Review Film Elvis: Kisah Legenda untuk Penonton Muda
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sutradara ElvisBaz Luhrmann mengatakan bahwa film ini tidak 100% film biopik, dan dibuat untuk ditonton generasi muda.
Sebagai awalan, meski judulnya Elvis, tapi ceritanya bukan dari sudut pandang sang penyanyi legendaris itu, melainkan dari narasi sang manajer Kolonel Tom Parker (Tom Hanks). Yang menarik, Parker dikenal sebagai manajer yang buruk, bahkan sampai dituduh para penggemar Elvis sebagai dalang di balik kematian Raja Rock and Roll itu.
Tuduhan itu jadi hal pertama yang diungkap Parker, dan tentu saja langsung dibantahnya. Parker bahkan berani berkata bahwa tanpa dirinya, tak akan ada Elvis seperti yang kita kenal sekarang. "Elvis adalah aku, aku adalah Elvis," ujarnya.
Ia lalu membuka kisah tentang dirinya, seorang pria pengelola karnaval pada era 1950-an. Saat itu, ia mendengar bahwa ada seorang penyanyi pria baru yang bikin heboh karena menyanyikan lagu-lagu blues dan Gospel dengan goyangan menggoda. Namanya Elvis Presley.
Foto: Warner Bros. Pictures
Parker langsung tertarik karena Elvis ternyata adalah pria kulit putih, bukan warga Afrika-Amerika yang erat dengan kedua jenis musik tersebut. Ia lalu langsung mengunjungi pertunjukan tempat Elvis tampil, dan melihat sendiri betapa para perempuan menjerit histeris melihat goyangan pinggul yang seksi dari penyanyi tampan itu.
"Elvis seperti buah terlarang," ujarnya, menggambarkan bahwa pada masa itu, perempuan menjerit karena goyangan pinggul seorang pria adalah hal yang tidak senonoh.
Otak bisnis Parker langsung jalan. Dengan mulut manisnya, ia mendekati Elvis dan meyakinkan anak muda itu bahwa ia akan membuat Elvis jadi sosok besar. Dari sinilah semuanya bermula. Membawa Elvis pada kesuksesan, juga keterpurukan.
Kisah tentang Industri Musik Amerika
Elvis memang fokus pada kisah sang legenda, tapi Luhrmann tidak menempatkannya dalam ruang hampa. Kesuksesan, histeria, dan batu sandungan yang dialami Elvis diberi konteks dalam kondisi di Amerika dan industri musik di negara tersebut pada era 1950 hingga 1970-an.
Baca Juga: 8 Film Biopik tentang Musisi Legendaris Dunia
Pada masa itu, musik warga kulit hitam yang sangat brilian hanya sebatas dinikmati oleh komunitas mereka saja. Beale Street jadi kiblatnya, menjadi tempat para musisi kulit hitam berkumpul, termasuk musisi blues BB King. Di sinilah musik blues dan rock and roll lahir.
Foto: Warner Bros. Pictures
Elvis senang ke wilayah ini. Ia pun berteman dekat dengan para musisi di sana, termasuk BB King. Musik Beale Street lah yang menginspirasinya, sama seperti musik Gospel yang pertama kali didengarnya saat masih kecil dulu di sekitar pemukiman tempat tinggalnya.
Tak hanya tentang musik yang identik dengan warga kulit hitam, film ini juga menggambarkan tentang geliat bisnis pertunjukan musik, termasuk di 'kota pertunjukan' Las Vegas. Kisah Elvis pun akan bersinggungan dengan kemunculan The Beatles, The Rolling Stones, hingga Jackson 5.
Penonton juga diberi gambaran betapa musik juga dicampuri urusan politik yang membuat Elvis muak dan ingin memberontak.
Ritme Cepat, Penuh Warna
Karena ditujukan untuk penonton muda, Luhrmann menceritakan Elvis dengan gaya penceritaan yang dinamis dan bergerak cepat. Durasi nyaris 2,5 jam hampir tak terasa karena sejak awal, cerita mengalir deras dan penuh dengan adegan menarik.
Visual yang disajikan juga sangat dinamis, seolah seperti ikut bergoyang mengikuti irama musik Elvis yang memang adiktif. Goyangan Elvis kerap kali dipotret dengan detail, begitu juga wajahnya kerap di-close up, demi menyuguhkan efek 'syok' yang membuat penonton ketagihan.
Foto: Warner Bros. Pictures
Sebagai awalan, meski judulnya Elvis, tapi ceritanya bukan dari sudut pandang sang penyanyi legendaris itu, melainkan dari narasi sang manajer Kolonel Tom Parker (Tom Hanks). Yang menarik, Parker dikenal sebagai manajer yang buruk, bahkan sampai dituduh para penggemar Elvis sebagai dalang di balik kematian Raja Rock and Roll itu.
Tuduhan itu jadi hal pertama yang diungkap Parker, dan tentu saja langsung dibantahnya. Parker bahkan berani berkata bahwa tanpa dirinya, tak akan ada Elvis seperti yang kita kenal sekarang. "Elvis adalah aku, aku adalah Elvis," ujarnya.
Ia lalu membuka kisah tentang dirinya, seorang pria pengelola karnaval pada era 1950-an. Saat itu, ia mendengar bahwa ada seorang penyanyi pria baru yang bikin heboh karena menyanyikan lagu-lagu blues dan Gospel dengan goyangan menggoda. Namanya Elvis Presley.
Foto: Warner Bros. Pictures
Parker langsung tertarik karena Elvis ternyata adalah pria kulit putih, bukan warga Afrika-Amerika yang erat dengan kedua jenis musik tersebut. Ia lalu langsung mengunjungi pertunjukan tempat Elvis tampil, dan melihat sendiri betapa para perempuan menjerit histeris melihat goyangan pinggul yang seksi dari penyanyi tampan itu.
"Elvis seperti buah terlarang," ujarnya, menggambarkan bahwa pada masa itu, perempuan menjerit karena goyangan pinggul seorang pria adalah hal yang tidak senonoh.
Otak bisnis Parker langsung jalan. Dengan mulut manisnya, ia mendekati Elvis dan meyakinkan anak muda itu bahwa ia akan membuat Elvis jadi sosok besar. Dari sinilah semuanya bermula. Membawa Elvis pada kesuksesan, juga keterpurukan.
Kisah tentang Industri Musik Amerika
Elvis memang fokus pada kisah sang legenda, tapi Luhrmann tidak menempatkannya dalam ruang hampa. Kesuksesan, histeria, dan batu sandungan yang dialami Elvis diberi konteks dalam kondisi di Amerika dan industri musik di negara tersebut pada era 1950 hingga 1970-an.
Baca Juga: 8 Film Biopik tentang Musisi Legendaris Dunia
Pada masa itu, musik warga kulit hitam yang sangat brilian hanya sebatas dinikmati oleh komunitas mereka saja. Beale Street jadi kiblatnya, menjadi tempat para musisi kulit hitam berkumpul, termasuk musisi blues BB King. Di sinilah musik blues dan rock and roll lahir.
Foto: Warner Bros. Pictures
Elvis senang ke wilayah ini. Ia pun berteman dekat dengan para musisi di sana, termasuk BB King. Musik Beale Street lah yang menginspirasinya, sama seperti musik Gospel yang pertama kali didengarnya saat masih kecil dulu di sekitar pemukiman tempat tinggalnya.
Tak hanya tentang musik yang identik dengan warga kulit hitam, film ini juga menggambarkan tentang geliat bisnis pertunjukan musik, termasuk di 'kota pertunjukan' Las Vegas. Kisah Elvis pun akan bersinggungan dengan kemunculan The Beatles, The Rolling Stones, hingga Jackson 5.
Penonton juga diberi gambaran betapa musik juga dicampuri urusan politik yang membuat Elvis muak dan ingin memberontak.
Ritme Cepat, Penuh Warna
Karena ditujukan untuk penonton muda, Luhrmann menceritakan Elvis dengan gaya penceritaan yang dinamis dan bergerak cepat. Durasi nyaris 2,5 jam hampir tak terasa karena sejak awal, cerita mengalir deras dan penuh dengan adegan menarik.
Visual yang disajikan juga sangat dinamis, seolah seperti ikut bergoyang mengikuti irama musik Elvis yang memang adiktif. Goyangan Elvis kerap kali dipotret dengan detail, begitu juga wajahnya kerap di-close up, demi menyuguhkan efek 'syok' yang membuat penonton ketagihan.
Foto: Warner Bros. Pictures