sudah hidup tanpa kebahagiaan, apakah masih layak untuk dipertahankan?
Foto: Rapi Films
Dan sekali lagi, pernikahan selalu tak sederhana. Selain anak-anak, juga ada faktor orang tua masing-masing yang kadang masuk begitu saja ke urusan privat suami-istri. Entah karena disengaja, entah karena terjadi begitu saja.
Bagi Gilang dan Ambar, masalahnya adalah komunikasi. Situasi yang klasik sebenarnya. Istri merasa jika ada masalah, ya, harus dibicarakan. Sementara suami cenderung melihat itu bukan masalah besar dan, ya, dibiarkan saja.
Titik temu tak ada di antara masalah ini dan membutuhkan intervensi orang ketiga. Situasi tak harmonis memang dengan mudah memicu masuknya orang lain ke dalam pernikahan.
Baca Juga: CERMIN: Seperti Dendam, Perselingkuhan Harus Dibayar Tuntas
Di tangan Titien Wattimena dan Sabrina, ketiga karakter utama adalah manusia multidimensional, yang sesekali baik, juga bisa jahat, dan juga bisa kadang tak tahu harus berbuat apa. Gilang, Ambar, dan Yuli adalah kita semua dalam kehidupan sehari-hari.
Sedikit banyak saya merasa punya banyak kesamaan dengan Gilang yang ketika berhadapan dengan masalah cenderung untuk melarikan diri darinya. Laki-laki perlu waktu untuk memproses apa yang terjadi dan kadang yang terbaik adalah pergi untuk sementara, menenangkan diri, mencerna apa yang sudah terjadi dan mungkin memikirkan jalan keluarnya.
Sementara perempuan inginnya jika ada masalah langsung dibicarakan dan tuntas. Untungnya Titien dan Sabrina memilih berada di pinggir arena dan tak menjadi hakim. Mereka tak menghakimi Gilang, tak melebih-lebihkan Ambar, dan tak memojokkan Yuli.
Foto: Rapi Films
Dan di tengah Gilang, Ambar, dan Yuli ada Bagas dan Ayu. Dua anak tak berdosa yang berada di tengah pusaran konflik ketiga orang tersebut. Salah satu pendekatan yang paling menarik yang dilakukan film ini adalah ketika melibatkan Bagas lebih jauh ke dalam cerita.
Serial ini mengupas hal-hal yang membuat pernikahan luka, berdarah, bernanah, dan terkadang sulit untuk disembuhkan lagi. Kedua orang dalam pernikahan ditelanjangi untuk mencari tahu sebenarnya dan apa fungsi institusi pernikahan bagi sebagian orang.
Scenes from a Marriage bagi sebagian orang akhirnya menimbulkan trauma karena mengorek luka, sebagian lagi melihatnya sebagai cara untuk sembuh. Bagi pembuat film, pernikahan menjadi tak sesederhana lagi seperti yang terlihat di permukaan.
Salah satu epigon yang berhasil adalah Marriage Story dari Noah Baumbach. Sebenarnya mungkin tak tepat disebut epigon karena Marriage Storymembiarkan kita menghirup napas baru dari pendekatan berbeda yang dilakukan Baumbach. Tapi kita tahu betapa terinspirasinya Baumbach dengan karya brilian Bergman.
Kita pun tak bisa menutup mata dan telinga ketika menyaksikan film Noktah Merah Perkawinandan menyadari betapa pengaruh kedua film sebegitu kuatnya.
Foto: Rapi Films
Noktah Merah Perkawinanadalah remake (ulang buat) yang berhasil dari sinetron fenomenal pada tahun 1990-an. Dengan jargon “Tampar Aku, Mas!”, kita selalu ingat betapa dramatiknya kehidupan Ambar dan Gilang dan membuat keduanya seperti hidup di neraka.
Di tangan Sabrina Rochelle, semuanya dibuat lebih membumi, pendekatannya mirip Bergman yang membuat situasinya terasa lebih realistis. Bagi yang pernah mengalami kegagalan seperti saya, menonton Noktah Merah Pernikahanibarat membiarkan luka yang belum sembuh betul kembali berdarah.
Pernikahan sangat jauh berbeda dengan pacaran, bahkan dengan tinggal serumah tanpa menikah sekalipun. Pernikahan adalah sebuah tanggung jawab besar, apalagi ketika sudah ada anak-anak di dalamnya.
Ke-aku-an hendaknya disingkirkan jauh-jauh karena ada anak-anak yang potensial menjadi korban keegoisan orang tuanya. Tapi jika pernikahan memang sudah tak bisa diperbaiki dan dua orang di dalamnya sudah hidup tanpa kebahagiaan, apakah masih layak untuk dipertahankan?
Foto: Rapi Films
Dan sekali lagi, pernikahan selalu tak sederhana. Selain anak-anak, juga ada faktor orang tua masing-masing yang kadang masuk begitu saja ke urusan privat suami-istri. Entah karena disengaja, entah karena terjadi begitu saja.
Bagi Gilang dan Ambar, masalahnya adalah komunikasi. Situasi yang klasik sebenarnya. Istri merasa jika ada masalah, ya, harus dibicarakan. Sementara suami cenderung melihat itu bukan masalah besar dan, ya, dibiarkan saja.
Titik temu tak ada di antara masalah ini dan membutuhkan intervensi orang ketiga. Situasi tak harmonis memang dengan mudah memicu masuknya orang lain ke dalam pernikahan.
Baca Juga: CERMIN: Seperti Dendam, Perselingkuhan Harus Dibayar Tuntas
Di tangan Titien Wattimena dan Sabrina, ketiga karakter utama adalah manusia multidimensional, yang sesekali baik, juga bisa jahat, dan juga bisa kadang tak tahu harus berbuat apa. Gilang, Ambar, dan Yuli adalah kita semua dalam kehidupan sehari-hari.
Sedikit banyak saya merasa punya banyak kesamaan dengan Gilang yang ketika berhadapan dengan masalah cenderung untuk melarikan diri darinya. Laki-laki perlu waktu untuk memproses apa yang terjadi dan kadang yang terbaik adalah pergi untuk sementara, menenangkan diri, mencerna apa yang sudah terjadi dan mungkin memikirkan jalan keluarnya.
Sementara perempuan inginnya jika ada masalah langsung dibicarakan dan tuntas. Untungnya Titien dan Sabrina memilih berada di pinggir arena dan tak menjadi hakim. Mereka tak menghakimi Gilang, tak melebih-lebihkan Ambar, dan tak memojokkan Yuli.
Foto: Rapi Films
Dan di tengah Gilang, Ambar, dan Yuli ada Bagas dan Ayu. Dua anak tak berdosa yang berada di tengah pusaran konflik ketiga orang tersebut. Salah satu pendekatan yang paling menarik yang dilakukan film ini adalah ketika melibatkan Bagas lebih jauh ke dalam cerita.