CERMIN: di Balik Cahaya Gemerlapan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tahun 2021. Pandemi mulai surut, ekonomi belum stabil, dan Elsa mengejar mimpinya menjadi penyanyi.
Elsa bukanlah karakter dalam film animasi terkenal Frozen. Ia karakter utama dari film Indonesia berjudul Backstage. Ini adalah sebuah film tentang perjuangan menaklukkan mimpi. Ini adalah film tentang kelas pekerja negeri ini yang berani bermimpi setinggi mungkin: menjadi penyanyi terpopuler.
Elsa jelas cantik, ia juga jelas berbakat. Namun menyanyi bukanlah bakat terkuatnya. Justru Sandra, kakaknya, yang diberkahi anugerah bernyanyi dengan baik. Tapi baik Elsa maupun Sandra punya keterampilan lain: membohongi publik selama beberapa waktu.
Foto: Paragon Pictures
Ingatan kita pun melompat jauh ke tahun 1990-an dan bertemu kembali dengan Milli Vanilli. Tahun 1990, saya masih duduk di kelas 6 SD, dan tahu lagu-lagu Milli Vanilli yang diputar radio di mana-mana, tapi tak pernah curiga ada yang berbeda dari keduanya.
Tahun itu duo yang terdiri dari Fab Morvan dan Rob Pilatus itu berhasil membawa pulang Grammy Awards, penghargaan paling prestisius dalam industri musik. Dan kita sepakat Milli Vanilli pantas memperoleh predikat Best New Artist dan tak merasakan keanehan sedikit pun dari keduanya.
Namun bau busuk itu tak bisa lagi disembunyikan. Keduanya juga sudah capek berbohong dan akhirnya membuat pengakuan mengejutkan kepada publik. Grammy dikembalikan pada November 1990, dan kisah ini berakhir tragis setelah Pilatus ditemukan tewas karena overdosis delapan tahun setelahnya.
Elsa dan Sandra bukanlah Fab dan Rob. Keduanya kakak beradik sehingga secara emosional lebih sulit untuk membohongi publik dalam waktu lama. Keduanya terikat satu sama lain. Keduanya juga tak ingin kembali ke masa saat ibu mereka bekerja keras memenuhi pesanan dimsum agar mereka bisa bertahan.
Tapi, sejauh mana ketamakan mencicipi sukses bisa tertutupi oleh hati nurani yang terus memberontak?
Foto: Paragon Pictures
Betapa banyak anak muda saat ini yang menginginkan kehidupan yang dijalani Elsa setelah sukses. Dielu-elukan penggemar, bisa memiliki apa saja dan membuat iri jutaan penggemar dengan memacari salah satu penyanyi paling ganteng.
Betapa banyak anak muda saat ini yang akan melakukan apa saja untuk mendapatkan kehidupan yang dijalani Elsa. Tapi berapa banyak di antara mereka yang bisa bertahan meniti karier dan sukses menjalani hidup di balik cahaya gemerlap?
Mungkin kalimat “dunia ini panggung sandiwara” dari God Bless benar adanya. Kita menjalani peran kita masing-masing di dunia ini. Dengan risiko-risiko yang kita ambil secara sadar. Dengan pilihan-pilihan yang seharusnya sudah kita pertimbangkan matang.
Baca Juga: CERMIN: Adaptasi atau Mati
Proses adalah cara terbaik agar kita menjalani tahapan kehidupan dengan baik. Kita bisa jadi memahami sukses adalah bagian dari risiko yang seharusnya sudah kita sadari sejak awal.
Saya ingat ketika memutuskan untuk merantau ke Jakarta pada akhir 2005. Niatnya sederhana: ingin bekerja di dunia film yang sangat saya sukai. Tapi niat selalu tak cukup. Kita akan dipaksa berhadapan dengan realitas ketatnya persaingan dan perjuangan luar biasa keras untuk menggapai mimpi.
Kita akan terpaksa berhadapan dengan kenyataan demi kenyataan bahwa segala sesuatu yang ingin diraih tak mudah. Saya merasakan dua kali gagal menjadi produser pada 2010, mendapatkan diri pernah ingin bunuh diri karena merasa gagal dan mengalami kebangkrutan hingga dua kali. Namun mimpi adalah satu-satunya hal yang membuat kita tetap bangun dengan penuh harapan baik pada pagi hari.
Foto: Paragon Pictures
Elsa adalah tokoh fiksi, tapi kita dengan mudah menemukan Elsa-Elsa lainnya di negeri ini. Seorang gadis belia yang percaya punya kombinasi bakat dan tampang yang bisa menaklukkan negeri ini.
Namun kita tahu ribuan gadis belia dengan kualitas seperti Elsa tak menemukan pintu kesempatan sepertinya. Bahkan setelah mereka berjuang bertahun-tahun di kota yang menyalakan mimpi bernama Jakarta. Bahkan setelah mereka menggadaikan harapan orang tua dan keluarga.
Elsa bukanlah karakter dalam film animasi terkenal Frozen. Ia karakter utama dari film Indonesia berjudul Backstage. Ini adalah sebuah film tentang perjuangan menaklukkan mimpi. Ini adalah film tentang kelas pekerja negeri ini yang berani bermimpi setinggi mungkin: menjadi penyanyi terpopuler.
Elsa jelas cantik, ia juga jelas berbakat. Namun menyanyi bukanlah bakat terkuatnya. Justru Sandra, kakaknya, yang diberkahi anugerah bernyanyi dengan baik. Tapi baik Elsa maupun Sandra punya keterampilan lain: membohongi publik selama beberapa waktu.
Foto: Paragon Pictures
Ingatan kita pun melompat jauh ke tahun 1990-an dan bertemu kembali dengan Milli Vanilli. Tahun 1990, saya masih duduk di kelas 6 SD, dan tahu lagu-lagu Milli Vanilli yang diputar radio di mana-mana, tapi tak pernah curiga ada yang berbeda dari keduanya.
Tahun itu duo yang terdiri dari Fab Morvan dan Rob Pilatus itu berhasil membawa pulang Grammy Awards, penghargaan paling prestisius dalam industri musik. Dan kita sepakat Milli Vanilli pantas memperoleh predikat Best New Artist dan tak merasakan keanehan sedikit pun dari keduanya.
Namun bau busuk itu tak bisa lagi disembunyikan. Keduanya juga sudah capek berbohong dan akhirnya membuat pengakuan mengejutkan kepada publik. Grammy dikembalikan pada November 1990, dan kisah ini berakhir tragis setelah Pilatus ditemukan tewas karena overdosis delapan tahun setelahnya.
Elsa dan Sandra bukanlah Fab dan Rob. Keduanya kakak beradik sehingga secara emosional lebih sulit untuk membohongi publik dalam waktu lama. Keduanya terikat satu sama lain. Keduanya juga tak ingin kembali ke masa saat ibu mereka bekerja keras memenuhi pesanan dimsum agar mereka bisa bertahan.
Tapi, sejauh mana ketamakan mencicipi sukses bisa tertutupi oleh hati nurani yang terus memberontak?
Foto: Paragon Pictures
Betapa banyak anak muda saat ini yang menginginkan kehidupan yang dijalani Elsa setelah sukses. Dielu-elukan penggemar, bisa memiliki apa saja dan membuat iri jutaan penggemar dengan memacari salah satu penyanyi paling ganteng.
Betapa banyak anak muda saat ini yang akan melakukan apa saja untuk mendapatkan kehidupan yang dijalani Elsa. Tapi berapa banyak di antara mereka yang bisa bertahan meniti karier dan sukses menjalani hidup di balik cahaya gemerlap?
Mungkin kalimat “dunia ini panggung sandiwara” dari God Bless benar adanya. Kita menjalani peran kita masing-masing di dunia ini. Dengan risiko-risiko yang kita ambil secara sadar. Dengan pilihan-pilihan yang seharusnya sudah kita pertimbangkan matang.
Baca Juga: CERMIN: Adaptasi atau Mati
Proses adalah cara terbaik agar kita menjalani tahapan kehidupan dengan baik. Kita bisa jadi memahami sukses adalah bagian dari risiko yang seharusnya sudah kita sadari sejak awal.
Saya ingat ketika memutuskan untuk merantau ke Jakarta pada akhir 2005. Niatnya sederhana: ingin bekerja di dunia film yang sangat saya sukai. Tapi niat selalu tak cukup. Kita akan dipaksa berhadapan dengan realitas ketatnya persaingan dan perjuangan luar biasa keras untuk menggapai mimpi.
Kita akan terpaksa berhadapan dengan kenyataan demi kenyataan bahwa segala sesuatu yang ingin diraih tak mudah. Saya merasakan dua kali gagal menjadi produser pada 2010, mendapatkan diri pernah ingin bunuh diri karena merasa gagal dan mengalami kebangkrutan hingga dua kali. Namun mimpi adalah satu-satunya hal yang membuat kita tetap bangun dengan penuh harapan baik pada pagi hari.
Foto: Paragon Pictures
Elsa adalah tokoh fiksi, tapi kita dengan mudah menemukan Elsa-Elsa lainnya di negeri ini. Seorang gadis belia yang percaya punya kombinasi bakat dan tampang yang bisa menaklukkan negeri ini.
Namun kita tahu ribuan gadis belia dengan kualitas seperti Elsa tak menemukan pintu kesempatan sepertinya. Bahkan setelah mereka berjuang bertahun-tahun di kota yang menyalakan mimpi bernama Jakarta. Bahkan setelah mereka menggadaikan harapan orang tua dan keluarga.