CERMIN: Adaptasi atau Mati
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tahun 2020. Setahun setelah saya memulai karier sebagai sutradara, saya menantang diri mengadaptasi novel populer.
Novel itu berjudul Asya Story yang dibaca hampir 30 juta kali di Wattpad ketika saya memutuskan untuk mengadaptasinya menjadi miniseri. Bagi sebagian besar pembacanya, Asya Story mungkin dianggap sebagai cerita tentang gadis korban kekerasan seksual yang bertemu dengan pangeran tampan. Namun bagi saya, Asya Story adalah cerita tentang trauma dan bagaimana menjalani hidup dengan trauma tersebut.
Sewaktu Silka Luisa membaca novel Shining Girls karya Lauren Beukes, seperti saya, ia tertarik bercerita lebih dalam melalui medium yang sangat berbeda dari novel: audio visual. Dalam medium ini, imajinasi dibatasi oleh interpretasi dari pembuatnya, sementara dalam novel, imajinasi melayang liar tak terbatas dalam benak para pembaca.
Baik Luisa maupun saya memahami betul ini dan beranggapan bahwa apa pun bisa ditempuh dalam proses mengadaptasi novel menjadi audio visual sepanjang kita memahami esensinya.
Saya membaca novel Asya Story dengan pemahaman tentang Asya yang terluka batinnya cukup dalam, bergulat dengan traumanya dan pelan-pelan membuka hatinya. Soal kekerasan seksual yang saya tampilkan cukup eksplisit dalam miniseri adaptasinya sesungguhnya cuma disinggung sekilas dalam prolog novelnya.
Foto: Apple TV+
Namun saya justru menganggap bahwa hal tersebut adalah bagian penting dari cerita ini. Melalui peristiwa yang menimbulkan trauma itu, saya bisa bercerita secara lebih jernih. Sementara Luisa memutuskan untuk bercerita dari satu sudut pandang, berbeda dengan novelnya yang menimbulkan multi sudut pandang.
Ia dengan berani menampilkan sosok pelaku pemerkosa pada awal cerita, sebagaimana saya pun melakukannya ketika mengekspos sosok Alex yang memperkosa Asya dalam episode perdana miniseri adaptasinya.
Miniseri Shining Girlsmembawa kita, para penonton, menyaksikan Kirby, si tokoh utama, bertualang melompati waktu demi membongkar peristiwa perkosaan yang dihadapinya. Luis membawa kita pada pemahaman baru: bahwa korban perkosaan bisa bangkit dan berani berhadapan langsung dengan sang pelaku.
Kita memang melihat bagaimana Kirby gemetar ketika pertama kali berpapasan dengan Harper. Kita melihat emosinya nyaris meledak ketika melihat Harper yang seperti tak gentar diidentifikasi olehnya. Dan kita, pada akhirnya, berharap Kirby melawan segala ketakutan itu, bisa mengontrol emosinya agar kelak ia bisa mengonfrontasi pelaku yang membuat hidupnya kacau balau.
Dalam beragam kisah yang kita baca di media, sebagian besar korban perkosaan cenderung menutup diri, terlalu malu untuk mengakui dirinya sebagai korban, juga cenderung mencoba melupakan peristiwa mengenaskan itu. Tapi sebagian besar tak bisa melakukannya.
Baca Juga: CERMIN: di Bawah Lindungan Jebediah Pyre
Akhirnya mereka tenggelam ke dalam luka trauma yang semakin lama semakin membesar. Tanpa pernah berusaha untuk bercerita kepada siap apun, tanpa pernah berupaya meminta tolong kepada siapa pun.
Foto: Apple TV+
Kirby adalah sedikit dari korban perkosaan yang bisa bangkit. Meskipun hidupnya dihancurkan berkali-kali oleh Harper. Tapi ia bangkit lagi. Dan lagi. Hingga akhirnya ia berani berhadapan dengan laki-laki itu sendirian.
Proses kreatif membawa novel ke layar kecil seperti layanan streaming memang bisa menjadi sangat menarik. Bagaimana novel ratusan halaman diperas menjadi tayangan beberapa episode. Bagaimana pembuatnya membuat pilihan-pilihan yang mungkin tak disukai pembaca setia tapi namun membuat penonton yang tak membaca novelnya bisa memahami episode demi episode dengan lebih mudah.
Bagaimana pembuatnya berani membuat keputusan-keputusan ekstrem atas nama artistik miniserinya. Dan itulah sejatinya proses adaptasi. Yaitu tentang memahami esensi cerita dari novel dengan baik, mengeksplorasi esensi ini dengan kejutan demi kejutan tak terduga, dan memahami betul proses kerja yang berbeda antara medium novel dan audio visual.
Sebagian orang akan memilih untuk hanya membaca novel dan tak ingin menonton adaptasinya yang dinilai 'merusak imajinasi'. Sebagian lagi memilih membaca novel dan menonton adaptasinya sekaligus dan membandingkan keduanya yang tentu saja tak pantas dibandingkan.
Sebagian lagi memilih untuk menikmati adaptasinya tanpa keinginan untuk membaca novelnya setelahnya. Kita semua punya pilihan yang sama dan itulah bentuk demokrasi di dunia kreatif. Silakan saja berpendapat dengan bebas selama kamu memang sudah membaca novel atau menonton adaptasinya atau melakukan keduanya sekaligus.
Foto: Apple TV+
Novel itu berjudul Asya Story yang dibaca hampir 30 juta kali di Wattpad ketika saya memutuskan untuk mengadaptasinya menjadi miniseri. Bagi sebagian besar pembacanya, Asya Story mungkin dianggap sebagai cerita tentang gadis korban kekerasan seksual yang bertemu dengan pangeran tampan. Namun bagi saya, Asya Story adalah cerita tentang trauma dan bagaimana menjalani hidup dengan trauma tersebut.
Sewaktu Silka Luisa membaca novel Shining Girls karya Lauren Beukes, seperti saya, ia tertarik bercerita lebih dalam melalui medium yang sangat berbeda dari novel: audio visual. Dalam medium ini, imajinasi dibatasi oleh interpretasi dari pembuatnya, sementara dalam novel, imajinasi melayang liar tak terbatas dalam benak para pembaca.
Baik Luisa maupun saya memahami betul ini dan beranggapan bahwa apa pun bisa ditempuh dalam proses mengadaptasi novel menjadi audio visual sepanjang kita memahami esensinya.
Saya membaca novel Asya Story dengan pemahaman tentang Asya yang terluka batinnya cukup dalam, bergulat dengan traumanya dan pelan-pelan membuka hatinya. Soal kekerasan seksual yang saya tampilkan cukup eksplisit dalam miniseri adaptasinya sesungguhnya cuma disinggung sekilas dalam prolog novelnya.
Foto: Apple TV+
Namun saya justru menganggap bahwa hal tersebut adalah bagian penting dari cerita ini. Melalui peristiwa yang menimbulkan trauma itu, saya bisa bercerita secara lebih jernih. Sementara Luisa memutuskan untuk bercerita dari satu sudut pandang, berbeda dengan novelnya yang menimbulkan multi sudut pandang.
Ia dengan berani menampilkan sosok pelaku pemerkosa pada awal cerita, sebagaimana saya pun melakukannya ketika mengekspos sosok Alex yang memperkosa Asya dalam episode perdana miniseri adaptasinya.
Miniseri Shining Girlsmembawa kita, para penonton, menyaksikan Kirby, si tokoh utama, bertualang melompati waktu demi membongkar peristiwa perkosaan yang dihadapinya. Luis membawa kita pada pemahaman baru: bahwa korban perkosaan bisa bangkit dan berani berhadapan langsung dengan sang pelaku.
Kita memang melihat bagaimana Kirby gemetar ketika pertama kali berpapasan dengan Harper. Kita melihat emosinya nyaris meledak ketika melihat Harper yang seperti tak gentar diidentifikasi olehnya. Dan kita, pada akhirnya, berharap Kirby melawan segala ketakutan itu, bisa mengontrol emosinya agar kelak ia bisa mengonfrontasi pelaku yang membuat hidupnya kacau balau.
Dalam beragam kisah yang kita baca di media, sebagian besar korban perkosaan cenderung menutup diri, terlalu malu untuk mengakui dirinya sebagai korban, juga cenderung mencoba melupakan peristiwa mengenaskan itu. Tapi sebagian besar tak bisa melakukannya.
Baca Juga: CERMIN: di Bawah Lindungan Jebediah Pyre
Akhirnya mereka tenggelam ke dalam luka trauma yang semakin lama semakin membesar. Tanpa pernah berusaha untuk bercerita kepada siap apun, tanpa pernah berupaya meminta tolong kepada siapa pun.
Foto: Apple TV+
Kirby adalah sedikit dari korban perkosaan yang bisa bangkit. Meskipun hidupnya dihancurkan berkali-kali oleh Harper. Tapi ia bangkit lagi. Dan lagi. Hingga akhirnya ia berani berhadapan dengan laki-laki itu sendirian.
Proses kreatif membawa novel ke layar kecil seperti layanan streaming memang bisa menjadi sangat menarik. Bagaimana novel ratusan halaman diperas menjadi tayangan beberapa episode. Bagaimana pembuatnya membuat pilihan-pilihan yang mungkin tak disukai pembaca setia tapi namun membuat penonton yang tak membaca novelnya bisa memahami episode demi episode dengan lebih mudah.
Bagaimana pembuatnya berani membuat keputusan-keputusan ekstrem atas nama artistik miniserinya. Dan itulah sejatinya proses adaptasi. Yaitu tentang memahami esensi cerita dari novel dengan baik, mengeksplorasi esensi ini dengan kejutan demi kejutan tak terduga, dan memahami betul proses kerja yang berbeda antara medium novel dan audio visual.
Sebagian orang akan memilih untuk hanya membaca novel dan tak ingin menonton adaptasinya yang dinilai 'merusak imajinasi'. Sebagian lagi memilih membaca novel dan menonton adaptasinya sekaligus dan membandingkan keduanya yang tentu saja tak pantas dibandingkan.
Sebagian lagi memilih untuk menikmati adaptasinya tanpa keinginan untuk membaca novelnya setelahnya. Kita semua punya pilihan yang sama dan itulah bentuk demokrasi di dunia kreatif. Silakan saja berpendapat dengan bebas selama kamu memang sudah membaca novel atau menonton adaptasinya atau melakukan keduanya sekaligus.
Foto: Apple TV+